Selamat datang di duniaku

Sabtu, 08 Desember 2012

ZAMAN KOLONIAL


ZAMAN KOLONIAL
REGERINGS REGLEMENT tahun 1854 membagi penduduk Hindia Belanda menjadi 3 golongan yaitu Europeanen, Inlanders dan Vreemde Oosterlingen (Timur Jauh termasuk Arab, India, Tionghoa dll kecuali Jepang).
Pemerintah Belanda tetap memberlakukan sistem pemisahan penduduk berdasarkan kategori rasial saat Indische Staatsinrichting menggantikan Regerings Reglement. Pasal 163 I.S. Mengkategorisasi penduduk menjadi golongan Nederlanders/Europeanen (termasuk Jepang),
Inheemsen (pengganti istilah Inlander), Uitheemsen (Vreemde oosterlingen atau Timur Asing).  Menurut Mr. Schrieke pembagian itu berdasarkan perbedaan "nationalieit", bukan berdasarkan `ras criterium'. Tetapi pada kenyataannya, kriteria `ras' tetap digunakan.
Pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan ganjil dengan mengeluarkan undang-undang Wet op de Nederlanderschap di tahun 1892.
Keganjilan itu adalah bahwa mereka yang berada di Nederland Indie (Indonesia) termasuk yang dinamakan `inlanders' dan yang disamakan dengan `inlanders' tidak diberi status "nederlanders". Sedangkan keturunan Tionghoa, Arab dan India yang dilahirkan di Suriname dengan undang-undang tersebut memperoleh status Nederlander. Orang Jepang yang dilahirkan di Nederland Indie mendapat status Nederlander.
Kebijakan politik Belanda ini mempersamakan seluruh golongan Asia (kecuali Jepang), termasuk golongan Tionghoa dan keturunannya, sebagai golongan "inlander" (pribumi). Sehingga posisi, hak dan kewajiban seluruh golongan Asia di Hindia Belanda menjadi setara.
Secara tidak sengaja, kebijakan politik ini juga memperlancar proses "pribumisasi".
Kondisi politik akibat kebangkitan nasionalisme Asia yang dipelopori oleh Dr. Sun Yat Sen memaksa Belanda mengeluarkan Wet op de Nederlandsch Onderdaanschap (Undang-Undang Kawula Belanda) pada tanggal 10 Februari 1910 dengan tujuan untuk mengurangi jumlah orang Tionghoa yang berada di bawah jurisdiksi perwakilan pemerintah Tiongkok. Sehingga intervensi Tiongkok dapat dikurangi.
Karena itu Belanda menerapkan ius soli dan stelsel pasif  dengan tidak memberi hak repudiatie (hak menolak kewarga-negaraan).  Dengan demikian, orang Tionghoa yang dilahirkan di Hindia Belanda semerta-merta berstatus dwi-kewarganegaraan karena di saat yang sama Dinasti Qing mengadobsi ius sanguinis sebagai asas kewarganegaraan yang diumumkan pada tahun 1909.
Menurut P.H Fromberg Sr, golongan Tionghoa tidak antusias menyambut Undang-Undang Kekawulaan Belanda. Kewajiban `Indie Weerbaar' (pertahanan Hindia Belanda) yang mewajibkan seluruh kawula Belanda menjadi milisi untuk mempertahankan kepentingan kolonial menambah kuat resistensi golongan Tionghoa. Tjoe Bou San berpendapat bahwa "indie Weerbaar bukan satu kepentingan umum. Itu melainkan adalah satu kepentingan dari kapital Belanda. Orang Tionghoa tidak punya kepentingan di situ. Orang Bumiputera tidak. Orang Indo-
Belanda tidak".
Di tahun 1918, Tjoe Bou San melancarkan kampanye menolak Undang-Undang Wet op de Nederlaandsch Onderdaanschap. Menurut berita Sin Po, kampanye ini berhasil menghimpun sekitar 30.000 tanda tangan. Hauw Tek Kong, mantan direktur Sin Po, ditugaskan membawa petisi itu ke Tiongkok dan meminta pemerintah Tiongkok untuk mendesak Belanda agar memberikan hak repudiasi kepada peranakan Tionghoa. Akan tetapi, pemerintah Republik Tiongkok tetap berpegang pada kesepakatan "Perjanjian Konsuler 1911" yang mengakui hak jurisdiksi pemerintah Belanda terhadap peranakan Tionghoa di wilayah teritorial Belanda.
Pengakuan terhadap juridiksi Belanda oleh Republik Tiongkok yang meneruskan asas ius sanguinis mengakibatkan golongan Tionghoa yang lahir di Tiongkok sekalipun telah menetap di Hindia Belanda tetap berstatus warga-negara Tiongkok. Sedangkan keturunan Tionghoa yang
dilahirkan di Hindia Belanda memiliki kewarga-negaraan rangkap i.e. kawula Belanda dan warganegara Tiongkok.
Pembagian kekawulaan Belanda berdasarkan penggolongan ras tidak memuaskan banyak pihak. Karena dinilai tidak memupuk rasa bersatu sebagai sesama putera satu negara. Hingga di tahun 1936 muncul petitie Roep, tokoh PEB, bersama dengan Yo Heng Kam dan Prawoto yang menuntut sebuah Undang-Undang Kewarganegaraan di Indonesia dengan menghapus pembagian penduduk berdasarkan `ras'. Kelemahan petisi Roep ini adalah penggunaan kategori perbedaan strata sosial dan intelektual sebagai pengganti kategori rasial.
Gagasan sistem 1 jenis kewarga-negaraan tanpa diskriminasi kembali muncul dalam Volksraad dengan diajukannya petisi Soetardjo. Isi petisi Soetardjo antara lain menyatakan bahwa syarat untuk diakui sebagai warga-negara dapat ditentukan a.l: lahir di Indonesia, asal keturunan, orientasi hidup kemudian hari. Jadi semua orang Indonesia dan semua golongan Indo, yang dilahirkan di Indonesia dan orang asing, yang bersedia mengakui negeri ini sebagai tanah-airnya, bersedia memikul segala konsekuensi dari pengakuan ini, dinyatakan sebagai warga-negara.

I.I. PASCA KEMERDEKAAN
Pasca kemerdekaan, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) bersama dengan Kabinet Syahrir I menghasilkan Undang-Undang Kewarga-negaraan dan penduduk RI. Perdebatan rumusan kewarga-negaran pada saat itu berkisar seputar pengadobsian stelsel pasif atau aktif, jaminan pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri dan usia dewasa 21 tahun.
Pada tanggal 10 April 1946, UU No.3/1946 dengan berdasarkan asas ius soli dan stelsel pasif ditanda-tangani oleh Presiden Soekarno dan Menteri Kehakiman Soewandi. Dengan demikian semua orang yang dilahirkan di Indonesia dinyatakan sebagai warga-negara pada saat berlakunya UU Kewarga-negaraan dengan hak repudiasi.
Dikeluarkannya UU No.3/1946 ini disambut positif oleh Angkatan Muda Tionghoa (AMT) di Malang. AMT mengambil inisiatif melakukan kampanye dan sosialisasi UU Kewarganegaraan kepada publik Jawa Timur. Mr. Tan Po Goan, yang kebetulan sedang berada di Malang, ikut memberi penjelasan-penjelasan mengenai UU No.3/1946. Di tahun 1953, komunitas Tionghoa dikejutkan dengan keluarnya sebuah draft Rancangan Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia baru. RUU Kewarganegaraan baru ini menyatakan :
1.      Opsi Kewarganegaraan Indonesia yang berakhir tanggal 27 Desember 1951 dinyatakan batal. Golongan Peranakan diwajibkan memilih kembali status kewarganegaraannya.
2.      Syarat menjadi warga-negara Indonesia diperberat. Tidak cukup lagi dengan telah lahir di teritorial Indonesia. Ayahnya pun harus dilahirkan di Indonesia.
3.      Diberlakukannya stelsel aktif. Artinya, seorang peranakan yang hendak memilih kewarganegaraan Indonesia harus datang ke pengadilan negeri dengan membawa bukti-bukti Surat Keterangan lahir ayah dan dirinya.
Pada saat RUU Kewarganegaraan baru ini muncul, terdapat dua orang Menteri Negara keturunan Tionghoa i.e. Dr. Ong Eng Die dan Dr. Lie Kiat Teng. Butir pasal pembatalan kewarganegaraan RUU Kewarganegaraan baru itu akan membatalkan status kewarganegaraan kedua orang Menteri Negara keturunan Tionghoa tersebut. Sehingga, apabila RUU Kewarganegaraan baru ini berhasil disahkan menjadi UU maka akan terdapat dua orang Menteri Negara dengan status orang asing.
Atas prakarsa Partai Demokrat Tionghoa Indonesia, dibentuklah panitia kerja untuk membahas draft RUU Kewarganegaraan baru tersebut. Siauw Giok Tjhan terpilih sebagai ketua panitia kerja. Dengan dukungan menteri-menteri dari fraksi Nasional Progresif pimpinan Siauw Giok
Tjhan, persoalan RUU Kewarganegaraan baru tersebut dibawa ke sidang kabinet. Aksi penolakan dan tekanan berhasil membatalkan RUU Kewarganegaraan baru tersebut. Kabinet menyatakan bahwa naskah semacam itu tidak pernah disahkan oleh sidang kabinet.

III. PERJANJIAN PENYELESAIAN DWI KEWARGANEGARAAN

Penyelesaian masalah dwi-kewarganegaraan ditandatangani sesaat setelah berakhirnya Konferensi Asia-Afrik tahun 1955. Sejak tahun 1954, RRT mulai mengubah kebijakan kewarganegaraan sekalipun tetap menganut asas ius sanguinis sebagai asas primer. PM. Zhou En Lai dalam Konferensi A-A menjelaskan bahwa RRT berhasrat menyelesaikan masalah kewarganegaraan etnis Tionghoa dengan negara-negara yang memiliki hubungan baik atau hubungan diplomatik dengan RRT. Dengan adanya komunike atau perjanjian penyelesaian dwi-kewarganegaraan maka etnis Tionghoa yang secara sukarela mengambil kewarganegaraan
setempat akan kehilangan kewarganegaraan Tiongkok.

Perjanjian Penyelesaian Dwi-kewarganegaraan antara RI-RRT dilakukan kedua belah pihak sebagai simbolisasi keinginan mempererat hubungan persahabatan antara Rakyat Indonesia dan Rakyat Tiongkok.

Masalah dwi-kewarganegaran diakui sebagai warisan zaman lampau yang perlu diselesaikan dengan semangat persahabatan dan sesuai dengan kepentingan rakyat kedua negara. Komunike bersama ini juga diharapkan dapat melenyapkan kemungkinan siasat adu-domba negara imperialis yang dapat merugikan hubungan persahabatan Ri-RRT.

Isi perjanjian awal penyelesaian masalah dwi kewarganegaraan menentukan bahwa pemilihan kewarganegaraan dilakukan berdasarkan stelsel aktif. Pernyataan kewarganegaraan dilakukan di hadapan pengadilan negeri Indonesia dengan menyertakan surat bukti kewarganegaraan RI dan surat bukti kelahiran di Indonesia.

Baperki mengajukan keberatan atas butir kesepakatan ini. Baperki menguatirkan dampak dari butir kesepakatan ini akan menyebabkan bertambahnya orang asing di Indonesia. Baperki bersikeras bahwa semua keturunan Tionghoa yang telah menjadi warga negara Indonesia
berdasarkan UU No.4/1946 dan persetujuan KMB tetap dinyatakan sebagai WNI. Sehingga kewajiban memilih hanya berlaku kepada anak-anak orang Tionghoa asing yang telah berusia 18 tahun.

Keberatan Baperki ini diterima oleh PM. Ali Sastroamidjojo dan PM Zhou En Lai. Perubahan dilakukan dengan tukar-menukar nota kesepakatan oleh kedua belah pihak pada tanggal 3 Juni 1955 di Peking.

Perubahan tersebut menyatakan: "
diantara mereka yang serempak berkewarganegaraan RI dan RRT terdapat satu golongan, yang dapat dianggap mempunyai hanya satu kewarganegaraan dan tidak mempunyai dwikewarganegaraan karena, menurut pendapat Pemerintah Repulik
Indonesia, kedudukan sosial dan politik mereka membuktikan bahwa mereka dengan sendirinya (secara implisit) telah melepaskan kewarganegaraan RRT. Orang-orang yang termasuk golongan tersebut di atas,
, tidak diwajibkan untuk memilih kewarganegaraan menurut ketentuan-ketentuan Perjanjian Dwikewarganegaraan."

Dengan demikian, sekalipun tidak maksimal, stelsel aktif tidak berlaku sepenuhnya. Sehingga mereka yang berstatus sosial sebagai pegawai negari, pejabat negara RI, militer dan mereka yang bermata-pencaharian sama dengan rakyat setempat seperti petani, nelayan, tukang becak dan penjual sayur serta mereka yang ikut pemilu tahun 1955 dinyatakan sebagai WNI tanpa perlu memilih kewarganegaraan.

Perubahan ini tidak segera diratifikasi. Sekalipun menurut Duta Besar RI, Arnold Mononutu, perundingan dalam rangka mencapai kesepakatan exchange of notes berlangsung lama sekali dan baru dicapai kesepakatan di saat terakhir karena kedua belah pihak hendak membuktikan adanya goodwill, terutama untuk membuktikan kehendak bersetia-kawan dengan saling bertoleransi. Perjanjian penyelesaian masalah dwi kewarganegaraan baru diratifikasi menjadi UU No.2 di
tahun 1958.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar