UNDANG-UNDANG NOMOR ..... TAHUN .....
TENTANG
SUSUNAN DAN KEKUASAAN
BADAN-BADAN PERADILAN AGAMA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
Bahwa
untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam pasal 10 ayat (1) Sub b dan pasal
12 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, perlu ditetapkan Undang-Undang tentang Susunan dan Kekuasaan
Badan-Badan Peradilan Agama.
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1), Pasal 24,
Pasal 25 dan pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 ;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
No.IV/MPR/1973;
3. Pasal 10 ayat (1) dan pasal 12 Undang-Undang No .14
tahun 1970.
Dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
MEMUTUSKAN
Menetapkan
:
|
UNDANG-UNDANG
TENTANG SUSUNAN DAN KEKUASAAN BADAN-BADAN PERADILAN AGAMA.
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1.
Kekuasaan
kehakiman dalam lingkungan Peradilan Agama dilakukan oleh :
a. PENGADILAN AGAMA.
b. PENGADILAN TINGGI AGAMA.
c. MAHKAMAH AGUNG BIDANG AGAMA.
Pasal 2.
(1) Badan-Badan Peradilan Agama tersebut dalam pasal 1
berkuasa mengadili perkara perdata yang harus diperiksa dan diputus menurut
hukum pernikahan, hukum keluarga, hukum faraid, wakaf, hibah, wasiat, sadaqah ,baitul
mal, dan lain-lain perkara perdata yang diperiksa dan diputus, menurut hukum
Islam.
(2) Badan-Badan Peradilan Agama tersebut pasal 1 juga
berkuasa memberi ketetapan dari orang-orang yang masuk dan keluar agama Islam
dan memberi penetapan tentang kesaksian ru‘yatul hilal.
(3) Apabila diminta oleh Pemerintah atau
lembaga-lembaga Negara, badan-badan Peradilan Agama harus memberikan nasehatnya
tentang hukum Islam.
(4) Fatwa Agama hanya bisa diberikan oleh Mahkamah
Agung bidang Agama bila diminta oleh Pemerintah atau lembaga-lembaga Negara.
BAB II
HAKIM AGAMA
Pasal 3
(1) Hakim Agama haruslah :
a. Seorang Sarjana Syari'ah atau Sarjana Hukum yang
menguasai Hukum Islam.
b. Seorang Ahli Hukum Syari'ah yang cakap dan
berpengalaman.
(2) Hakim Agama Kehormatan Ialah Hakim pada Pengadilan
Agama yang diangkat dari kalangan Ulama-Ulama Islam setempat untuk duduk
sebagai Hakim Anggota.
(3) Hakim-Hakim tersebut dalam ayat (1) dan (2) pasal
ini diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atau Menteri Agama atas nama
Presiden.
(4) Kedudukan, penghasilan serta lain-lain hal yang
penting bagi Hakim Agama/Hakim Agama Kehormatan diatur oleh Menteri Agama.
Pasal 4
(1) Sebelum melakukan jabatannya, hakim, panitera,
panitera pengganti dan Jurusita pada Pengadilan Agama tersebut dalam pasal 31
dan pasal 37 Undang-Undang ini mengucapkan sumpah.
(2) Ketua Pengadilan Tinggi Agama mengucapkan sumpah
dihadapan Ketua Mahkamah Agung.
(3) Hakim, Panitera, Panitera Pengganti pada Pengadilan
Tinggi Agama serta Ketua Pengadilan Agama mengucapkan sumpah dihadapan Ketua
Pengadilan Tinggi Agama.
(4) Hakim, Panitera, Panitera Pengganti dan juru sita
pada Pengadilan Agama mengucapkan sumpah dihadapan Ketua Pengadilan Agama.
(5) Bunyi sumpah bagi para Hakim, Panitera, Panitera
Pengganti dan Jurusita seperti tercantum dalam pasal 29 Undang-Undang tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 5
(1) Kepada Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan
Tinggi Agama, Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Agama diberi tunjangan
kehormatan dan tunjangan representasi disamping gaji, tunjangan-tunjangan dan
penghasilan lainnya sebagai pegawai negeri.
(2) Kepada Ketua, Wakil Ketua dan Hakam Pengadilan
Tinggi Agama, Ketua Wakil Ketua Pengadilan Agama diberi rumah dan Kenderaan
dinas.
(3) Pelaksanaan Ketentuan-Ketentuan tersebut dalam
ayat (1) dan (2) pasal ini ditetapkan oleh MENTERI AGAMA dengan persetujuan
MENTERI KEUANGAN.
Pasal 6
Hakim Agama
wajib menggali dan menentukan nilai-nilai hukum Agama yang murni dan
selanjutnya dilaksanakan dalam kehidupan hukum masyarakat Indonesia, sebagai
pengayoman dan sebagai jalan penyelesaian yang benar dan adil.
Pasal 7
Hakim Agama
tidak boleh merangkap jabatan sebagai berikut :
a. Penasehat Hukum.
b. Panitera atau Jurusita.
c. Lain-lain Jabatan yang bersangkut-paut dengan suatu
perkara yang sedang atau akan diadili olehnya atau oleh Pengadilan Agama yang
dia menjabat sebagai Hakim.
Pasal 8
Hakim-hakim
pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dapat diberhentikan dengan
hormat dari jabatannya karena :
a. Ternyata tidak cakap.
b. Sakit jasmani maupun rohani yang terus-menerus
sehingga tidak memungkinkan dia untuk melaksanakan kewajibannya dengan baik.
c. Permintaan sendiri.
d. Telah berumur 60 (enampuluh) tahun.
Pasal 9
(1) Dapat diberhentikan sementara dari jabatannya :
a. Apabila seorang hakim pada Pengadilan Agama atau
Pengadilan Tinggi Agama ditahan atas diperintahkan untuk dimasukkan dalam rumah
sakit Jiwa.
b. Apabila hakim tersebut huruf a tersangkut dalam
suatu perkara meski pun tidak dikenakan tahanan, atau setelah diadakan
penyelidikan secara administratif timbul hal-hal yang tidak membenarkan dia
melanjutkan tugasnya sebagai Hakim. Pemberhentian itu dilakukan oleh MENTERI
AGAMA dengan pertimbangan Ketua Mahkamah Agung.
c. Apabila yang tersebut huruf b itu mengenai
hakim-hakim pada Mahkamah Agung bidang Agama, maka pemberhentian sementara
dilakukan oleh PRESIDEN atas pertimbangan Ketua Mahkamah Agung dan MENTERI
AGAMA.
(2) Pemberhentian sementara hanya dapat dicabut oleh
MENTERI AGAMA bagi para hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, dan
oleh PRESIDEN bagi hakim-hakim Mahkamah Agung Bidang Agama, setelah mendapat
pertimbangan dari Ketua Mahkamah Agung dan MENTERI AGAMA.
Pasal 10
(1) Hakim-hakim pada Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama hanya dapat dipecat dari jabatannya apabila :
a. Ia dijatuhi pidana karena bersalah melakukan
kejahatan.
b. Ia melakukan perbuatan yang tercela.
c. Ia terus-menerus melalaikan kewajibannya dalam
menjalankan pekerjaan nya.
d. Ia melakukan rangkapan jabatan seperti dalam pasal
7.
e. Ia memberi nasehat atau pertolongan yang bersifat
memihak kepada yg berkepentingan dalam perkara yang diperiksa atau dikirakan
akan di periksa.
(2) Pemecatan tersebut dalam ayat (1) pasal ini
dilakukan atas usul dan per timbangan dari Mahkamah Agung setelah yang
bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri.
Pasal 11
Hakim yang
mempunyai hubungan keluarga sedarah sampai derajat ketiga atau semenda dengan
Ketua, salah seorang Hakim Anggota, Panitera, Panitera pengganti atau Penasehat
Hukum, tidak boleh bersidang bersama-sama dan dia wajib mengundur diri dari
pemeriksaan itu.
Pasal 12
Seorang
Hakim tidak boleh memeriksa perkara yang baik langsung maupun tidak langsung
mengenai dirinya sendiri atau salah seorang dari keluarganya, sedarah sampai
derajat ketiga maupun semenda, dan harus mengundurkan diri dari pemeriksaan
itu.
Pasal 13
Tidak
seorang hakimpun diperkenankan membebaskan diri dari tugasnya untuk memeriksa
sesuatu perkara kecuali bila diperolehkan oleh ketentuan undang-undang.
Pasal 14
(1) Setelah putusan Pengadilan memperoleh kekuatan
hukum yang tetap, hakim wajib mengawasi pelaksanaan putusan itu.
(2) Untuk melaksanakan pengawasan tersebut dalam ayat
(1) pasal ini, hakim berwenang memasuki segala tepat yang digunakan untuk
melaksanakan putusan Pengadilan
Pasal 15
Ketua
Pengadilan Agama dan Ketua Pengadilan Tinggi Agama mengawasi pekerjaan Panitera
dan Panitera Pengganti.
BAB III
PENGADILAN AGAMA
Pasal 16
(1) Pengadilan Agama dibentuk oleh MENTERI AGAMA.
(2) Daerah Hukum Pengadilan Agama pada umumnya
meliputi satu daerah tingkat dua.
Pasal 17
(1) Pada Pengadilan Agama ada seorang Ketua, Seorang
Wakil dan beberapa o rang Hakim Agama dan Hakim Agama Kehormatan dibantu oleh
seorang Panitera dan beberapa Panitera Pengganti.
(2) Pembagian tugas antara para Hakim tersebut ayat
(1) pasal ini diatur oleh Ketua Pengadilan Agama.
Pasal 18
Untuk dapat
diangkat sebagai Hakim Pengadilan Agama, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
a. Warga
Negara Indonesia.
b. Beragama
Islam, mengamalkan syari 'atnya, bertaqwa, berakhlak baik, jujur dan adil.
c. Berjiwa
dan mengamalkan Pancasila.
d. Sarjana
Syari‘ah/Sarjana Hukum atau ahli Syari'ah yang cakap dan berpengalaman.
e. Berumur
serendah-rendahnya 25 tahun.
Pasal 19
Untuk dapat
diangkat sebagai Panitera atau Panitera Pengganti pada pengadilan Agama harus
dipenuhi syarat-syarat sebagai. berikut :
a. Warga
Negara Indonesia.
b. Beragama
Islam, mengamalkan syari 'atnya, bertaqwa , berakhlak baik, jujur dan adil.
c. Berjiwa
dan mengamalkan Pancasila.
d.
Serendah-rendahnya mempunyai ijazah Sekolah Lanjutan Atas.
e. Berumur
serendah-rendahnya 21 tahun.
Pasal 20
(1) Pengadilan Agama memeriksa dan memutus
sekurang-kurangnya dengan 3 (tiga) orang hakim.
(2) Ketua Pengadilan Agama menunjuk salah
seorang dari para Hakim tersebut dalam ayat (1) menjadi Ketua Sidang, sedang
lainnya sebagai anggota.
Pasal 21
(1) Pengadilan Agama memeriksa dan memutus dalam
tingkat pertama semua perkara tersebut dalam pasal 2 Undang-Undang ini.
(2) Ketetapan, keterangan, pertimbangan, izin, maupun
nasehat-nasehat yang oleh Undang-Undang harus diberikan oleh Pengadilan Agama
dilakukan oleh Ketua Pengadilan Agama.
Pasal 22
(1) Pengadilan Agama bersidang ditempat kedudukannya,
kecuali bila pengadilan Agama memandang perlu sidang dapat diadakan diluar
tempat kedudukan dalam daerah hukumnya.
(2) Ketua, Hakim dan Panitera Pengadilan Agama harus
bertempat tinggal di tempat kedudukan Pengadilan Agama, kecuali dalam keadaan
memaksa, harus mendapat persetujuan MENTERI AGAMA.
BAB IV
PENGADILAN TINGGI AGAMA
Pasal 23
(1) Pengadilan Tinggi Agama dibentuk oleh MENTERI AGAMA.
(2) Daerah Hukum Pengadilan Tinggi Agama meliputi satu
atau beberapa daerah tingkat satu.
Pasal 24
(1) Pada Pengadilan Tinggi Agama ada seorang ketua,
seorang Wakil Ketua dan beberapa orang Hakim Agama, dibantu oleh seorang
Panitera dan beberapa orang Panitera Pengganti.
(2) Pembagian tugas antara para Hakim tersebut dalam
ayat (1) pasal ini diatur oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama.
Pasal 25
(1) Untuk dapat diangkat sebagai Hakim atau Panitera
Pengadilan Tinggi harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Warga negara Indonesia
b. Beragama Islam, mengamalkan syari 'atnya, bertaqwa,
berakhlak baik, jujur, dan adil.
c. Berjiwa dan mengamalkan Pancasila
d. Sarjana Syari'ah/Sarjana Hukum atau ahli Syari'ah
yang cakap dan berpengalaman.
e. Berumur serendah-rendahnya 30 (tiga puluh) tahun.
f. Berpengalaman sedikit-dikitnya 5 (lima) tahun dalam
bidang hukum Agama dan pernah menjabat Hakim Pengadilan Agama.
(2) Untuk pengangkatan Panitera Pengganti Pengadilan
Tinggi Agama syarat tersebut dalam ayat (1) huruf d diganti dengan syarat
"serendah-rendahnya mempunyai ijazah Sarjana Muda atau mempunyai
pengetahuan yang sederajad dengan itu".
Pasal 26
(1) Pengadilan Tinggi Agama memeriksa dan memutus
perkara dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim.
(2) Ketua Tinggi Agama menunjuk salah seorang dari
para Hakim tersebut dalam ayat (1) pasal ini menjadi Ketua Sidang, sedang
lainnya menjadi anggota.
Fehlende Seite (bis Artikel 32 [2])
(2) Apabila panitera berhalangan, diganti oleh
Panitera oleh Panitera Pengganti atau pegawai lain yang diserahi untuk mewakili
jabatan itu.
(3) Panitera juga berkewajiban mengurus kepaniteraan
catatan-catatan, daftar-daftar, surat-surat dan dokumen-dokumen.
(4) Panitera menjabat sebagai Bendaharawan Pengadilan.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera terikat pada
ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
biaya-biaya, upah-upah dan uang jasa pada pengadilan.
Pasal 33
(1) Panitera wajib membuat daftar dari semua perkara
yang diterima di kepaniteraan.
(2) Dalam daftar itu tiap-tiap perkara diberi nomor
urut dan diberi catatan singkat tentang isinya.
Pasal 34
(1) Hanya Hakim yang diperbolehkan minta berkas
perkara yang disimpan dikepaniteraan untuk dikerjakan dirumah dengan memberikan
tanda penerimaan.
(2) Daftar-daftar, catatan-catatan, risalah-risalah.
dan berkas-berkas perkara tidak boleh dipindahkan dari kepaniteraan tanpa izin
dari Ketua Pengadilan, kecuali bila nyata-nyata diperbolehkan oleh suatu
ketentuan dalam peraturan perundangan.
(3) Panitera berwenang mengeluarkan salinan putusan,
kutipan ringkasan dari akta-akta atau putusan-putusan untuk kepentingan para
pihak.
(4) Biaya administrasi untuk tiap-tiap surat yang
dikeluarkan seperti tersebut dalam ayat (3) pasal ini diatur oleh Menteri
Agama.
Pasal 35
(1) Biaya perkara, upah, uang jasa dan biaya-biaya
lain bagi Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama diatur oleh Menteri
Agama.
(2) Panitera menerima dan menyimpan biaya perkara
serta biaya-biaya lain yang harus dibayar menurut peraturan dan menyetorkan
biaya perkara tersebut pada Kas Negara.
Pasal 36
(1) Panitera bertanggung jawab terhadap surat-surat
putusan, dokument-dokumen, akta-akta, surat-surat, daftar-daftar, bukti-bukti,
uang dan surat-surat berharga yang penyimpanan dan pengurusannya diserahkan
kepadanya.
(2) Panitera dapat bertindak sebagai juru sita,
BAB VI
JURUSITA
Pasal 37
(1) Juru sita dan juru sita pengganti adalah pejabat
umum.
(2) Juru sita diangkat dan diberhentikan oleh Menteri
Agama dan jurusita pengganti oleh Ketua Pengadilan Agama yang bersangkutan.
Pasal 38
(1) Jurusita mempunyai tugas dalam sidang pengadilan
dan melaksanakan semua tugas yang diberikan oleh Ketua sidang.
(2) Tugas jurusita terbatas dalam daerah hukum
Pengadilan dimana dia diangkat.
(3) Jurusita juga memberikan pengumuman-pengumuman,
melakukan pemberitahuan-pemberitahuan Pengadilan, protes-protes dari para pihak
yang berkepentingan, dalam hal-hal dan cara-cara seperti yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
(4) Atas perintah Ketua Pengadilan Agama atau
Panitera, jurusita melakukan pensitaan.
(5) Ia membuat berita acara yang salinannya diserahkan
kepada orang yang disita harta-bendanya.
Pasal 39
(1) Jurusita diwajibkan mempunyai daftar pekerjaan.
(2) Dalam memperhitungkan biaya-biaya Pengadilan, upah
dan uang jasa, jurusita terikat pada tarif-tarif yang ditetapkan oleh Menteri
Agama.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 40
(1) Pelaksanaan Undang-Undang ini ditetapkan lebih
lanjut oleh Menteri Agama.
(2) Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka semua
peraturan yang mengatur tentang susunan dan kekuasaan badan-badan Peradilan
Agama dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 41
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada hari dan tanggal diundangkan.
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal ...
Menteri Sekretaris Negara
|
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal ...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
S0EHART0 (Jenderal TNI)
|
BADAN-BADAN PERADILAN AGAMA
I.
PENJELASAN UMUM
1.
Undang-Undang tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Peradilan Agama adalah
pelaksanaan dari Ketentuan tersebut dalam pasal 12 Undang-undang Kekuasaan
Kehakiman, yaitu Undang- Undang No.14 tahun 1970 (LN tahun 1970 no.74).
Sesuai
dengan maksud penjelasan umum angka 3 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang
menyatakan bahwa Undang-Undang tersebut akan merupakan induk dan kerangka umum
yang meletakkan dasar serta azas-azas peradilan serta pedoman bagi lingkungan.
Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara, maka
Undang-Undang tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Peradilan Agama ini
sepenuhnya didasarkan atas prinsip-prinsip yang terkandung dalam Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman.
2. Peradilan Agama di Indonesia yang hingga sekarang
ini diatur oleh tiga macam peraturan yang berlainan untuk tiga daerah yang
berbeda-beda yaitu :
a. Peradilan Agama di Jawa Madura diatur dalam Stb.1882
No. 152 jo.Stb.1937 No. 116 dan 610,
b. Peradilan Agama di Kalimantan Selatan dan Timur
diatur dalam Stb.1937 No.638 dan 639.
c. Peradilan Agama untuk daerah-daerah lainnya diatur
dalam P.P. No.45 tahun 1957.
dirasakan
sangat tidak sesuai dengan perkembangan hukum dalam negara kesatuan Republik
Indonesia. Wewenang yang berlainan antara Peradilan Agama di daerah-daerah
diluar Jawa-Madura perlu segera diakhiri.
3. Wewenang
Peradilan Agama selain menyelesaikan perkara-perkara yang harus diperiksa dan
diputus menurut hukum perkawinan sebagaimana telah ditugaskan oleh
Undang-Undang No .1 tahun 1974 harus juga menyelesaikan perkara-perkara yang
berkenaan dengan hukum keluarga dan hukum waris serta perkara-perkara tentang
shadaqah, hibah, wasiat, wakaf, baitulmal dan perkara-perkara perdata lain bagi
orang islam yang menurut keyakinan dan kepercayaannya perlu diselesaikan
berdasarkan hukum Islam.
4. Walaupun
Mahkamah Agung bidang Agama disinggung dalam pasal l dan pasal 30 Undang-Undang
ini sebagai Pengadilan Negara Tertinggi serta tempat minta kasasi dan
peninjauan kembali bagi Peradilan Agama sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Susunan dan Kekuasaanya tidak diatur
melainkan diatur dalam Undang-Undang tersendiri
5. Untuk
menjamin pengabdian petugas Peradilan Agama didalam melaksanakan tugasnya,
hal-hal yang menyangkut kedudukan, pangkat gaji dan lain-lain yang dipandang
perlu, perlu diatur tersendiri.
6. Untuk
menjamin efektivitas pelaksanaan petugas Peradilan Agama, dalam Undang Undang
ini diatur tentang jurusita pada Peradilan Agama
7.
Undang-Undang ini hanya mengatur Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Peradilan
Agama, sedang acara pada Peradilan Agama, diatur dalam Undang-Undang
tersendiri.
II. Pasal demi Pasal.
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
(1) s/d (3)
cukup jelas
(4) Fatwa
ialah ketetapan yang mempunyai pengaruh dan nilai hukum yang ngikat.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
(1) s/d (4)
Cukup jelas.
(5) Adapun
bunyi sumpahnya sebagai berikut:
"Demi Allah"
Saya
bersumpah dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini,
langsung atau tak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga,
tiada memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga.
Saya
bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatan ini, tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung, dari
siapapun juga sesuatu janji atau pemberian.
Saya
bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan
Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan
segala undang-undang serta peraturan-peraturan lain yang berlaku bagi Negara
Republik Indonesia. Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan
jabatan saya ini dengan jujur, saksama dan dengan tidak membedakan orang dan
akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya seperti selayaknya bagi seorang Hakim/Panitera/Panitera
Pengganti/Jurusita yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan
keadilan.
Pasal 5 s/d
Pasal 20
cukup jelas.
Pasal 21
(1) cukup jelas.
(2). Ketua dapat menyerahkan kekuasaan itu kepada
Hakim yang ditunjuknya.
Pasal 22
Untuk mempermudah pelayanan kepada pencari keadilan
(justi siabel), dapat diadakan sidang keliling.
Pasal 23 s/d
pasal 26
cukup jelas.
Pasal 27
(1) cukup jelas.
(2) Ketua dapat menyerahkan kekuasaan itu kepada Hakim
yang ditunjuknya.
Pasal 28 s/d
Pasal 31
cukup jelas.
Pasal 32
(1) cukup jelas.
(2) Penggantian tersebut ditetapkan oleh Ketua.
(3) s/d (5) cukup jelas.
Pasal 33 s/d
Pasal 35
cukup jelas.
Pasal 36
(1) cukup jelas.
(2) Apabila jurusita berhalangan, maka Panitera dapat
menggantikan jurusita dengan ditunjuk oleh Ketua Pengadilan.
Pasal 37 s/d
Pasal 41
cukup jelas.
Quelle:
Departemen Agama, Laporan Loka Karya Badan Peradilan Agama 17 s/d 21 Januari
1977. Jakarta 1977.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar