PUTUSNYA PERKAWINAN BERDASARKAN HUKUM ISLAM
PUTUSNYA PERKAWINAN
1. Arti Perceraian
Perceraian dalam istilah ahli Figh
disebut “talak” atau “furqah”. Talak berarti membuka
ikatan membatalkan perjanjian, sedangkan “furqah” berarti bercerai
(lawan dari berkumpul). Lalu kedua kata itu dipakai oleh para ahli Figh sebagai
satu istilah, yang berarti perceraian antara suami-isteri.
Perkataan talak dalam istilah ahli
Figh mempunyai dua arti, yakni arti yang umum dan arti yang khusus. Talak dalam
arti umum berarti segala macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh
suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan
sendirinya atau perceraian karena meninggalnya salah seorang dari suami atau
isteri. Talak dalam arti khusus berarti perceraian yang dijatuhkan oleh pihak
suami.
Karena salah satu bentuk dari
perceraian antara suami-isteri itu ada yang disebabkan karena talak maka untuk
selanjutnya istilah talak yang dimaksud di sini ialah talak dalam arti yang
khusus.
Meskipun Islam menyukai terjadinya
perceraian dari suatu perkawinan. Dan perceraian pun tidak boleh dilaksanakan
setiap saat yang dikehendaki. Perceraian walaupun diperbolehkan tetapi agama
Islam tetap memandang bahwa perceraian adalah sesuatu yang bertentangan dengan
asas – asas Hukum Islam.
2. Sebab-sebab Putusnya Hubungan Perkawinan
Yang menjadi sebab putusnya
perkawinan ialah:
1. Talak
2. Khulu’
3. Syiqaq
4. Fasakh
5. Ta’lik talak
6. Ila’
7. Zhihar
8. Li’aan
9. Kematian
2.1. Talak
2.1.1. Hak Talak
Hukum Islam menentukan bahwa hak talak adalah pada suami dengan alasan
bahwa seorang laki-laki itu pada umumnya lebih mengutamakan pemikiran dalam
mempertimbangkan sesuatu daripada wanita yang biasanya bertindak atas dasar
emosi. Dengan pertimbangan yang demikian tadi diharapkan kejadian perceraian
akan lebih kecil, kemungkinannya daripada apabila hak talak diberikan kepada
isteri. Di samping alasan ini, ada alas an lain yang memberikan wewenang/hak
talak pada suami, antara lain:
a. Akad nikah dipegang oleh suami.
Suamilah yang menerima ijab dari pihak isteri waktu dilaksanakan akad nikah.
b. Suami wajib membayar mahar kepada
isterinya waktu akad nikah dan dianjurkan membayar uang mu’tah (pemberian
sukarela dari suami kepada isterinya) setelah suami mentalak isterinya.
c. Suami wajib memberi nafkah
isterinya pada masa iddah apabila ia mentalaknya.
d. Perintah-perintah mentalak dalam
Al-Quran dan Hadist banyak ditujukan pada suami.
2.1.2. Syarat-syarat menjatuhkan Talak
Seperti kita
ketahui bahwa talak pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak
diperbolehkan/dibenarkan, maka untuk sahnya harus memenuhi syarat-syarat
tertentu. Syarat-syarat itu ada pada suami, isteri, dan sighat talak.
a. Syarat-syarat seorang suami yang
sah menjatuhkan talak ialah:
· Berakal sehat
· Telah baliqh
· Tidak karena paksaan
Para ahli
Fiqh sepakat bahwa sahnya seorang suami menjatuhkan talak ialah telah
dewasa/baliqh dan atas kehendak sendiri bukan karena terpaksa atau ada paksaan
dari pihak ketiga. Dalam menjatuhkan talak suami tersebut harus dalam keadaan
berakal sehat, apabila akalnya sedang terganggu. Misalnya: orang yang sedang
mabuk atau orang yang sedang marah tidak boleh menjatuhkan talak. Mengenai
talak orang yang sedang mabuk kebanyakan para ahli Fiqh berpendapat bahwa
talaknya tidak sah, karena orang yang sedang mabuk itu dalam bertindak adalah
di luar kesadaran. Sedangkan orang yang marah kalau menjatuhkan talak hukumnya
dalah tidak sah. Yang dimaksud marah di sini ialah marah yang sedemikian rupa,
sehingga apa yang dikatakannya hamper-hampir di luar kesadarannya.
b. Syarat-syarat seorang isteri
supaya sah ditalak suaminya ialah:
· Isteri telah terikat denagn
perkawinan yang sah dengan suaminya. Apabila akad-nikahnya diragukan
kesahannya, maka isteri itu tidak dapat ditalak oleh suaminya.
· Isteri harus dalam keadaan suci yang
belum dicampuri oleh suaminya dalam waktu suci itu.
· Isteri yang sedang hamil.
c. Syarat-syarat pada sighat talak
Sighat talak ialah perkataan/ucapan
yang diucapkan oleh suami atau wakilnya di waktu ia menjatuhkan talak pada
isterinya. Sighat talak ini ada yang diucapkan langsung, seperti “saya
jatuhkan talak saya satu kepadamu”. Adapula yang diucapkan secara sindiran
(kinayah), seperti “kembalilah ko orangtuamu” atau “engkau telah aku
lepaskan daripadaku”. Ini dinyatakan sah apabila:
· Ucapan suami itu disertai niat
menjatuhkan talak pada isterinya.
· Suami mengatakan kepada Hakim bahwa
maksud ucapannya itu untuk menyatakan talak kepada isterinya. Apabila ucapannya
itu tidak bermaksud untuk menjatuhkan talak kepda isterinya maka sighat talak
yang demikian tadi tidak sah hukumnya.
Mengenai saat jatuhnya talak, ada
yang jatuh pada saat suami mengucapkan sighat talak (talak “munziz”) dan ada
yang jatuh setelah syarat-syarat dalam sighat talak terpenuhi (talak
“muallaq”).
2.1.3. Macam-macam Talak
a. Talak raj’i adalah talak, di mana
suami boileh merujuk isterinya pada waktu iddah. Talak raj’i ialah talak satu
atau talak dua yang tidak disertai uang ‘iwald dari pihak isteri.
b. Talak ba’in, ialah talak satu
atau talak dua yang disertai uang ‘iwald dari pihak isteri, talak ba’in sperti
ini disebut talak ba’in kecil. Pada talak ba’in kecil suami tidak boleh
merujuk kembali isterinya dala masa iddah. Kalau si suami hendak mengambil
bekas isterinya kembali harus dengan perkawinan baru yaitu dengan melaksanakan
akad-nikah. Di samping talak ba’in kecil, ada talak ba’in besar, ialah
talak yang ketiga dari talak-talak yang telah dijatuhkan oleh suami. Talak
ba’in besar ini mengakibatkan si suami tidak boleh merujuk atau mengawini
kembali isterinya baik dalam masa ‘iddah maupun sesudah masa ‘iddah habis.
Seorang suami yang mentalak ba’in besar isterinya boleh mengawini isterinya kembali
kalau telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
· Isteri telah kawin dengan laki-laki
lain.
· Isteri telah dicampuri oleh suaminya
yang baru.
· Isteri telah dicerai oleh suaminya
yang baru.
· Talah habis masa ‘iddahnya.
c. Talak sunni, ialah talak yang
dijatuhkan mengikuti ketentuan Al-Quran dan Sunnah Rasul. Yang termasuk talak
sunni ialah talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan suci dan
belum dicampuri dan talak yang dijatuhkan pada saat isteri sedang hamil.
Sepakat para ahli Fiqh, hukumnya talak suami dalah halal.
d. Talak bid’i, ialah talak yang
dijatuhkan dengan tidak mengikuti ketentuan Al-Quran maupun Sunnah Rasul.
Hukumnya talak bid’i dalah haram. Yang termasuk talak bid’i ialah:
· Talak yang dijatuhkan pada isteri
yang sedang haid atau datang bulan.
· Talak yang dijatuhkan pada isteri
yang dalam keadaan suci tetapi telah dicampuri.
· Talak yang dijatuhkan dua sekaligus,
tiga sekaligus atau mentalak isterinya untuk selama-lamanya.
2.2. Khuluk
Talak khuluk
atau talak tebus ialah bentuk perceraian atas persetujuan suami-isteri dengan
jatuhnya talak satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta atau uang
dari pihak isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri yang
menginginkan cerai dengan khuluk itu.
Adanya kemungkinan bercerai dengan
jalan khuluk ini ialah untuk mengimbangi hak talak yang ada pada suami. Dengan
khuluk ini si isteri dapat mengambil inisiatif untuk memutuskan hubungan
perkawinan dengan cara penebusan. Penebusan atau pengganti yang diberikan
isteri pada suaminya disebut juga dengan kata “iwald”.
Syarat sahnya khuluk ialah:
a. Perceraian dengan khuluk itu
harus dilaksanakan dengan kerelaan dan persetujuan suami-isteri.
b. Besar kecilnya uang tebusan harus
ditentukan dengan persetujuan bersama antara suami-isteri.
Apabila
tidak terdapat persetujuan antara keduanya mengenai jumlah uang penebus, Hakim
Pengadilan Agama dapat menentukan jumlah uang tebusan itu.
Khuluk dapat dijatuhkan
sewaktu-waktu, tidak usah menanti isteri dalam keadaan suci dan belum
dicampuri, hal ini disebabkan karena khuluk itu terjadi atas kehendak isteri
sendiri.
2.3. Syiqaq
Syiqaq itu berarti perselisihan atau
menurut istilah Fiqh berarti perselisihan suami-isteri yang diselesaikan dua
orang hakam, satu orang dari pihak suami dan yang satu orang dari pihak isteri.
Menurut Syekh Abdul ‘Aziz Al Khuli
tugas dan syarat-syarat orang yang boleh diangkat menjadi hakam adalah sebagai
berikut:
a. Berlaku adil di antara pihak yang
berpekara.
b. Dengan ikhlas berusaha untuk mendamaikan
suami-isteri itu.
c. Kedua hakam itu disegani oleh
kedua pihak suami-isteri.
d. Hendaklah berpihak kepada yang
teraniaya/dirugikan apabila pihak yang lain tidak mau berdamai.
2.4. Fasakh
Arti fasakh ialah merusakkan atau
membatalkan. Ini berarti bahwa perkawinan itu diputuskan/dirusakkan atas
permintaan salah satu pihak oleh hakim Pengadilan Agama.
Biasanya yang menuntut fasakh di
pengadilan adalah isteri. Adapun alasan-alasan yang diperbolehkan seorang
isteri menuntut fasakh di pengadilan:
a. Suami sakit gila.
b. Suami menderita penyakit menular
yang tidak dapat diharapkan dapat sembuh.
c. Suami tidak mampu atau kehilangan
kemampuan untuk melakukan hubungan kelamin.
d. Suami jatuh miskin hingga tidak
mampu memberi nafkah pada isterinya.
e. Isteri merasa tertipu baik dalam
nasab, kekayaan atau kedudukan suami.
f. Suami pergi tanpa diketahui
tempat-tinggalnya dan tanpa berita, sehingga tidak diketahui hidup atau mati
dan waktunya sudah cukup lama.
2.5. Taklik Talak
Arti
daripada ta’lik ialah menggantungkan, jadi pengertian ta’lik talak ialah suatu
talak yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah
disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan lebih dahulu.
Di Indonesia pembacaan ta’lik talak
dilakukan oleh suami setelah akad nikah. Adapun sighat ta’lik talak yang
tercantum dalam buku nikah dari Departemen Agama adalah sebagai berikut:
Sewaktu-waktu saya:
a. Meninggalkan isteri saya tersebut
enam bulan berturut-turut;
b. Atau saya tidak memberi nafkah
wajib kepadanya tiga bulan lamanya;
c. Atau saya menyakiti badan/jasmani
isteri saya itu;
d. Atau saya membiarkan/tidak
memperdulikan isteri saya itu enam bulan lamanya.
Kemudian isteri saya tidak rela dan
mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus
pengaduan itu, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan atau
petugas tersebut dan isteri saya itu membayar uang sebesar Rp …….. sebagai
‘iwald (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada
Pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang ‘iwald
(pengganti) itu dan kemudian memberikannya untuk keperluan ibadah sosial.
Talak satu
yang dijatuhkan suami berdasarkan ta’lik, mengakibatkan hak talak suami tinggal
dua kali, apabila keduanya kembali melakukan perkawinan lagi.
Kalau kita perhatikan jatuhnya talak
dengan ta’lik ini hampir sama dengan khuluk, sebab sama-sama disertai uang
‘iwald dari pihak isteri. Sehingga talak yang dijatuhkan atas dasar ta’lik
dianggap sebagai talak ba’in, suami boleh mengambil isterinya kembali dengan
jalan melaksanakan akad-nikah baru.
2.6. Ila’
Arti
daripada ila’ ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam
kalangan bangsa Arab jahiliyah perkataan ila’ mempunyai arti khusus dalam hukum
perkawinan mereka, yakni suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya,
waktunya tidak ditentukan dan selama itu isteri tidak ditalak ataupun
diceraikan. Sehingga kalau keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang
menderita adalah pihak isteri karena keadaannya tekatung-katung dan tidak
berketentuan.
Berdasarkan Al-Quran, surat
Al-Baqarah ayat 226-227, dapat diperoleh ketentuan bahwa:
a. Suami yang mengila’ isterinya
batasnya paling lama hanya empat bulan.
b. Kalau batas waktu itu habis maka
suami harus kembali hidup sebagai suami-isteri atau mentalaknya.
Bila sampai
batas waktu empat bulan itu habis dan suami belum mentalak isterinya atau
meneruskan hubungan suami-isteri, maka menurut Imam Abu Hanifah suami yang diam
saja itu dianggap telah jatuh talaknya satu kepada isterinya.
Apabila suami hendak kembali
meneruskan hubungan dengan isterinya, hendaklah ia menebus sumpahnya dengan
denda atau kafarah. Kafarah sumpah ila’ sama dengan kafarah umum yang
terlanggar dalam hukum Islam. Denda sumpah umum ini diatur dalam Al-Quran surat
Al-Maidah ayat 89, berupa salah satu dari empat kesempatan yang diatur secara
berurutan, yaitu:
a. Memberi makan sepuluh orang
miskin menurut makan yang wajar yang biasa kamu berikan untuk keluarga kamu,
atau
b. Memberikan pakaian kepada sepuluh
orang miskin, atau
c. Memerdekakan seorang budak, atau
kamu tidak sanggup juga maka
d. Hendaklah kamu berpuasa tiga
hari.
Pembayaran
kafarah ini pun juga harus dilaksanakan apabila suami mentalak isterinya dan
merujuknya kembali pada masa ‘iddah atau dalam perkawinan baru setelah masa
‘iddah habis.
2.7. Zhihar
Zhihar
adalah prosedur talak, yang hampir sama dengan ila’. Arti zhihar ialah seorang
suami yang bersumpah bahwa isterinya itu baginya sama dengan punggung ibunya.
Dengan bersumpah demikian itu berarti suami telah menceraikan isterinya. Masa
tenggang serta akibat zhihar sama dengan ila’. Ketentuan mengenai zhihar ini
diatur dalam Al-Quran surat Al-Mujadilah ayat 2-4, yang isinya:
a. Zhihar ialah ungkapan yang
berlaku khusus bagi orang Arab yang artinya suatu keadaan di mana seorang suami
bersumpah bahwa bagi isterinya itu sama denagn punggung ibunya, sumpah ini
berarti dia tidak akan mencampuri isterinya lagi.
b. Sumpah seperti ini termasuk hal
yang mungkar, yang tidak disenangi oleh Allah dan sekaligus merupakan perkataan
dusta dan paksa.
c. Akibat dari sumpah itu ialah
terputusnya ikatan perkawinan antara suami-isteri. Kalau hendak menyambung
kembali hubungan keduanya, maka wajiblah suami membayar kafarahnya lebih dulu.
d. Bentuk kafarahnya adalah
melakukan salah satu perbuatan di bawah ini dengan berurut menurut urutannya
menurut kesanggupan suami yang bersangkutan, yakni:
· Memerdekakan seorang budak, atau
· Puasa dua bulan berturut-turut, atau
· Memberi makan 60 orang miskin.
2.8. Li’an
Arti li’an
ialah laknat yaitu sumpah yang di dalamnya terdapat pernyataan bersedia
menerima laknat Tuhan apabila yang mengucapkan sumpah itu berdusta. Akibatnya
ialah putusnya perkawinan antara suami-isteri untuk selama-lamanya.
Proses pelaksanaan perceraian karena
li’an diatur dalam Al-Quran syrat An-Nur ayat 6-9, sebagai berikut:
a. Suami yang menuduh isterinya
berzina harus mengajukan saksi yang cukup yang turut menyaksikan perbuatan
penyelewengan tersebut.
b. Kalau suami tidak dapat
mengajukan saksi, supaya ia tidak terkena hukuman menuduh zina, ia harus
mengucapkan sumpah lima kali. Empat kali dari sumpah itu ia menyatakan bahwa
tuduhannya benar, dan sumpah kelima menyatakan bahwa ia sanggup menerima laknat
Tuhan apabial tuduhannya tidak benar (dusta).
c. Untuk membebaskan diri dari
tuduhan si isteri juga harus bersumpah lima kali. Empat kali ia menyatakan
tidak bersalah dan yang kelima ia menyatakan sanggup menerima laknat Tuhan
apabila ia bersalah dan tuduhan suaminya benar.
d. Akibat dari sumpah ini isteri
telah terbebas dari tuduhan dn ancaman hukuman, namun hubungan perkawinan
menjadi putus untuk selama-lamanya.
2.9. Kematian
Putusnya
perkawinan dapat pula disebabkan karena kematian suami atau isteri. Dengan
kematian salah satu pihak, maka pihak lain berhak waris atas harta peninggalan
yang meninggal.
Walaupun dengan kematian suami tidak
dimungkinkan hubungan mereka disambung lagi, namun bagi isteri yang kematian
suami tidak boleh segera melaksanakan perkawinan baru dengan laki-laki lain. Si
isteri harus menunggu masa iddahnya habis yang lamanya empat bulan sepuluh
hari.
3. Iddah
3.1. Arti Iddah
Iddah ialah
masa menunggu atau tenggang waktu sesudah jatuh talak, dalam waktu mana si
suami boleh merujuk kembali isterinya. Sehingga pada masa iddah ini si isteri
belum boleh melangsungkan perkawinan baru dengan laki-laki lain.
3.2. Tujuan dan Kegunaan Masa Iddah
Kegunaan dan
tujuan iddah dalah sebagai berikut:
a. Untuk memberi kesempatan berpikir
kembali denagn pikiran yang jernih, setelah mereka menghadapi keadaan rumah
tangga yang panas dan yang demikian keruhnya sehingga mengakibatkan perkawina
mereka putus. Kalau pikiran telah jernih dan dingin diharapkan suami akan
merujuk isterinya kembali dan begitu pula si isteri diharapkan jangan menolak rujuk
suaminya itu. Sehingga hubungan perkawinan mereka dapat diteruskan kembali.
b. Dalam perceraian karena ditinggal
mati suami, iddah ini diadakan untuk menunjukkan rasa berkabung atas kematian
suami.
c. Untuk mengetahui apakah dalam
masa iddah yang berkisar antara tiga atau empat bulan itu, isteri dalam keadaan
mengandung atau tidak. Hal ini penting sekali untuk ketegasan dan kepastian
hukum mengenai bapak si anak yang seandainya telah ada dalam kandungan wanita
yang bersangkutan.
3.3. Macam-macam Iddah
Di lihat
dari sebab terjadinya perceraian, maka iddah dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Iddah kematian
Isteri yang ditinggal mati suaminya
harus menjalani masa iddahnya sebagai berikut:
· Bagi isteri yang tidak sedang
mengandung, iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Ketentuan ini tercantum dalam
Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 234, yang berbunyi:
“Orang-orang yang meninggal dunia di
antara kamu dengan meninggalkan isteri-isteri, hendaklah isteri-isteri itu
menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari”.
· Bagi isteri yang sedang mengandung
iddahnya adalah sampai melahirkan. Dasarnya adalah Al-Quran syrat At-Talaaq
ayat 4, yang bunyinya:
“Isteri yang sedang hamil iddahnya
dalah sampai melahirkan kandungan”
b. Iddah talak
Isteri yang bercerai dengan suaminya
dengan jalan talak, iddahnya dalah sebagai berikut:
· Untuk isteri yang dicerai dalam
keadaan mengandung maka iddahnya adalah sampai melahirkan kandungannya.
· Istri yang masih mengalami haid
(menstruasi), iddahnya adalah tiga kali suci; termasuk suci pada saat terjadi
talak, asal sebelumnya tidak dilakukan hubungan suami-isteri, sesuai dengan
ketentuan surat Al-Baqarah 228.
· Isteri yang tidak pernah atau tidak
dapat lagi mengalami haid iddahnya adalah tiga bulan. Ketentuan ini terdapat
dalam Al-Quran Surat Al-Talaaq ayat 4.
· Bagi isteri yang belum pernah
dikumpuli dan kemudian ditalak, maka menurut ketentuan Al-Quran surat Al-Akrab
ayat 49, isteri tersebut tidak perlu menjalani masa iddah. Dan apabila pada
waktu akad-nikah belum ditentukan berapa jumlah maskawin yang akan diberikan
kepadanya, maka suami yang mentalak itu wajib memberikan sejumlah harta kepada
isteri yang di talak sebelum dicampuri itu.
· Perceraian dengan jalan fasakh
berlaku juga ketentuan iddah karena talak.
3.4. Kewajiban dan Hak Isteri dalam Masa Iddah
Kewajiban isteri dalam masa iddah
ialah harus bertempat tinggal di rumah yang ditentukan oleh suami untuk
didiami, sampai masa iddahnya habis. Selama waktu iddah isteri dilarang diusir
atau dikeluarkan dari rumah tersebut. Selama masa iddah isteri berhak mendapat
nafkah dari suaminya seperti nafkah sebelum terjadi perceraian, yaitu berupa
perumahan, makanan dan pakaian.
Bagi isteri yang meninggalkan rumah
yang telah ditetapkan tanpa alasan-alasan yang bisa dipertanggung-jawabkan, ia
dianggap nusyuz. Isteri yang sudah nusyuz tidak berhak lagi menerima nafkah
iddah atau haknya nafkah iddah menjadi gugur.
3.5. Nafkah Setelah Habis Iddah
Wanita yang
ditalak suaminya dan masa iddahnya telah habis, ia boleh melakukan perkawinan
baru dengan laki-laki lain. Dengan terjadinya perkawinan baru ini, hubungan
bekas suami dengan isteri tersebut telah betul-betul putus, sehingga dengan
sendirinya isteri tidak berhak lagi menerima nafkah dari bekas suaminya,
demikian sebaliknya suami tidak berkewajiban lagi memberi nafkah pada
isterinya.
Undang-Undang Perkawinan dalam pasal
41 ayat (c) memberi ketentuan bahwa Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas
suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban
bagi bekas isteri. Hal ini sesuai juga dengan Al-Quran surat Al-Baqarah ayat
241.
4. Rujuk
4.1. Arti Rujuk
Rujuk adalah berarti kembali
artinya kembali hidup sebagai suami-isteri antara laki-laki dan wanita yang
melakukan perceraian dengan jalan talak raj’i selama masih dalam masa iddah
tanpa pernikahan ba’in. Yang mempunyai hak rujuk adalah suami, sebagai imbangan
dari hak talak yang dimilikinya. Ketentuan mengenai hak rujuk ini diatur dalam
Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 228.
4.2. Syarat-syarat Rujuk
Apabila bekas suami hendak merujuk
bekas istrinya, hendaklah memenuhi syarat-syarat sebagia berikut:
a. Bekas isteri yang ditalak itu
sudah pernah dicampuri. Sehingga perceraian yang terjadi di mana isteri belum
pernah dicampuri oleh suami, tak memberikan hak rujuk kepada suami.
b. Harus dilakukan dalam masa iddah.
c. Harus disaksikan oleh dua orang
saksi.
d. Talak yang dijatuhkan oleh suami
tidak disertai ‘iwald dari pihak isteri.
e. Persetujuan isteri yang akan
dirujuk.
4.3. Cara Pelaksanaan Rujuk
Cara pelaksanaan rujuk ini ada du pendapat,
yakni:
a. Rujuk dengan perkataan,
misalnya bekas suami berkata kepada bekas isterinya “aku rujuk kepada
isteriku”. Dengan diucapkannya sighat rujuk ini, maka rujuk itu telah dianggap
terjadi. Sighat rujuk yang digantungkan pada suatu syarat yang belum terjadi
atau digantungkan pada masa yang akan datang, dianggap tidak sah.
b. Rujuk dengan perbuatan, ialah
apabila suami mencampuri isterinya kembali, walaupun tidak dengan perkataan
tertentu dianggap sah dan rujuknya telah terjadi.
5. Hadlanah (Mengasuh Anak)
Apabila
terjadi perceraian di mana telah diperoleh keturunan dalam perkawinan itu, maka
yang berhak mengasuh anak hasil perkawinan adalah ibu, atau nenek seterusnya ke
atas. Tetapi mengenai pembiayaan untuk penghidupan anak itu, termasuk biaya
pendidikannya adalah menjadi tanggungjawab anaknya.
Berakhir masa asuhan adalah pada
waktu anak itu sudah bisa ditanya kepada siapa dia akan terus ikut. Hal ini
mengakibatkan timbulnya hak asuh atas anak tersebut.
Akibat putusnya perkawinan karena
perceraian, khususnya mengenai pemeliharaan anak dan biaya pendidikannya,
Undang-Undang Perkawinan mengaturnya di dalam pasal 41 ayat (a) dan (b) sebagai
berikut:
a. Baik ibu atau bapak tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mataBaik ibu atau
bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya
semata-matadasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung-jawab atas
semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana
dapat dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
6. Perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan
6.1. Cara-cara Putusnya Perkawinan
Di dalam
Undang-Undang perkawinan tidak diatur secara rinci mengenai cara-cara
perceraian seperti yang diatur dalam Hukum Islam, melainkan hanya menyebut
secara umum mengenai putusnya hubungan perkawinan ini dalam tiga golongan
seperti yang tercantum dalam pasal 38 sebagai berikut:
a. Karena kematian salah satu pihak
Putusnya hubungan perkawinan karena
kematian salah satu pihak tidak banyak menimbulkan persoalan karena putusnya
perkawinan di sini bukan karena kehendak salah satu pihak, tetapi karena
kehendak Tuhan.
b. Perceraian
Dalam pasal 39 ayat 1 disebutkan
bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Walaupun
perceraian itu urusan pribadi, tetapi perlu ada campur tangan pemerintah karena
demi menghindarkan tindakan sewenang-wenang terutama dari pihak suami dan juga
demi kepastian hukum.
6.2. Alasan-alasan Perceraian
Berdasarkan pasal 39 ayat 2 beserta
penjelasannya dan dipertegas lagi dalam pasal 19 P.P. No. 9/1975, alasa
menggugat perceraian sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina
atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan
pihak lain selam 2 tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan
yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman
penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan
kekejaman atau penganiyaan berat yang membahaykan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat
badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami/isteri.
f. Antara suami-isteri terus-menerus
terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun
lagi dalam rumahtangga.
6.3. Tatacara Perceraian
Berdasarkan pasal 39-41
Undang-Undang Perkawinan dan dalam Peraturan Pemerintah No. 9/1975 pasal 14-36,
perceraian ada 2 macam yaitu:
a. Cerai talak
Tatacara tentang seorang suami yang
hendak mentalak isterinya diatur dalam P.P. No. 9/1975 pasal 14-18 yang pada
dasarnya dalah sebagai berikut:
· Seorang suami yang telah
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam yang akan menceraikan isterinya,
mengajukan surat kepada Pengadilan Agama di tempat tinggalnya, yang berisi
pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan
alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk
keperluan itu. Di sini ditegaskan bahwa pemberitahuan itu harus dilakukan
secara tertulis dan yang diajukan oleh suami tersebut bukanlah surat
permohonan tetapi surat pemberitahuan. Setelah terjadi perceraian di
muka Pengadilan, maka Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang
terjadinya perceraian.
· Setelah pengadilan menerima surat
pembritahuan tersebut, kemudian setelah mempelajarinya, selambat-lambatnya 30
hari setelah menerima surat itu, Pengadilan memanggil suami dan isteri yang
akan bercerai itu, untuk dimintai penjelasan.
· Setelah Pengadilan mendapat penjelasan
dari suami-isteri, ternayat memang terdapat alasan-alasan untuk bercerai dan
Pengadilan berpendapat pula bahwa antara suami-isteri yang bersangkutan tidak
mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumahtangga, maka
Pengadilan memutuskan untuk mengadakan sidang untuk menyaksikan perceraian itu.
· Sidang Pengadilan tersebut, setelah
meneliti dan berpendapat adanya alasan-alasan untuk perceraian dan setelah
berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dan tidak berhasil, kemudian
menyaksikan perceraian yang dilakukan oleh suami itu di dalam sidang tersebut.
· Kemudian Ketua Pengadilan memberi
surat keterangn tentang terjadinya perceraian tersebut, dan surat keterangan
tersebut dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi
untuk diadakan pencatatan perceraian.
· Perceraian itu terjadi terhitung
pada saat terjadi perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan.
b. Cerai gugat
Cerai gugat adalah perceraian yang
disebabkan oleh adanya suatu gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak kepada
Pengadilan dan perceraian itu terjadi dengan suatu putusan Pengadilan.
Tatacara perceraian ini diatur dalam
P.P. No. 9/1975 pasal 20-36 yang pada dasarnya adalah sebagai berikut:
· Pengajuan gugatan
ü Gugatan perceraian diajukan oleh
suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat tergugat.
ü Dalam hal tempat kediaman tergugat
tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai kediaman yang tetap,
begitu juga tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan diajukan kepada
Pengadilan di tempat kediaman penggugat.
ü Demikian juga gugatan perceraian
dengan alasan salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun
berturut-turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau hal lain di
luar kemampuannya, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat penggugat.
· Pemanggilan
a) Pemanggilan harus disampaikan
kepda pribadi yang bersangkutan apabila tidak dapat dijumpai, panggilan
disampaikan melalui surat atau yang dipersamakan dengannya. Pemanggilan ini
dilakukan setiap akan dilakukan persidangan.
b) Yang melakukan pemanggilan
tersebut adalah jurusita (Pengadilan Negeri) dan petugas yang ditunjuk
(Pengadilan Agama).
c) Panggilan tersebut harus
dilakukan dengan cara yang patut dan sudah diterima oleh para pihak atau
kuasanya selambat-lambatanya 3 hari sebelum sidang dibuka. Panggilan kepada
tergugat harus dilampiri dengan salinan surat gugat.
d) Pemanggilan bagi tergugat yang
tempat kediamannya tidak jelas atau tidak mempunyai tempat kediaman tetap,
panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di
Pengadilan dan mengumumkan melalui satu atau beberapa suratkabar atau mass
media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan yang dilakukan dua kali dengan
tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.
e) Apabila tergugat berdiam di luar
negeri pemanggilannya melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.
· Persidangan
a) Persidangan untuk memeriksa
gugatan perceraian harus dilakukan oleh Pengadilan selambat-lambatnya 30 hari
setelah diterimanya surat gugatan di Kepaniteraan. Khusus bagi gugatan yang
tergugatnya bertempat kediaman di luar negeri, persidangan ditetapkan
sekurang-kurangnya 6 bulan terhiitung sejak dimasukkannua gugatan perceraian
itu.
b) Para pihak yang berpekara dapat
menghadiri sidang atau didampingi kuasanya atau sama sekali menyerahkan kepada
kuasanya dengan membawa surat nikah/rujuk, akta perkawinan, surat keterangan
lainnya yang diperlukan.
c) Apabila tergugat tidak hadir dan
sudah dipanggil sepatutnya, maka gugatan itu dapat diterima tanpa hadirnya
tergugat, kecuali kalau gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.
d) Pemeriksaan perkara gugatan
perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.
· Perdamaian
a) Pengadilan harus berusaha untuk
mendamaikan kedua belah pihak baik sebelum maupun selama persidangan sebelum
gugatan diputuskan.
b) Apabila terjadi perdamaian maka
tidak boleh diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan-alasan yang ada
sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya
perdamaian.
c) Dalam usaha mendamaikan kedua
belah pihak Pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang lain atau badan lain
yang dianggap perlu.
· Putusan
a) Pengucapan putusan Pengadilan harus dilakukan
dalam sidang terbuka.
b) Putusan dapat dijatuhkan walaupun
tergugat tidak hadir, asal gugatan itu didasarkan pada alasan yang telah
ditentukan.
c) Perceraian dianggap terjadi dengan
segala akibat-akibatnya terdapat perbedaan antara orang yang beragama Islam dan
yang lainnya. Bagi yang beragama Islam perceraian dianggap terjadi sejak
jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap. Sedang bagi agama lain terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar
pencatatan kantor pencatatan oleh pegawai pencatat.
6.4. Akibat Perceraian
Hal-hal apa yang perlu dilakukan oleh pihak isteri
maupun suami setelah terjadi perceraian diatur dalam pasal 41 Undang-Undang
Perkawinan yang pada dasarnya adalah sebagai berikut:
a. Baik ibu atau bapak tetap
berkewajiban memlihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan
kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
Pengadilan memberi keputusannya.
b. Biaya pemeliharaan dan pendidikan
anak-anak menjadi tanggungjawab pihak bapak, kecuali dalam kenyataannya bapak
dalam keadaan tidak mampu sehingga tidak dapat melakukan kewajiban tersebut,
maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan
kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu
kewajiban bagi bekas isteri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar