Selamat datang di duniaku

Sabtu, 08 Desember 2012

percobaan jarimah,jinayah atau janhah


BAB I
PENDAHULUAN
A. latar belakang masalah
Kejahatan ada didunia ini bersama-sama dengan adanya manusia. Manusia slalu cenderung menuruti hasrat hawa nafsunya kecuali orang-orang yang beriman yang slalu menjaga hatinya dari sifat-sifat ataupun perkara-perkara yang merugikan dan dilarang dalam syari’at.disisi lain manusia juga mengingiunkan suatu kehidupan yang aman, damai, tentram, dan adil tanpa adanya gangguan-gangguan yang disebabkan karena adanya suatau tindak kejahatan.oleh karena, upaya-upaya untuk meminimalisir tindak kejahatan terus dilakukan yaitu dengan diberikannya hukuman terhadap pelakunya.
Dalam hukum islam hukuman terhadap suatu kejahatan ada yang sudah ditentukan hukumannya didalam syari’at. Adapun terhadap suatu kejahatan yang belum ditentukan hukumnya maka diserahkan pada penguasa setempat untuk menentukan hukuman bagi pelaku perbuatan tersebut. Sudah barang tentu demi menegakkan keadilan maka didalam menentukan suatu hukuman harus disesuaikan dengan perbuatan jahat yang dilakukan. Hukuman bagi seseorang yang melakukan penganiayaan haras dibedakan dengan hukuman bagi orang yang melakukan pembunuhan, begitupun hukuman bagi seseorang yang melakukan percobaan tindak pidana dengan hukuman bagi orang yang sudah melakukan tindak pidana sungguhan. Nah dalam makalah ini akan penulis paparkan mengenai hal tersebut khususnya mengenai hal melakukan percobaan melakukan tindak pidana pada bab selanjutnya.
B Rumusan Masalah
1.Apa Pengertian percobaan melakukan tindak pidana?
2. bagaimana pandangan fuqoha terhadap percobaan melakukan tindak pidana?
3. apakah perbuatan tersebut sudah dapat dikenai hukuman?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Percobaan Jarimah
percobaan adalah mulai melaksanakan suatu peruatan dengan maksud melakukan (jinayah atau janhah ), tetapi perbuatan tersebut tidak selesai atau berhenti karena ada sebab yang tidak ada sangkut pautya dengan kehendak pelaku. Percobaan melakukan jarimah `tidak dikenakan hukuman had atau qisas,melainkan dengan hukuman ta’zir.Dimana ketentuan sanksinya diserahkan kepada penguasa nagara atau hakim. Untuk menetapkan hukuman-hukuman jarimah tersebut, baik yang dilarang langsung oleh syara’ atau yang dilarang oleh pengusa Negara tarsabut, diserahkan pula pada mereka agar bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.[1]
B. Percobaan Menurut Para Fuqaha
Istilah percobaan dikalangan fuqaha tidak kita dapati. Akan tetapi, apa bila definisi tersebut kita perhatikan maka apa yang dimaksud dengan istilah tersebut juga terdapat pada mereka, karena dikalangan mereka juga dibicarakan tentang pemisahan antara jarimah yang sudah selesai dan jarimah yang tidak selesai. Tidak adanya perhatian para fuqaha secara khusus terhadap jarimah percobaan disebabkan oleh dua hal[2]
1. percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan had atau qisas, melainkan dengan hukuman ta’zir, bagaimanapun juga macamnya jarimah itu. Paara fuqaha lebih banyak memberikan perhatiannya kepada jarimah-jarimah hudud dan qisas-diyat, karena unsur-unsur dan syarat-syaratnya tetap tanpa mengalami perubahan, dan hukumnya juga sudah dirtentukan jumlahnya dengan tidak boleh dikurangi atau dilebihkan.
Akan tetapi untuk jarima-jarimah ta’zir, dengan mengecualikan jarima-jarimah ta’zir seperti memaki-maki (menista orang atau meng khianati titipan, maka sebagian besarnya diserahkan kepada penguasa negara (ulul-al amri) untuk menentukan macamnya jarimah-jarimah itu. Untuk menetapkan hukuman-hukuman jarimah tersebut, baik yang dilarang langsung oleh syara’ atau yang dilarang oleh penguasa negara tersebut, diserahkan pula pada mereka, agar bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Sesudah itu, hakim diberi wewenang luas dalam menjatuhkan hukuman dimana ia bisa bergerak antara batas tertinggi dengan batas terendah.
Kebanyakan jarimah ta’zir bisa mengalami perubahan antara dihukum dan tidak di hukum, dari masa kemasa, dan dari tempat ketempat lain, dan unsur –unsurnya juga dapat berganti sesuai dengan pergantian pandangan penguasa-penguasa negara. Oleh karena itu dikalangan fuqqaha tidak ada perhatian khusus terhadap jarimah-jarimah ta’zir dan kelanjutannya ialah tidak adanya pembicaraan secara tersendiri terhadap percobaan melakukan jarimah, karena percobaan ini termasuk jarimah ta’zir
2. dengan adanya aturan-aturan yang sudah mencakup dari syara’ tentang hukuman untuk jarimah ta’zir maka aturan-aturan yang khusus untuk percobaan tidak perlu diadakan, sebab hukuman ta’zir dijatuhkan atas perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kifarot. Dengan perkaaan lain, setiap perbuatan yang dianggap ma’siat oleh syari’at dijatuhi hukuman ta’zir selama tidak dikenakan hukuman had atau kifarat. Karena hukuan had dan kifarat hanya dikenakan atas jarima-jarimah tertentu yang benar-benar telah selesai, maka artiya setiap percobaan (memulai) sesuatu perbuatan yang dilarang hanya dijatuhi hukuman ta’zir, dan percobaan itu sendiri dianggap ma’siat, yakni jarimah yang selesai juga, meskipun merupakan satu bagian saja diantara bagian –bagian lain yang membentuk jarimah yang tidak selesai, selama satu bagian itu sendiri dilarang. Jadi tidak aneh kalau suatu perbuatan semata-mata menjadi suatu jarimah, dan apa bila bergabng dengan perbuatan lain maka akan membentuk jarimah yang lain lagi
Pencuri misalnya apabila telah melobangi dinding rumah, kemudian dapat ditangkap sebelum memasukinya, maka perbuatannya itu semata-mata dianggap ma’siat (kesalahan) yang bisa dijatuhi hukuman meskipun sebenarnya baru merupakan permulaan dari pelaksanaan jarimah pencurian.
Demikian pula ketika ia masuk rumah orang lain dengan maksud hendak mencuri, tanpa melobangi dinduingnya atau manaiki atapnya, dianggap telah memperbuat suatu jarimah tersendiri, meskipun perbuatan tersebut bisa disebugt juga pencurian yang tidak selesai. [3]
Apa bila pencuri tersebut dapat menyelesaikan berbagai perbuatan yang membentuk jarimah pencurian dan dapat membawa barang curiannya keluar rumah, maka kumpulan perbuatan tersebut dinamakan “pencurian”, dan dengan selesainya jarimah pencurian itu maka hukuman hadyang telah ditentukan dijatuhkan kepadanya, dan untuk masing-masing perbuatan yang membentuk pencurian itu tidak boleh dikenakan hukuman ta’zir, sebab masing-masing perbuatan tersebut sudah bercampur jadi satu, yaitu pencurian[4]. Didalam ajarannya para fuqoha berpendapat bahwa seseorang yang melakukan jarimah itu setidak-tidaknya melalui tiga fase, yaitu fase pemikiran, fase persiapan dan fase pelaksanaan.
a) fase pemikiran atau perencanaan
memikirkan dan merencanakan sesuatu jarimah tidak dianggap ma’siat yang dijatuhi hukuman, karena menurut aturan dalam syari’at islam, seseorang tidak dapat dituntut (dipersalahkan) karena lintasan hatinya atau niatan yang tersimpan dalam dirinya, sesuai dengan sabda rosululloh s.a.w sebagai berikut:
ان لله تجا و ز لامتلى عما عن امتى ما وسوست به صدو ر ها ما لم تعمل او تكلم
“han memaafkan umatku dari apa yang dibisikkan atau dicetuskan oleh dirinya, selama ia tidak berbuat dan tidak mengeluarkan kata-kata. Seseorang hanya dituntut karena kata-kata yang diucapkannya dan perbuatan yang dilakukannya”.
b) fase persiapan
menyiapkan alat yang dipakai untuk melakukan jarimah, seperti membeli senjata untuk membunuh orang lain atau membuat kunci palsu untuk mencuri. Fase persiapan juga tidak dianggap ma’siat yang dapat dihukum, kecuali apabila perbuatan persiapan tersebut itu sendiri dipandang sebagai ma’siat, seperti hendak mencuri milik seseorang dengan jalan membiusnya. Dalam contoh ini membeli alat bius atau membius orang lain itu sendiri dianggap ma’siat yang dihukum tanpa memerlukan kepada selesainya maksud yang hendak dituju, yaitu mencuri.[5]
Alasan untuk tidak memasukkan fase persiapan sebagai jarimah, ialah bahwa perbuatan seseorang yang bisa dihukum harus berupa perbuatan ma’siat, dan ma’siat baru terwujud apabila berisi pelanggaran terhadap hak tuhan dan hak manusia, sedangkan pada oenyiapan alat-alat jarimah pada galibnya tidak berisi suatu kerugian, maka anggapan ini masih bisa dita’wilkan, artinya bias diragukan, sedang menurut syari’at seseorang tidak bisa diambiltindakan terhadapnya kecuali apabiladidasarkan pada keyakinan. Sehingga peristiwa dianggap sesuatu yang syubhat dan pelakunya hanya dikenakan hukuman ta’zir.[6] Hal ini sesuai kaidah:
ان الشرو ع فى الجريمة لا يعا قب عليه بقصا ص ولا حد وانما يعا قب عليه با لتعز ير
“Sesungguhnya perbuatan percobaan berbuat jarimah tidak dihukum qisas atau melainkan ta’zir”.
c) fase pelaksanaan
pada fase inilah perbuatan sipembuat dianggap sebagai jarimah. Untuk dihukum tidak menjadi persoalan, apakah perbuatan tersebut merupakan permulaan pelaksanaan unsure materiil jarimah atau tidak, melainkan cukup dihukum apabila perbuatan itu berupa ma’siat, yaitu yang berupa pelanggaran atas hak masyarakat atau hak perseorangan, dan dimaksudkan pula untuk melaksanakan unsure materiil meskipun antara perbuatan tersebut dengan unsure materiil masih terdapat beberapa langkah lagi.
Pada pencurian misalnya, melobangi tembok, membongkar pintu dan sebagainya dianggap sebagai ma’siat yang dijatuhi hukuman ta’zir, dan selanjutnya dianggap pula sebagai percobaan pencurian, meskipun untuk terwujudnya perbuatan pencurian masih terdapat perbuatan-perbuatan lain lagi, seperti masuk rumah, mengambil barang, membawanya keluar dan sebagainya. Jadi ukuran perbuatan dalam percobaan yang bisa dihukum ialah apabila perbuatan tersebut berupa ma’siat.
Apabila pencuri tersebut dapat menyelesaikan berbagai perbuatan yang mambentuk jarimah pencurian dan dapat membawa barang curiannya keluar rumah, maka kumpulan perbuatan tersebut dinamakan “pencurian” dan dengan selesainya jarimah pencurian itu maka hukuman had yang telah ditentukan dijatuhkan kepadanya, dan untuk masing-masing perbuatan yang mambentuk pencurian itu tidak boleh dikenakanhukuman ta’zir, sebab masing-masing perbuatan tersebut sudah bercampur jadi satu yaitu pencurian.
C. Hukuman Percobaan
Menurut aturan syari’at islam, untuk jarimah-jarimah hudud dan qisas, jarimah-jarimah yang selesai tidak boleh dipersamakan dengan jarimah-jarimah yang belum selesai. Aturan tersebut berdasarkan hadits nabi s.a.w:
من بلغ حد ا غير حد فهو من المعتد ين
Siapa yang mewncapai hukuman had bukan pada jarimah hudud (yang lengkap) maka dia termasuk orang yang menyeleweng”[7]
Oleh karena itu percobaan melakukan zina tidak boleh dihukum dengan hukuman yang dijatuhkan atas perbuatan zina sendiri yaitu rajam. Demikian pula hukuman percobaan pencurian tidak bias dipersamakan ndengan dengan pencurian itu sendiri, yaitu potong tyangan, sebab hukuman potong tangan dijatuhkan atas jarimah yang telah selesai.
Sudah barang tentu perbedaan antara percobaan melakukan suatu jarimah dengan jarimah itu sendiri masih jauh, dan oleh karena itu sudah sepantasnya kalau pembuat dijatuhi hukuman sesuai dengan besarnya perbuatan. Apabila mempersamakan hukuman antara percobaan jarimah dengan jarimah yang selesai , maka akan mendorong pembuat suatu jarimah untuk menyelesaikannya sekali, seb ab ia akan merasa bahwa dirinya sudah berhak akan hukum lengkap dengan memulainya perbuatan, oleh karena itu ia tidak perlu mengurungkan perbuatannya itu.

KESIMPULAN
percobaan jarimah adalah tidak selesainya perbuatan pidana karena adanya faktor-faktor yang menyebabkan tidak terselesainya jarimah itu, namun sipelaku ada niat dan ada permulaan berbuat pidana. Percobaan melakukan jarimah `tidak dikenakan hukuman had atau qisas,melainkan dengan hukuman ta’zir
Seseorang yang melakukan jarimah itu setidak-tidaknya melalui tiga fase, yaitu fase pemikiran, fase persiapan dan fase pelaksanaan.fase pemikiran, memikirkan dan merencanakan sesuatu jarimah tidak dianggap ma’siat yang dijatuhi hukuman, karena menurut aturan dalam syari’at islam, seseorang tidak dapat dituntut (dipersalahkan) karena lintasan hatinya atau niatan yang tersimpan dalam dirinya, begitupun dengan fase persiapan, menyiapkan alat yang dipakai untuk melakukan jarimah, seperti membeli senjata, tidak dianggap ma’siat yang dapat dihukum, kecuali apabila perbuatan persiapan tersebut itu sendiri dipandang sebagai ma’siat.fase pelaksanaan, pada fase inilah perbuatan sipembuat dianggap sebagai jarimah. Untuk dihukum tidak menjadi persoalan, apakah perbuatan tersebut merupakan permulaan pelaksanaan unsure materiil jarimah atau tidak, melainkan cukup dihukum apabila perbuatan itu berupa ma’siat.
Para fuqoha juga memperselisihkan pengaruh taubat dan penyesalan dalam jarimah selain hirabah apakah dapat menghpuskan hukuman atau tidak. Dalam hal ini ada tiga pendapat: Pendapat pertama dikemukakan oleh beberapa fuqoha dari madzab syafi’i dan hambali, yang mengatakan bahwa taubat bisa menghapuskan hukuman. Pendapat kedua oleh imam malik dan abu hanifah, serta beberapa fuqoha dikalangan madzab syafi’i dan ahmad. Menurut mereka taubat tidak menghapuskan hukuman kecuali untuk jarimah hirabah saja yang sudah ada ketentuannya yang jelas. pendapat ketiga oleh ibnu taimiyah serta muridnya yaitu ibnul qoyyim, keduanya termasuk aliran madzab hambali. Menurut kedua ulama ini, hukuman dapat membersihkan maksiat dan taubat dapat menghapuskan hukuman jarimah-jarimah yang berhubungan dengan hak tuhan, kecuali apabila pembuat sendiri menginkan penyucian dirinya dengan jalan hukuman..

DAFTAR PUSTAKA
Ø Mubarok, jaih, kaidah kaidah fiqih jinayah, bandung: bani qurasyi 2004
Ø Munujad, makhrus. Hukum pidana islam di indonesia, jokjakarta: teras, 2009
Ø Jazuli, ahmad. Fiqih jinayah (upaya upaya menanggulangi kejahatan dalam islam ), jakarta: PT. raja grafindo persada 1997
Ø Hanafi, ahmad. Asas-asas hukum pidana islam, jakarta: bulan bintang 1997
Ø Wardi muslih, ahmad. Pengantar dan asas hukum pidana islam, jakarta: sinar grafika 2004


[1] Makhrus munajat, hukum pidana islam diindonesia, (yogyakarta: teras 2009), hal 42
[2] Dra. H. Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan asas ukum pidana islam(jakarta:Sinar Grafika2004)hal.60
[3] Ahmad Hanafi, MA,Asas-Asas Hukum Pidana Islam,(Jakarta: Bulan Bintang,1967), hal 118
[4] Drs.Mahrus munajad, M Hum.Hukum Pidana Islam di indonesia(Yokyakarta:teras 20090hal 41
[5] Jaih mubarak, kaidah-kaidah fiqih jinayah, hal 180
[6] Makhrus munajat, hukum pidana islam di Indonesia, hal 47
[7] A. djazuli, f iqih jinayah (upaya-upaya menanggulangi kejahatan dalam islam),(Jakarta:PT. raja grafindo persada, 1997) hal. 23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar