BAB
I
PENDAHULUAN
Secara garis besar hadhanah
(pemeliharaan anak) adalah mengasuh anak kecil atau anak abnormal yang belum
atau tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sendiri, menjaga dari hal-hal yang
membahayakan, memberinya pendidikan fisik maupun psikis, dan mengembangkan
kemampuan intelektual agar sanggup memikul tanggung jawabnya sendiri.
Pemeliharaan seorang anak sangat
penting untuk dilaksanakan baik oleh ibunya ataupun dari bapaknya, akan tetapi
sering kali terjadi pendidikan anak dinomer duakan dari sebuah pekerjaan yang
di anggap lebih penting dan merupakan tuntutan hidup untuk dirinya dan
keluarganya, sehingga tidak jarang terjadi pengasuhan, pendidikan seorang anak
terlantar disebabkan karena keadaan yang tidak memungkinkan atau bahkan dengan
sengaja dikesampingkan.
Tugas
pengadilan adalah menyelesaikan sengketa masyarakat untuk mendapatkan
penyelesaian yang adil. Salah satu permasalahan di dalam Peradilan Agama adalah
menyangkut hadhanah.
Untuk itu perlu adanya kewajiban
dalam pengasuhan anak tersebut, kita sebagai insan yang berpengetahuan sangat
penting kiranya kita membahas tentang hadhanah atau pemeliharaan anak sejak ia
lahir sehingga seorang tidak perlu membutuhkan jasa orang lain dalam urusan
keperluannya sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
HADIST TENTANG HADHANAH
MATAN
DAN SANAD HADIST
عن ابن شعيب عن ابيه عن جده عبد
الله بن عمر
عَبْدُ١للّٰهِ
بْنِ عَمْرٍ رَضِى اللّٰهُ تَعَالَى عَنْهُمَا ، أَنَّ امْرَأَةً قَا لَتْ ؛ يَا
رَسُوْلَ اللّٰهِ إِنَّ ابْنِى هَذَا كان بَطْنِى لَهُ وِعَاءً ٠ وَثَدْيِى لَهُ
سِقَاءً وَحِجْرِى لَهُ حِوَاءً ٬ وَاِنَّ أبَاهُ طَلَّقَنِى وَاَرَادَأَنْ
يَنْزِعَهُ مِنِّى ٬ فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَالَمْ تَنْكِحِى٠
“Dari ibnu syuaib dari
ayahnya dari kakeknya yakni Abdullah
bin Umar r.a. , bahwa ada seorang wanita yang bertanya kepada Rasulullah, “ Hai
Rasulullah, anakku ini adalah perutku yang menjadi kantongnya (mengandungnya),
air susuku minumannya, dan pangkuan saya tempat berlindungnya selama ini. Kini,
suamiku telah menalakku dan ia ingin mengambil anakku ini dari padaku,
bagaimana itu? “ Jawab Rasulullah S.A.W. kamu lebih berhak atas anakmu itu,
selama kamu belum nikah lagi”.[1]
A. Makna
mufrodat
: adalah perutku yang jadi kantongnya هَذَا كان بَطْنِى لَهُ
:
(mengandungnya)وِعَاءً
وَثَدْيِى لَهُ :
air susuku
سِقَاءً : minumannya
وَحِجْرِى لَهُ :
Dan pangkuan saya
حِوَاءً : Tempat
berlindungnya selama ini
وَاِنَّ أبَاهُ طَلَّقَنِى : Kini, suamiku telah menalakku
وَاَرَادَأَنْ
يَنْزِعَهُ مِنِّى : Dan ia ingin mengambil anakku ini
dari padaku
أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ : Kamu lebih berhak atas anakmu itu
مَالَمْ تَنْكِحِى : Selama
kamu belum nikah lagi
B. Skema
sanad
Rasulullah SAW
|
Amr bin Syuaib
|
Syuaib bin
Abdullah
|
Abdullah bin Amr bin Ash
|
C. Biografi
perowi
a. Abdullah
bin Amr
Dia adalah seorang dari Abadilah yang faqih, ia memeluk agama Islam
sebelum ayahnya, kemudian hijrah sebelum penaklukan Mekkah. Abdullah seorang
ahli ibadah yang zuhud, banyak berpuasa dan shalat, sambil menekuni hadits
Rasulullah Shallahllahu ‘alaihi Wassalam. Jumlah hadits yang ia riwayatkan mencapai 700 hadits, Sesudah minta
izin Nabi Shallahu ‘alaihi Wassalam untuk menulis, ia mencatat hadits yang
didengarnya dari Nabi. Mengenai hal ini Abu Hurairah berkata “ Tak ada seorangpun yang lebih hapal dariku mengenai
hadits Rasulullah, kecuali Abdullah bin Amr bin al-Ash. Karena ia mencatat
sedangkan aku tidak”. Abdullah bin Amr meriwayatkan hadits dari
Umar, Abu Darda, Muadz bin Jabal, Abdurahman bin Auf, dan beberapa yang lain.
Yang meriwayatkan darinya antara lain Abdullah bin Umar bin Al-Khatthab,
as-Sa’ib bin Yazid, Sa’ad bin Al-Musayyab, Thawus, dan Ikrimah. Sanad paling
shahih yang berpangkal darinya ialah yang diriwayatkan oleh Amr bin Syu’aib
dari ayahnya dan kakeknya Abdullah. Abdullah bin Amr wafat pada tahun 63 H pada
malam pengepungan Al-Fusthath.
b. Amr
bin syuaib
Amr
bin Syuaib atau yang lebih dikenal dengan ibnu Syuaib merupakan cucu dari
Abdulloh bin Amr bin Ash. Meriwayatkan 500 hadist.
D. Syarah
hadist
Hadist
tersebut di atas menjadi dalil bahwa ibu lebih berhak terhadap asuhan atau
pemeliharaan anaknya daripada ayahnya, bilamana ayahnya hendak memisahkannya
dari ibunya. Wanita itu sudah menyebutkan beberapa sifat dan perbuatan yang
khusus dia lakukan yang menetapkan dia paling berhak dan paling utama unutk
memelihara dan mengasuh anaknya itu. Rasulullah SAW menyetujuinya dan
menetapkan anak itu baginya.[2]
Hadhanah
berasal dari kata “ Hidhan”, artinya : lambung. Dan seperti kata: Hadhana
ath-thaairu baidhahu, artinya burung itu mengempit telur di bawah sayapnya.
Begitu pula dengan perempuan (ibu) yang mengempit anaknya. Para ahli fiqih
mendefinisikan “ Hadhanah” ialah: “ melakukan pemeliharaan anak – anak yang
masih kecil laki – laki ataupun perempuan atau yang sudah besar, tapi belum
tamyiz, tanpa perintah dari padanya, menjadikan kebaikan, menjaganya dari
sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya
agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya”.[3]
Jika
dalam hadhanah ibulah pertama kali berhak, maka dalam hal ini para ahli fiqih
kemudian memperhatikan bahwa kerabat lebih didahulukan dari pada kerabat ayah
dalam menangani hadhanah ini. Dan urut – urutannya adalah sebagai berikut:
Ibu,
jika ada halangan yang mencegahnya untuk didahulukan, maka berpindah ke tangan
ibunya ibu, dan ke atas. Jika ternyata ada suatu halangan, maka berpindah ke
tangan ayah, kemudian saudara perempuannya sekandung, kemudian saudara
perempuannya seibu, kemudian saudara perempuannya seayah, kemudian kemenakan
perempuannya sekandung, lalu kemenakan perempuannya seibu, kemudian saudara
perempuan ibu sekandung, lalu saudara perempuan ibu yang seibu, lalu saudara
perempuan ibu yang seayah, kemudian kemenakan perempuan ibu yang seayah,
kemudian anak perempuan saudara laki – lakinya sekandung, lalu anak perempuan
saudara laki-lakinya seibu, lalu anak perempuan saudara laki-lakinya yang
seayah. Kemudian bibi dari ibu yang sekandung, lalu bibi dari ibu yang seibu, lalu
bibi dari ibu yang seayah. Kemudian bibinya ibu, lalu bibinya ayah, lalu
bibinya ibu dari ayah ibu, lalu bibinya ayah dari ayahnya ayah. Begitulah urut
– urutannya, yang mendahulukan yang sekandung dari masing – masing keluarga ibu
dan ayah.[4]
Sedangkan
syarat – syarat hadhanah harus terpenuhi, dan jika salah satu tidak terpenuhi
maka dianggap gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanah. Syarat – syaratnya
adalah sebagai berikut:
1. Berakal
sehat,
2. Dewasa
3. Mampu
mendidik
4. Amanah
dan berbudi
5. Islam
( sesuai dengan firman Allah SWT, surat An-Nisa’ ayat 141),
وَلَنْ
يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًا ( النساء ١٤١ )
“....Dan Allah tidak akan memberikan jalan
kepada orang – orang kafir menguasai orang – orang mu’min...”. (An-Nisa’141).
6. Ibunya belum kawin lagi, (berdasarkan hadist
Nabi SAW)
عن ابن شعيب عن ابيه عن جده عَبْدُ١للّٰهِ بْنِ عَمْرٍ رَضِى
اللّٰهُ تَعَالَى عَنْهُمَا ، أَنَّ امْرَأَةً قَا لَتْ ؛ يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ
إِنَّ ابْنِى هَذَا كان بَطْنِى لَهُ وِعَاءً ٠ وَثَدْيِى لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِى
لَهُ حِوَاءً ٬ وَاِنَّ أبَاهُ طَلَّقَنِى وَاَرَادَأَنْ يَنْزِعَهُ مِنِّى ٬
فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْتِ أَحَقُّ
بِهِ مَالَمْ تَنْكِحِى٠
“Dari ibnu syuaib dari
ayahnya dari kakeknya yakni Abdullah bin Umar r.a.
, bahwa ada seorang wanita yang bertanya kepada Rasulullah, “ Hai Rasulullah,
anakku ini adalah perutku yang menjadi kantongnya (mengandungnya), air susuku
minumannya, dan pangkuan saya tempat berlindungnya selama ini. Kini, suamiku
telah menalakku dan ia ingin mengambil anakku ini dari padaku, bagaimana itu? “
Jawab Rasulullah S.A.W. kamu lebih berhak atas anakmu itu, selama kamu belum
nikah lagi”.
7. Merdeka. [5]
E. Fiqhul
hadist
Banyak
para pendapat ulama mengenai masa hadhanah karena tidak tertulis jelas pada Al
Qur’an dan hadist mengenai masa hadhanah maka para ulama berijtihat sendiri
dalam menetapkannya. Pertama menurut mazhab Hanafi: hadhanah anak laki – laki
berakhir pada saat anak itu tidak lagi memerlukan penjagaan dan telah dapat
mengurus keperluannya sehari – hari, seperti makan, minum, mengatur pakaian,
membersihkan tempatnya, dan sebagainya. Sedangkakan masa hadhanah wanita
berakhir apabila ia telah baligh, atau telah datang masa haid pertamanya.
Pengikut mazhab Hanafi yang terakhir ada yang menetapkan bahwa masa hadhanah
itu berakhir umur 19 tahun bagi laki – laki, dan umur 11 tahun bagi wanita.[6]
Beda
lagi dengan pendapat imam Syafi’i dan ishak, yang menetapkan berumur 5-6 tahun.
Juga dari imam malik yang menetapkan bahwa ibu lebih berhak mengasuh anak
perempuan sampai ia menikah, sedangkan bapak mengasuh anak laki – laki sampai
baligh.[7]
F. Ketentuan
perundang – undangan.
Dalam
KHI pada BAB XIV tentang pemeliharaan anak yang berisi tentang ketentuan –
ketentuan dari hadhanah yaitu tersebut dalam KHI pasal 104 ayat 1, “ semua
biaya penyusuan anak di pertanggung jawabkan ayahnya. Apabila ayahnya meninggal
dunia, maka biaya penyusuan di bebankan kepada orang yang berkewajiban memberi
nafkah kepada ayahnya atau walinya”. Juga tersebut tentang batas dari
penyususan anak pada pasal 104 ayat 2, “ Penyusuan dilakukan untuk paling lama
dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan
persetujuan ayah dan ibunya”. Berbeda lagi jika terjadi perceraian. Sesuai
dengan KHI pasal 105:
a. Pemeliharaan
anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan
anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih antara ayah atau
ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
c. Biaya
pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.[8]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
:
Para
ahli fiqih mendefinisikan “ Hadhanah” ialah: “ melakukan pemeliharaan anak –
anak yang masih kecil laki – laki ataupun perempuan atau yang sudah besar, tapi
belum tamyiz, tanpa perintah dari padanya, menjadikan kebaikan, menjaganya dari
sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya
agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya”.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdul
Rahman Ghozali. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana prenada media group.
2. Abubakar
Muhammad. 1995. Terjemah Subulussalam. Surabaya. Al Ikhlas.
3. Ibnu
Masud dan Zainal Abidin. 2007. Fiqih Mazhab Syafi’i. Bandung: Pustaka setia.
4. Kahar
Masyhuri. 1991. Bulughul Maram 2. Jakarta. PT Rineka Cipta.
5. KHI.
(Yogyakarta: Graha Pustaka).
6. Mohammad
Thalib. 1990. Fiqih Sunnah 8. Bandung. PT ALMA’ARIF.
[1]
Kahar Masyhuri. 1991. Bulughul Maram 2. Jakarta. PT Rineka Cipta. Hal 148.
[2]
Abubakar Muhammad. 1995. Terjemah Subulussalam. Surabaya. Al Ikhlas. Hal 820.
[3]
Mohammad Thalib. 1990. Fiqih Sunnah 8. Bandung. PT ALMA’ARIF. Hal 160.
[4]
Ibid,...
[5]
Ibid.......
[6]
Abdul Rahman Ghozali. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana prenada media
group. Hal 185.
[7]
Ibnu Masud dan Zainal Abidin. 2007. Fiqih Mazhab Syafi’i. Bandung: Pustaka
setia. Hal 418
[8]
KHI. (Yogyakarta: Graha Pustaka). Hal 167 – 169.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar