Selamat datang di duniaku

Sabtu, 08 Desember 2012

HADIST TENTANG HADHANAH


BAB I
PENDAHULUAN

Secara garis besar hadhanah (pemeliharaan anak) adalah mengasuh anak kecil atau anak abnormal yang belum atau tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sendiri, menjaga dari hal-hal yang membahayakan, memberinya pendidikan fisik maupun psikis, dan mengembangkan kemampuan intelektual agar sanggup memikul tanggung jawabnya sendiri.
Pemeliharaan seorang anak sangat penting untuk dilaksanakan baik oleh ibunya ataupun dari bapaknya, akan tetapi sering kali terjadi pendidikan anak dinomer duakan dari sebuah pekerjaan yang di anggap lebih penting dan merupakan tuntutan hidup untuk dirinya dan keluarganya, sehingga tidak jarang terjadi pengasuhan, pendidikan seorang anak terlantar disebabkan karena keadaan yang tidak memungkinkan atau bahkan dengan sengaja dikesampingkan.
            Tugas pengadilan adalah menyelesaikan sengketa masyarakat untuk mendapatkan penyelesaian yang adil. Salah satu permasalahan di dalam Peradilan Agama adalah menyangkut hadhanah.
            Untuk itu perlu adanya kewajiban dalam pengasuhan anak tersebut, kita sebagai insan yang berpengetahuan sangat penting kiranya kita membahas tentang hadhanah atau pemeliharaan anak sejak ia lahir sehingga seorang tidak perlu membutuhkan jasa orang lain dalam urusan keperluannya sendiri.





BAB II
PEMBAHASAN
HADIST TENTANG HADHANAH

MATAN DAN SANAD HADIST
   عن ابن شعيب عن ابيه عن جده عبد الله بن عمر عَبْدُ١للّٰهِ بْنِ عَمْرٍ رَضِى اللّٰهُ تَعَالَى عَنْهُمَا ، أَنَّ امْرَأَةً قَا لَتْ ؛ يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ إِنَّ ابْنِى هَذَا كان بَطْنِى لَهُ وِعَاءً ٠ وَثَدْيِى لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِى لَهُ حِوَاءً ٬ وَاِنَّ أبَاهُ طَلَّقَنِى وَاَرَادَأَنْ يَنْزِعَهُ مِنِّى ٬ فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَالَمْ تَنْكِحِى٠
“Dari ibnu syuaib dari ayahnya dari kakeknya yakni Abdullah bin Umar r.a. , bahwa ada seorang wanita yang bertanya kepada Rasulullah, “ Hai Rasulullah, anakku ini adalah perutku yang menjadi kantongnya (mengandungnya), air susuku minumannya, dan pangkuan saya tempat berlindungnya selama ini. Kini, suamiku telah menalakku dan ia ingin mengambil anakku ini dari padaku, bagaimana itu? “ Jawab Rasulullah S.A.W. kamu lebih berhak atas anakmu itu, selama kamu belum nikah lagi”.[1]
A.    Makna mufrodat
 : adalah perutku yang jadi kantongnya هَذَا كان بَطْنِى لَهُ
                     : (mengandungnya)وِعَاءً
وَثَدْيِى لَهُ                 : air susuku
 سِقَاءً                     : minumannya
وَحِجْرِى لَهُ              : Dan pangkuan saya
حِوَاءً                         : Tempat berlindungnya selama ini
وَاِنَّ أبَاهُ طَلَّقَنِى             : Kini, suamiku telah menalakku
 وَاَرَادَأَنْ يَنْزِعَهُ مِنِّى       : Dan ia ingin mengambil anakku ini dari padaku
أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ                 : Kamu lebih berhak atas anakmu itu
 مَالَمْ تَنْكِحِى                 : Selama kamu belum nikah lagi
B.     Skema sanad
Rasulullah SAW


Amr bin Syuaib
Syuaib bin Abdullah
Abdullah bin Amr bin Ash

 














C.     Biografi perowi
a.       Abdullah bin Amr
Dia adalah seorang dari Abadilah yang faqih, ia memeluk agama Islam sebelum ayahnya, kemudian hijrah sebelum penaklukan Mekkah. Abdullah seorang ahli ibadah yang zuhud, banyak berpuasa dan shalat, sambil menekuni hadits Rasulullah Shallahllahu ‘alaihi Wassalam. Jumlah hadits yang ia riwayatkan mencapai 700 hadits, Sesudah minta izin Nabi Shallahu ‘alaihi Wassalam untuk menulis, ia mencatat hadits yang didengarnya dari Nabi. Mengenai hal ini Abu Hurairah berkata Tak ada seorangpun yang lebih hapal dariku mengenai hadits Rasulullah, kecuali Abdullah bin Amr bin al-Ash. Karena ia mencatat sedangkan aku tidak”. Abdullah bin Amr meriwayatkan hadits dari Umar, Abu Darda, Muadz bin Jabal, Abdurahman bin Auf, dan beberapa yang lain. Yang meriwayatkan darinya antara lain Abdullah bin Umar bin Al-Khatthab, as-Sa’ib bin Yazid, Sa’ad bin Al-Musayyab, Thawus, dan Ikrimah. Sanad paling shahih yang berpangkal darinya ialah yang diriwayatkan oleh Amr bin Syu’aib dari ayahnya dan kakeknya Abdullah. Abdullah bin Amr wafat pada tahun 63 H pada malam pengepungan Al-Fusthath.
b.      Amr bin syuaib
Amr bin Syuaib atau yang lebih dikenal dengan ibnu Syuaib merupakan cucu dari Abdulloh bin Amr bin Ash. Meriwayatkan 500 hadist.
D.    Syarah hadist
Hadist tersebut di atas menjadi dalil bahwa ibu lebih berhak terhadap asuhan atau pemeliharaan anaknya daripada ayahnya, bilamana ayahnya hendak memisahkannya dari ibunya. Wanita itu sudah menyebutkan beberapa sifat dan perbuatan yang khusus dia lakukan yang menetapkan dia paling berhak dan paling utama unutk memelihara dan mengasuh anaknya itu. Rasulullah SAW menyetujuinya dan menetapkan anak itu baginya.[2]   
Hadhanah berasal dari kata “ Hidhan”, artinya : lambung. Dan seperti kata: Hadhana ath-thaairu baidhahu, artinya burung itu mengempit telur di bawah sayapnya. Begitu pula dengan perempuan (ibu) yang mengempit anaknya. Para ahli fiqih mendefinisikan “ Hadhanah” ialah: “ melakukan pemeliharaan anak – anak yang masih kecil laki – laki ataupun perempuan atau yang sudah besar, tapi belum tamyiz, tanpa perintah dari padanya, menjadikan kebaikan, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya”.[3]
Jika dalam hadhanah ibulah pertama kali berhak, maka dalam hal ini para ahli fiqih kemudian memperhatikan bahwa kerabat lebih didahulukan dari pada kerabat ayah dalam menangani hadhanah ini. Dan urut – urutannya adalah sebagai berikut:
Ibu, jika ada halangan yang mencegahnya untuk didahulukan, maka berpindah ke tangan ibunya ibu, dan ke atas. Jika ternyata ada suatu halangan, maka berpindah ke tangan ayah, kemudian saudara perempuannya sekandung, kemudian saudara perempuannya seibu, kemudian saudara perempuannya seayah, kemudian kemenakan perempuannya sekandung, lalu kemenakan perempuannya seibu, kemudian saudara perempuan ibu sekandung, lalu saudara perempuan ibu yang seibu, lalu saudara perempuan ibu yang seayah, kemudian kemenakan perempuan ibu yang seayah, kemudian anak perempuan saudara laki – lakinya sekandung, lalu anak perempuan saudara laki-lakinya seibu, lalu anak perempuan saudara laki-lakinya yang seayah. Kemudian bibi dari ibu yang sekandung, lalu bibi dari ibu yang seibu, lalu bibi dari ibu yang seayah. Kemudian bibinya ibu, lalu bibinya ayah, lalu bibinya ibu dari ayah ibu, lalu bibinya ayah dari ayahnya ayah. Begitulah urut – urutannya, yang mendahulukan yang sekandung dari masing – masing keluarga ibu dan ayah.[4]
Sedangkan syarat – syarat hadhanah harus terpenuhi, dan jika salah satu tidak terpenuhi maka dianggap gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanah. Syarat – syaratnya adalah sebagai berikut:
1.      Berakal sehat,
2.      Dewasa
3.      Mampu mendidik
4.      Amanah dan berbudi
5.      Islam ( sesuai dengan firman Allah SWT, surat An-Nisa’ ayat 141),
وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًا (  النساء ١٤١ )
“....Dan Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang – orang kafir menguasai orang – orang mu’min...”. (An-Nisa’141).
6.       Ibunya belum kawin lagi, (berdasarkan hadist Nabi SAW)
  عن ابن شعيب عن ابيه عن جده عَبْدُ١للّٰهِ بْنِ عَمْرٍ رَضِى اللّٰهُ تَعَالَى عَنْهُمَا ، أَنَّ امْرَأَةً قَا لَتْ ؛ يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ إِنَّ ابْنِى هَذَا كان بَطْنِى لَهُ وِعَاءً ٠ وَثَدْيِى لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِى لَهُ حِوَاءً ٬ وَاِنَّ أبَاهُ طَلَّقَنِى وَاَرَادَأَنْ يَنْزِعَهُ مِنِّى ٬ فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَالَمْ تَنْكِحِى٠
“Dari ibnu syuaib dari ayahnya dari kakeknya yakni Abdullah bin Umar r.a. , bahwa ada seorang wanita yang bertanya kepada Rasulullah, “ Hai Rasulullah, anakku ini adalah perutku yang menjadi kantongnya (mengandungnya), air susuku minumannya, dan pangkuan saya tempat berlindungnya selama ini. Kini, suamiku telah menalakku dan ia ingin mengambil anakku ini dari padaku, bagaimana itu? “ Jawab Rasulullah S.A.W. kamu lebih berhak atas anakmu itu, selama kamu belum nikah lagi”.
7.      Merdeka. [5]
E.     Fiqhul hadist
Banyak para pendapat ulama mengenai masa hadhanah karena tidak tertulis jelas pada Al Qur’an dan hadist mengenai masa hadhanah maka para ulama berijtihat sendiri dalam menetapkannya. Pertama menurut mazhab Hanafi: hadhanah anak laki – laki berakhir pada saat anak itu tidak lagi memerlukan penjagaan dan telah dapat mengurus keperluannya sehari – hari, seperti makan, minum, mengatur pakaian, membersihkan tempatnya, dan sebagainya. Sedangkakan masa hadhanah wanita berakhir apabila ia telah baligh, atau telah datang masa haid pertamanya. Pengikut mazhab Hanafi yang terakhir ada yang menetapkan bahwa masa hadhanah itu berakhir umur 19 tahun bagi laki – laki, dan umur 11 tahun bagi wanita.[6]
Beda lagi dengan pendapat imam Syafi’i dan ishak, yang menetapkan berumur 5-6 tahun. Juga dari imam malik yang menetapkan bahwa ibu lebih berhak mengasuh anak perempuan sampai ia menikah, sedangkan bapak mengasuh anak laki – laki sampai baligh.[7]     
F.      Ketentuan perundang – undangan.
Dalam KHI pada BAB XIV tentang pemeliharaan anak yang berisi tentang ketentuan – ketentuan dari hadhanah yaitu tersebut dalam KHI pasal 104 ayat 1, “ semua biaya penyusuan anak di pertanggung jawabkan ayahnya. Apabila ayahnya meninggal dunia, maka biaya penyusuan di bebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya”. Juga tersebut tentang batas dari penyususan anak pada pasal 104 ayat 2, “ Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya”. Berbeda lagi jika terjadi perceraian. Sesuai dengan KHI pasal 105:
a.       Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b.      Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
c.       Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.[8]













BAB III
PENUTUP

Kesimpulan :
Para ahli fiqih mendefinisikan “ Hadhanah” ialah: “ melakukan pemeliharaan anak – anak yang masih kecil laki – laki ataupun perempuan atau yang sudah besar, tapi belum tamyiz, tanpa perintah dari padanya, menjadikan kebaikan, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya”.












DAFTAR PUSTAKA
1.      Abdul Rahman Ghozali. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana prenada media group.
2.      Abubakar Muhammad. 1995. Terjemah Subulussalam. Surabaya. Al Ikhlas.
3.      Ibnu Masud dan Zainal Abidin. 2007. Fiqih Mazhab Syafi’i. Bandung: Pustaka setia.
4.      Kahar Masyhuri. 1991. Bulughul Maram 2. Jakarta. PT Rineka Cipta.
5.      KHI. (Yogyakarta: Graha Pustaka).
6.      Mohammad Thalib. 1990. Fiqih Sunnah 8. Bandung. PT ALMA’ARIF.





   


[1] Kahar Masyhuri. 1991. Bulughul Maram 2. Jakarta. PT Rineka Cipta. Hal 148.
[2] Abubakar Muhammad. 1995. Terjemah Subulussalam. Surabaya. Al Ikhlas. Hal 820.
[3] Mohammad Thalib. 1990. Fiqih Sunnah 8. Bandung. PT ALMA’ARIF.  Hal 160.    
[4] Ibid,...
[5] Ibid.......

[6] Abdul Rahman Ghozali. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana prenada media group. Hal 185.
[7] Ibnu Masud dan Zainal Abidin. 2007. Fiqih Mazhab Syafi’i. Bandung: Pustaka setia. Hal 418 

[8] KHI. (Yogyakarta: Graha Pustaka). Hal 167 – 169.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar