Selamat datang di duniaku

Sabtu, 08 Desember 2012

Warga Negara dan Sistem Kewarganegaraan


BAB I
PENDAHULUAN



1.1.Latar Belakang
Gagasan menulis makalah ini timbul di samping untuk melengkapi tugas yang di berikan  kepada kami, juga karena keingintahuan kami untuk membuat sebuah tulisan tentang sistem kewarganegaraan yang berlaku negara Indonesia. Bertujuan untuk saling memberi wawasan lebih kepada para pembaca.   
Kami juga dalam taraf belajar . Oleh sebab itu, segala masukan yang positif dari para pembaca sangat kami harapkan partisipasinya.
1.2.Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari warga negara ?
2.      Apa saja kriteria kewarganegaraan dengan mengacu pada sistem kewarganegaraan Indonesia !
3.      Bagaimana sejarah berlakunya sistem kewarganegaraan Indonesia ?
4.      Bagaimana hukum kewarganegaraan bagi orang asing di Indonesia?
    
1.3.Tujuan penulisan
Untuk memberi pemahaman tentang sistem kewarganegaraan yang berlaku di Indonesia.
1.4.Manfaat
Agar mendapat wawasan lebih tentang sistem kewarganegaraan yang berlaku di Indonesia.



BAB II
PEMBAHASAN

Warga Negara dan Sistem Kewarganegaraan


A.  Warga Negara
Pengertian rakyat atau penduduk sering terkacaukan, maka kita perlu mengetahui batas-batasnya.
a.       Yang dimaksud dengan rakyat suatu negara haruslah mempunyai ketegasan bahwa mereka itu benar-benar tunduk kepada Undang-Undang Dasar Negara yang berlaku, mengakui kekuasaan Negara tersebut dan mengakui wilayah Negara tadi sebagai Tanah Airnya yang hanya satu-satunya.
b.      Penduduk adalah semua orang yang ada  atau bertempat tinggal dalam wilayah negara dengan ketegasan telah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh peraturan Negara.
Dari batasan-batasan diatas dapat kita mengetahui bahwa dalam pengertian rakyat sering dikaitkan dengan pengertian warga negara, sedang dalam pengertian penduduk dapat mencakup pengertian yang lebih luas.[1]

B.  Sistem Kewarganegaraan
Pada asasnya ada beberapa sistem (kriteria umum) yang digunakan untuk menentukan siapa yang menjadi warga negara suatu negara. Kriteria tersebut yaitu :
1.      Sistem Kewarganegaraan berdasarkan Kelahiran
a.  Asas Ius Soli (Law of The Soli)
Asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan Negara tempat kelahiran.
b.  Asas Ius Sanguinis (Law of The Blood)
Penentuan Kewarganegaraan berdasarkan keturunan/kewarganegaraan orang tuanya.[2]
c.  Masalah Kewarganegaraan
1)      Apatride
Apatride terjadi apabila seorang anak yang Negara orang tuanya menganut asas Ius Soli lahir di Negara yang menganut Ius Sanguinis.[3] Contoh : Seorang keturunan bangsa A (Ius Soli) lahir di negara B (Ius Sanguinis) Maka orang tsb bukan warga negara A maupun warga negara B.
2)      Bipatride
Bipatride terjadi apabila seorang anak yang Negara orang tuanya menganut Ius Sanguinis lahir di Negara lain ynag menganut Ius Soli, maka kedua Negara tersebut menganggap bahwa anak tersebut warga Negaranya.[4] Contoh : Seorang keturunan bangsa C (Ius Sanguinis) lahir di negara D (Ius Soli). Sehingga karena ia keturunan negara C, maka dianggap warga negara C, tetapi negara D juga menganggapnya sebagai warga negara,karena ia lahir di negara D.
3)      Multipatride
Seseorang yang memiliki 2 atau lebih kewarganegaraan Contoh : Seorang yang bipatride juga menerima pemberian status kewarganegaraan lain ketika dia telah dewasa, dimana saat menerima kewarganegaraan yang baru ia tidak melepaskan status bipatride-nya.
2.      Sistem Kewarganegaraan berdasarkan Perkawinan
a.       Asas Kesatuan Hukum
Asas kesatuan hukum berangkat dari paradigma bahwa suami istri ataupun ikatan keluarga merupakan inti masyarakat yang meniscayakan suasana sejahtera, sehat, dan tidak terpecah. Dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakatnya,suami istri ataupun keluarga yang baik perlu mencerminkan adanya suatu kesatuan yang bulat.
Supaya terdapat keadaan harmonis dalam keluarga diperlukan kesatuan secara yuridis maupun dalam jiwa perkawinan, yaitu kesatuan lahir dan batĂ­n. Dan kesatuan hukum dalam keluarga ini tidak bertentangan dengan filsuf persamaan antara suami istri sehingga sekedar mencari manfaatnya bagi sang suami saja.
b.      Asas Persamaan Derajat
Menurut asas persamarataan bahwa perkawinan sama sekali tidak mempengaruhi kewarganegaraan seseorang, dalam arti masing-masing istri atau suami bebas menentukan sikap dalam menen tukan kewarganegaraanya.
Asas ini menghindari terjadinya penyelundupan hukum, misalnya seseorang yang berkewarganegaraan asing ingin memperoleh status kewarganegaraan suatu Negara dengan cara atau berpura-pura melakukan pernikahan dengan pasangan di Negara tersebut.
3.      Sistem Kewarganegaraan berdasarkan Naturalisasi
Adalah suatu perbuatan hukum yang dapat menyebabkan seseorang memperoleh status kewarganegaraan, Misal : seseorang memperoleh status kewarganegaraan akibat dari pernikahan, mengajukan permohonan, memilih/menolak status kewarganegaraan.
a.       Naturalisasi Biasa
Yaitu suatu naturalisasi yang dilakukan oleh orang asing melalui permohonan dan prosedur yang telah ditentukan.
b.      Naturalisasi Istimewa 
Yaitu kewarganegaraan yang diberikan oleh pemerintah (presiden) dengan persetujuan DPR dengan alasan kepentingan negara atau yang bersangkutan telah berjasa terhadap negara.
Dalam menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan naturalisasi digunakan 2 stelsel, yaitu :
1.      Stelsel Aktif, yakni untuk menjadi warga negara pada suatu negara seseorang harus melakukan tindakan-tindakan hukum secara aktif.
2.      Stelsel Pasif, yakni seseorang dengan sendirinya dianggap sebagai warga negara tanpa melakukan sesuatu tindakan hukum.

C.  Sejarah Kewarganegaraan
Mengetahui tentang masalah kewarganegaraan juga melibatkan sejarah dari sistem kewarganegaraan, yang berkembang dari masa ke masa. Diawali dengan:
1.      Zaman penjajahan Belanda
Hindia Belanda bukanlah suatu negara, maka tanah air pada masa penjajahan Belanda tidak mempunyai warga negara, dengan aturan sebagai berikut:
(1)   kawula negara belanda orang Belanda,
(2)   kawula negara belanda bukan orang Belanda, tetapi yang termasuk Bumiputera,
(3)   kawula negara belanda bukan orang Belanda, juga bukan orang Bumiputera, misalnya: orang – orang Timur Asing (Cina, India, Arab, dan lain-lain).[5]     
2.      Masa kemerdekaan
pada masa ini, Indonesia belum mempunyai UUD. Sehari setelah kemerdekaan, yakni tanggal 18 agustus 1945, panitia persiapan kemerdekaan Indonesia mengesahkan UUD 1945. Mengenai kewarganegaraan UUD 1945 dalam pasal 26 ayat(1) menentukan bahwa “Yang menjadi warga negara ialah orang – orang bangsa Indonesia aseli dan orang – orang bangsa lain yang di sahkan dengan undang – undang sebagai warga negara,” sedang ayat 2 menyebutkan bahwa syarat – syarat yang mengenai kewarganegaraan ditetapan dengan undang – undang.[6]Sebagai pelaksanaan dari pasal 26, tanggal 10 april 1946, diundangkan UU No. 3 Tahun 1946. Adapun yang dimaksud dengan warga negara Indonesia menurut UU No. 3 Tahun 1946 adalah:
(1) Orang yang asli dalam daerah Indonesia,
(2) Orang yang lahir dan bertempat kedudukan dan kediaman di dalam wilayah negara      Indonesia,
(3) Anak yang lahir di dalam wilayah Indonesia.[7]
3.    Persetujuan Kewarganegaraan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB)
Persetujuan perihal pembagian warga negara hasil dari konferensi meja bundar (KMB) tanggal 27 desember 1949 antara Belanda dengan Indonesia Serikat ada tiga hal yang penting dalam persetujuan tersebut antara lain:
(1)   Orang Belanda yang tetap berkewargaan Belanda, tetapi terhadap keturunannya yang lain dan bertempat tinggal di Indonesia kurang lebih 6 bulan sebelum 27 desember 1949 setelah penyerahan keddaulatan dapat memilih kewarganegaraan Indonesia yang disebut juga “Hak Opsi” atau hak untuk memilih kewarganegaraan.
(2)   Orang – orang yag tergolong kawula Belanda (orang Indonesia asli) berada di Indonesia memperoleh kewarganegaraan Indonesia kecuali tidak tinggal di Suriname / Antiland Belanda dan dilahirkan di wilayah Belanda dan dapat memilih kewarganegaraan Indonesia,
(3)   Orang – orang Eropa dan Timur Asing, maka terhadap mereka dua kemungkinan yaitu: jika bertempat tinggal di Belanda, maka dtetapkan kewarganegaraan Belanda, maka yang dinyatakan sebagai WNI dapat menyatakan menolak dalam kurun waktu 2 tahun.[8]            
4. Berdasarkan undang – undang nomor 62 tahun 1958
Undang – undang tentang kewarganegaraan Indonesia yang berlaku sampai sekarang adalah UU No. 62 tahun 1958, yang mutlak berlaku sejak diundangkan tanggal 1agustus 1958. Beberapa bagian dari undang – undang itu, yaitu mengenai ketentuan – ketentuan siapa warga negara Indonesia, status anak – anak an cara – cara kehilangan kewarganegaraan, ditetapkan berlaku surut hingga tanggal 27 desember 1949.
Hal – hal selengkapnya yang diatur dalam UU No. 62 tahun 1958 antara lain: (1) siapa yang dinyatakan berstatus warga negara Indonesia (WNI), (2) naturalisasi atau pewarganegaraan biasa,(3) akibat pewarganegaraan, (4) pewarganegaraan istimewa, (5) kehilangan kewarganegaraan Indonesia, dan (6) Siapa yang dinyatakan berstatus asing.
Menurut undang – undang :
1)      Mereka berdasarkan UU/ peraturan/perjanjian, yang terlebih dahulu (berlaku surut)
2)      Mereka yang memenuhi syarat – syarat tertentu yang ditentukan dalam undang – undang itu.
Selain itu, mungkin juga seorang Indonesia menjadi orang asing karena :
1)      Dengan sengaja, insyaf, dan sadar menolak kewarganegaraan RI,
2)      Menolak kewarganegaraan karena khilaf atau ikut - ikutan saja,
3)      Di tolak oleh orang lain, misalnya seorang anak yang ikut status orang tuanya yang menolak kewarganegaraan RI.[9]   
         
D.  Masalah Kedudukan Hukum Bagi Orang Asing
Sesuai dengan pasal 38 UU No. 9 Tahun 1992 tentang keimigrasian, menyatakan pengawasan terhadap orang asing di Indonesia meliputi: pertama, masuk dan keluarnya ke dan dari wilayah Indonesia, kedua, keberadaan serta kegiatan orang asing di wilayah Indonesia. Adapun tugas pengawasan terhadap orang asing yang berada di Indonesia dilakukan oleh menteri kehakiman dengan koordinasi dengan badan atau instansi pemerintah yang terkait.    
Masalah lain yang berkaitan dengan orang asing adalah tentang perkawinan campuran, yaitu perkawinan antar a dua orang yang berbeda kewarganegaraan. Dan yang paling menimbulkan persoalan serius adalah perkawinan campuran antar-agama.
1.      Perkawinan campuran antar-golongan (intergentiel)
Bahwa hukum mana atau hukum apa yang berlaku , kalau timbul perkawinan antara dua orang, yang masing – masing sama atau berbeda kewarganegaraannya, yang tunduk pada peraturan hukum yang berlainan. Misalnya, WNI asal Eropa kawin dengan orang Indonesia asli.
2.      Perkawinan campuran antar-tempat (interlocaal)
Yakni perkawinan antara orang – orang Indonesia asli dari lingkungan adat. Misal , orang Minang kawin dengan orang jawa.
3.      Perkawinan campuran antar-agama (interriligius)
Mengatur hubungan (perkawinan) antara dua orang yang masing – masing tunduk pada peraturan agama yang berlainan.
Dalam tataran praksis perkawinan campuran antar-agama  tidak dikenal di Indonesia. UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan secara tegas tidak menganut perkawinan  campuran antar-agama.
Berkaitan dengan status istri dalam perkawinan campuran, maka terdapat dua asas:
a)      Asas mengikuti, maka suami/istri mengikuti suami/istri baik pada waktu perkawinan berlangsung, kemudian setelah perkawinan berjalan.
Pasal 26 UU Kewarganegaraan menyatakan :
Ayat (1) perempuan warga negara Indonesia yang kawin dengan laki – laki warga negara asing kehilangan kewarganegaraan RI jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut.
Ayat (2) Laki – laki warga negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga negara asing kehilangan kewarganegaraanya RI jika menurut hukum asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut.
b)      Asas persamamerataan
Menurut asas ini, bahwasanya perkawinan tidak mempengaruhi sama sekali kewarganegaraan seseorang, dalam arti mereka (suami atau istri) bebas menentukan sikap dalam menentukan kewarganegaraan asal sekalipun sudah menjadi suami istri.
Ketentuan ini di atur dalam pasal 26 ayat (3) UU kewarganegaraan , bahwa perempuan atau laki – laki WNI yang menikah dengan WNA tetap menjadi WNI jika yang bersangkutan memiliki keinginan untuk tetap menjadi WNI. Adapun mekanismenya dengan, yaitu dengan jalan mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada pejabat atau perwakilan republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda.[10]         

  





















BAB III
PENUTUP


A.     Kesimpulan
1)      Warga negara adalah:
a.       Yang dimaksud dengan rakyat suatu negara haruslah mempunyai ketegasan bahwa mereka itu benar-benar tunduk kepada Undang-Undang Dasar Negara yang berlaku, mengakui kekuasaan Negara tersebut dan mengakui wilayah Negara tadi sebagai Tanah Airnya yang hanya satu-satunya.
b.      Penduduk adalah semua orang yang ada  atau bertempat tinggal dalam wilayah negara dengan ketegasan telah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh peraturan Negara.



















Daftar Pustaka


1)      R.G. Karta Sapoetra, Sistematika Hukum Tata Negara, Jakarta : Bina Aksara.
2)      Moh. Kusnardi, Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : Sastra Hudaya.
3)      Tutik, Titik Triwulan, 2010, Kontruksi hukum tata negara Indonesia pasca amandemen UUD 1945, Jakarta, Kecana Prenada Media Group.






















[1] R.G. Karta Sapoetra, Sistematika Hukum Tata Negara, Jakarta : Bina Aksara, hlm. 212
[2] Moh. Kusnardi, Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : Sastra Hudaya, hlm. 291
[3] Ibid., hlm. 294
[4] Sapoetra, Op.Cit., hlm. 219
[5] Tutik, Titik Triwulan, 2010, Kontruksi hukum tata negara Indonesia pasca amandemen UUD 1945, Jakarta, Kecana Prenada Media Group, hal 313.
[6] Moh. Kusnardi, Harmaily Ibrahim, Op. Cit., hal 297.
[7] Tutik, Titik Triwulan, Op. Cit., hal 314.
[8] Tutik, Op. Cit., hal 315.
[9] Ibid., hal 316.
[10] Tutik, Op. Cit., hal 325-328.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar