Selamat datang di duniaku

Sabtu, 08 Desember 2012

PENGANTAR HUKUM PERDATA DI INDONESIA


PENGANTAR HUKUM PERDATA DI INDONESIA


BAB II
SISTEMATIKA HUKUM PERDATA INDONESIA
A. Sistematika Hukum Perdata di Indonesia
Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum, Hukum Perdata dapat dibagi dalam 4 bagian, yaitu : 1). Hukum perorangan. 2). Hukum keluarga. 3). Hukum harta kekayaan. 4). Hukum waris.
• Hukum perorangan (personenrecht), yang memuat antara lain: 1). Peraturan tentang manusia sebagai subyek hukum, kewenangan hukum, domisili dan catatan sipil. 2). Peraturan-peraturan tentang kecakapan untuk memiliki hak-hak dan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu. 3). Hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan tersebut.
• Hukum keluarga (familirecht) yang memuat antara lain: 1). Perkawinan beserta hubungan dalam hukum harta kekayaan antara suami dan isteri. 2). Hubungan antara orang tua dan anak-anaknya. 3). Perwalian, hubungan antara wali dengan anak. 4). Pengampuan, hubungan antara orang yang diletakan di bawah pengampuan karena gila atau kurang sehat atau karena pemborosan.
• Hukum Harta Kekayaan (vermogenrecht) yang mengatur tentang hubungan hukum yang dinilaikan dengan uang. Hukum ini meliputi: 1). Hak mutlak, yaitu hak-hak yang berlaku terhadap tiap orang, meliputi : a). hak kebendaan, yaitu hak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat. b). hak mutlak, hak suatu benda yang tidak dapat terlihat, misalnya, hak seorang pengarang atas karanganya, hak seorang pedagang untuk memakai sebuah merk, dll. 2). Hak perorangan, yaitu hak-hak yang hanya berlaku terhadap seorang atau suatu pihak tertentu saja.
• Hukum Waris (efrecht), adalah hukum yang mengatur tentang benda dan kekayaan seseorang yang meninggal dunia. Dengan kata lain bahwa hukum tersebut mengatur akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.
Hukum Perdata tertulis Indonesia yang terkemas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) pertama kali diundangkan melalui Staatsblad 1847-23 dengan publikasi 30 April 1847, dan dinyatakan masih berlaku berdasarkan pasal 1 aturan peralihan UUD 1945.
Sesuai dengan ketentuan pasal 163 I.S diatur tentang penggolongan penduduk di Indonesia. Pada mulanya, Burgerlijk Wetboek hanya berlaku bagi golongan eropa saja, tetapi karena untuk memudahkan hubungan perdagangan dengan golongan Timur Asing Tionghoa, maka Staatblad 1917-129 jo Staatblad 1919-81, Staatblad 1924-557 dan Staatblad 1925-92, Burgerlijk Wetboek diterapkan bagi golongan Asing Timur Tionghoa. Kemudian ketentuan pada pasal 131 ayat 6 I.S, Burgerlijk Wetboek tidak berlaku bagi golongan Bumi Putera, kecuali jika pihak yang bersangkutan secara sukarela menundukan diri (Stb. 1917-12). Kemudian berdasarkan surat edaran Mahkamah Agung nomor 3 tahun 1963 yang ditujukan kepada ketua seluruh pengadilan negeri di Indonesia, untuk menyatakan bahwa BW, yaitu pasal 108,110,284, ayat 3, 1238, 1460, 1579, 1603 dan 1682 tidak berlaku lagi.
Berdasarkan sistematika yang ada di KUH Perdata (BW) diatas, hukum Perdata terdiri atas 4 bagian buku, yaitu:
1. Buku I perihal orang (van personen), yang memuat hukum perorangan dan hukum kekeluargaan.
2. Buku II perihal benda (van Zaken), yang memuat hukum Benda dan hukum Waris.
3. Buku III perihal perikatan (Van Verbintenniissen), yang memuat hukum harta kekayaan yang berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang-orang atau pihak tertentu.
4. Buku IV perihal pembuktian kadaluarsa (Van Bewijsen Verjaring ), yang memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.
Berkaitan dengan hal tersebut dilihat dari segi isi masing-masing buku dalam KUH Perdata, maka substansi KUH Perdata terbagi dalam 2 bagian yaitu:
1. Buku I, II dan III berisi ketentuan-ketentuan hukum perdata materiil.
2. Buku IV berisi ketentuan-ketentuan hukum perdata formil.
Ditinjau dari segi perkembangan hukum perdata di Indonesia sekarang menunjukan tendensi perubahan. Sebagaimana sistematika hukum hukum perdata Belanda yang diundangkan pada tanggal 3 Desember 1987 Stb. 590 dan mulai berlaku 1 April 1988 meliputi lima buku, yaitu:
1. Buku I tentang Hukum Orang dan Keluarga (Personen-en-Famili-erecht)
2. Buku II tentang Hukum Badan Hukum (Rechtpersoon)
3. Buku III tentang Hak Kebendaan (Van Zaken)
4. Buku IV tentang hukum perikatan (Van Verbintennissen)
5. Buku V tentang Daluarsa (Van Verjaring).
B. Eliminasi dan Reduksi Pasal-Pasal KUH Perdata (BW)
BW sekarang bukanlah KUH Perdata yang berlaku secara menyeluruh, sebagaimana mulai diberlakukan pada tanggal 1 Mei 1848, tetapi beberapa ketentuan telah mengalami eliminasi, baik karena peraturan perundang-undangan nasional di lapangan perdata yang menggantikanya, ataupun dikesampingkan dan mati oleh putusan-putusan hakim yang merupakan yurispudensi karena ketentuan-ketentuan BW dianggap tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kemajuan zaman.
1. Pasal-pasal yang masih berlaku penuh :
a) Pasal tentang benda bergerak, pasal 505,509-518 KUH Perdata
b) Pasal tentang penyerahan benda bergerak, pasal 612 dan 613 KUH Perdata
c) Pasal tentang bewoning, ini hanya mengenai rumah pasal 826-827 KUH Perdata
d) Pasal tentang hukum Waris, pasal 830-1130 KUH Perdata. Walaupun ada beberapa pasal dalam hukum waris yang juga mengenai tanah, diwarisi menurut hukum yang berlaku bagi si pewaris.
e) Pasal-pasal tentang piutang yang diistimewakan (prevelige) pasal 1130-1149 KUH Perdata.
f) Pasal –pasal tentang gadai, karena gadainya melulu mengenai benda bergerak, pasal 1150-1160 KUH Perdata.
2. Pasal-pasal yang tidak berlaku:
a) Pasal-pasal tentang benda tidak bergerak yang selalu berhubungan dengan hak-hak mengenai tanah
b) Pasal-pasal tentang cara memperoleh hak milik melulu mengenai tanah
c) Pasal-pasal tentang penyerahan benda-benda tidak bergerak, tidak pernah berlaku
d) Pasal-pasal tentang kerja rodi, pasal 673 KUH Perdata
e) Pasal-pasal hak dan kewajiban pemilik pekarangan bertetangga, pasal 625-672 KUH Perdata
f) Pasal-pasal tentang pengabdian pekarangan, pasal 674-710 KUH Perdata
g) Pasal-pasal tentang hak postal, pasal 711-719 KUH Perdata
h) Pasal-pasal tentang hak Erpacht, pasal 720-736 KUH Perdata
i) Pasal-pasal tentang bunga tanah dan hasil sepersepuluh, pasal 737-755 KUH Perdata.
3. Pasal-pasal yang berlaku tetapi tidak penuh:
a) Pasal-pasal tentang benda pada umumnya
b) Pasal-pasal tentang cara membedakan benda, pasal 503-505 KUH Perdata
c) Pasal-pasal tentang benda sepanjang tidak mengenai tanah, terletak diantara pasal 529-568 KUH Perdata
d) Pasal tentang hak milik sepanjang tidak mengenai tanah, terletak diantara pasal 570 KUH Perdata
e) Pasal tentang hak memungut hasil sepanjang tidak mengenai tanah, pasal 756 KUH P erdata
f) Pasal tentang hak pakai sepanjang tidak mengenai tanah, pasal 818 KUH Perdata
g) Pasal-pasal tentang hipotek sepanjang tidak mengenai tanah.
Adapun pasal pasal-pasal yang merupakan pelaksanaan atau berkaitan dengan pasal-pasal yang tidak berlaku lagi, meskipun tidak secara tegas dicabut dan diletakan diluar buku II, yaitu pasal 1588-1600 buku III tentang sewa menyewa tanah, pasal 1955 dan 1963 buku IV Verjaring sebagai upaya untuk mendapatkan hak eigendom atas tanah, oleh para ahli dianggap tidak berlaku lagi.
BAB III
HUKUM TENTANG ORANG
(PERSONENNRECHT)
KONSEP DASAR
Istilah hukum (tentang) orang berasal dari terjemahan kata personennrecht (belanda) atau personal law (inggris). Pengertian hukum menurut subekti adalah peraturan tentang manusia sebagai subyek dalam hukum, peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak dan kewajiban untuk bertindak sendiri, melaksanakan hak-hak nya itu serta hal-hal yang mempengarui kecakapan itu. Pengertian ini merujuk hukum orang dari aspek ruang lingkupnya,yang meliputi subyek hukum, kecakapan hukum dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.tetapi apabila dikaji secara mendalam definisi tersebut kurang lengkap karena dalam hukum orang juga diatur tentang domisili dan catatan sipil.
Hukum (tentang) orang dalam BW diatur dalam buku I yang berjudul van personen. Menurut Soetojo Prawirohamidjojo dan Martalena Pohan menyatakan bahwa pemberian judul tersebut pada dasarnya kurang tepat dan lebih tepat berjudul “personen en familie recht”. Dasar pemikiran tersebut melihat bahwa keberadaan seseorang tidak lepas dari keluarga, selain itu dalam buku I tersebut diatur juga tentang hukum keluarga.
SUBYEK HUKUM
Istilah subyek hukum yang berasal dari terjemahan bahasa belanda rechtsubject atau law subject (inggris). Secara umum rechtsubject diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban yaitu manusia dan badan hukum.
Subyek hukum memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting didalam bidang hukum, khususnya hukum keperdataan karena subyek hukum tersebut yang dapat mempunyai wewenang hukum. Menurut ketentuan hukum, dikenal dua macam subyek hukum yaitu manusia dan badan hukum.
Selain subyek hukum, dikenal obyek hukum sebagai lawan dari subyek hukum. Obyek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum (manusia atau badan hukum) dan yang dapat menjadi pokok (obyek) suatu hubungan hukum (hak), karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh subyek hukum.
Konsepsi manusia sebagai subyek hukum
Manusia dalam eksistensinya dapat dipandang dalam dua pengertian, yaitu :
1. Manusia sebagai makhluk biologis
2. Manusia sebagai makhluk yuridis
“Manusia” dalam pengertian “biologis” ialah gejala dalam alam, gejala biologika, yaitu makhluk hidup yang mempunyai panca indera dan mempunyai budaya. Sedangkan “orang” dalam pengertian yuridis ialah gejala dalam hidup masyarakat.dalam hukum yang menjadi pusat perhatian adalah orang atau person.
Ada dua alasan yang dikemukakan oleh para ahli hukum modern tersebut, yaitu :
- Manusia mempunyai hak-hak subyektif
- Kewenangan hukum,Yaitu kecakapan untuk menjadi subyek hukum (sebagai pendukung hak dan kewajiban)
Manusia sebagai”rechtspersonlijkheid” dimulai sejak lahir dan baru berakhir apabila mati atau meninggal dunia.pengecualian mulainya subyek hukum dalam BW disebutkan dalam pasal 2 yang menentukan sebagai berikut:
“anak yang ada dalam kandungan seseorang perempuan dianggap sebagai telah dalam dilahirkan, bialamana juga kepentingan si anak menghendakinya”.
“mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah telah ada”.
Ketentuan yang termasuk dalam pasal 2 BW diatas ini sering “rechtsfictie”. Ketentuan ini sangat penting artinya dalam hal warisan misalnya.
Syarat-syarat pelaksanaan pasal 2 BW tersebut menurut soetojo prawiwirohamidjo dan marthalena pohan, memberikan implikasi:
Bahwa anak itu telah lahir atau pada saat penentuan hak dilaksanakan, sibayi tersebut telah dibenihkan.Bahwa ia lahir hidup, karena bila ia teah meninggal waktu dilahirkan, maka ia dianggap sebagai tidak pernah ada.Bahwa kepentingan itu membawa serta tuntutan akan hak-haknya.misalnya warisan dan lainnya.
Orang-orang yang menurut undang-undang dinyatakan”tidak cakap” untuk melakukan perbuatan hukum adalah:
- Orang-orang yang belum dewasa, yaitu orang yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melamgsungkan perkawinan.
- Orang yang telah dewasa (berumur 21 tahun keatas) tetapi berada dibawah pengawasan atau pengampuan.
- Orang-orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu.
- Seorang perempuan yang bersuami dalam melakukan tindakan hukum harus disertai atau diwakili suaminya.
Jadi orang-orang yang cakap melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaamheid) adalah orang yang dewasa dan sehat akal pikirannya serta tidak dilarang oleh sesuatu Peraturan perundang-undangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu.
Orang yang belum dewasa dan orang yang ditaruh dibawah pengampuan (curtele) dalam melakukian perbuatan hukum diwakili oleh orang tuanya, walinya atau pengampuannya (curator). Sedangkan penyelesaiannya hutang-piutang orang yang dinyatakan pailit dilakukan oleh balai harta peninggalan (weeskamer).
Uraian diatas dapat disimpulkan bahwa setiap orang adalah subyek hukum(rechtspersonlijkheid) yakni pendukung hak dan kewajiban.Dengan demikian rechtsbevoeghied adalah syarat khusus untuk melakukan perbuatan hukum.
Badan Hukum
Dalam pergaulan hukum ditengah-tengah masyarakat, disamping manusia sebagai pembawa hak, didalam hukum juga badan hukum (rechtsperson) atau perkumpulan-perkumpulan dipandang sebagai subyek hukum. Badan-badan dan perkumpulan-perkumpulan itu dapat memiliki kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantara pengurusnya, dapat digugat dan menggugat dimuka hakim.
Unsure-unsur badan hukum antara lain:
- Mempunyai perkumpulan
- Mempunyai tujuan tertentu
- Mempunyai harta kekayaan
- Mempunyai hak dan kewajiban
- Mempunyai hak untuk menggugat dan digugat.
Sebagaimana subyek hukum manusia, badan hukum ini pun dapat mempunyai hak dan kewajiban-kewajiban serta dapat pula mengadakan hubungan-hubungan hukum (rechtsbettrekking/rechtsverhouding), baik antara badan hukum yang satu dengan badan hukum yang lain, maupun antara badan hukum dengan orang (naturlijkperson). Karena itu badan hukum dapat mengadakan perjanjian jual beli,tukar menukar,dan sewa menyewa.
Hal ini dapat dikatakan bahwa badan hukum adalah orang (badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan) yang ditetapkan oleh hukum merupakan subyek didalam hukum, yang bearti pula dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum sebagaimana halnya dengan manusia.dengan demikian badan hukum tersebut singkatnya diperlakukan sepenuhnya sebagai layaknya seorang manusia.
Dengan demikian “badan hukum” ini adalah pendukung hak dan kewajiban yang tidak berjiwa sebagai lawan pendukung hak dan kewajiban berjiwa yakni manusia. Dan sebagai subyek hukum yang tidak berjiwa, maka badan hukum tidak dapat dan tidak mungkin berkecimpung dilapangan keluarga seperti mengadakan perkawinan,melahirkan anak dan sebagainya.
Teori Badan Hukum
Untuk mengetahui hakikat daripada badan hukum, dapat ditelusuri melalui dua jenis penafsiran yaitu:
Penafsiran dogmatis: yaitu dengan mengajukan asas kemudian dengan abstraksi memecahkan asas umum tersebut (abstracheren)
Penafsiran teleologis: yaitu menyelidiki dengan mengingat tujuan peraturan-peraturan yang ada sampai dimana peraturan itu dapat berlaku bagi badan hukum.
Teori Harta Kekayaan Bertujuan (doel vermogenstheorie)
Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subyek hukum. Namun kata teori ini ada kekayaan yang bukan merupakan kekayaan seseorang tetapikekayaan itu terikat pada tujuan tertentu. Kekayaan yang tidak ada yang mempunyainya dan terikat pada tujuan tertentu.
Teori Organ
Badan hukum menurut teori ini tidak abstrak (fiksi) dan bukan kekayaan (hak) yang tidak bersubjek. Tetapi badan hukum adalah sesuatu organism yang rill, yang menjelma sungguh-sungguh dalam pergaulan hukum, yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantaraan alat-alat yang ada padanya (pengurus anggota-anggotanya) seperti manusia biasa yang mempunyai organ (panca indera) dan sebagainya.
Teori Pemilikan Bersama
Teori ini didukung juga oleh Rodolf Von Jhering (1818-1892)dengan nama teori kekyaan bersama (Collectief Vermogens Theorie). Teori ini berpendapat bahwa yang dapat menjadi subyek-subyek hak badan hukum:
-Manusia-manusia yang secara nyata ada dibelakangnya
- Anggota-anggota badan hokum
- Mereka yang mendapat keuntungan dari suatu yayasan(stiftung)
Teori Kekayaan Yuridis
Menurut teori ini badan hukum ini dipersamakan dengan manusia adalah suatu realita yuridis, yaitu suatu fakta yang diciptakan oleh hukum. Jadi adanya badan hukum itu karena ditentukan oleh hukum sebagai demikian itu.
Pembagian Badan Hukum
Badan hukum dapat dibedakan berdasarkan bentuknya yang terdiri atas 2 (dua) jenis yaitu (1) badan hukum public dan (2) badan hukum privat.badan hukum public atau termasuk badan hukum privat ada dua macam
Berdasarkan terjadinya,yakni badan hukum privat didirikan oleh perseorangan, sedangkan badan hukum public didirikan oleh pemerintah/Negara.
Berdasarkan lapangan kerjanya, yakni apakah lapangan pekerjaannya untuk kepentingan umum atau tidak.kalau lapangan pekerjaannya untuk kepentingan umum maka badan hukum tersebut merupakan badan hukum public. Tetapi kalau lapangan pekerjaannya kepentingan perseorangan, maka badan hukum itu termasuk badan hukum privat.
Pengaturan Badan Hukum
BW tidak mengatur secara lengkap dan sempurna tentang badan hukum. Dalam BW ketentuan tentang badan hukum hanya termuat pada buku II title IX 1653 sampai dengan 1665 dengan istilah “Van Zedelijk Lichmen” yang dipandang sebagai perjanjian, karena itu lalu diatur dalam buku III tentang perikatan. Hal ini menimbulkan keberatan para ahli karena badan hukum adalah person, maka seharusnya dimasukkan dalam buku I tentang orang.
Peraturan-peraturan badan lain yang mengatur tentang badan hukum ini antara lain termuat dalam stb. 1870 No. 64 tentang pengakuan badan hukum, stb 1927 No. 156 tentang gereja dan organisasi-organisasi agama, stv 1939 No. 570 jo. 717 tentang badan hukum Indonesia.
Syarat-syarat badan hukum
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh suatu badan/perkumpulan badan usaha, agar dapat dikatakan sebagai badan hukum (rechtperson). Menurut doktrin syarat-syaratnya adalah
Adanya harta kekayaan yang terpisah
Harta kekayaan ini diperoleh dari para anggota maupun perbuatan pemisahan yang dilakukan seseorang/partikelier/pemerintahan untuk suatu tujuan tertentu. Adanya harta kekayaan ini dimaksudkan sebagai alat untuk mencapai apa yang menjadi tujuan badan hukum yang bersangkutan.
Mempunyai tujuan tertentu
Tujuan tertentu ini dapat berupa tujuan yang idil maupun tujuan komersil yang merupakan tujuan tersendiri daripada badan hukum. Tujuan tersebut dilakukan sendiri oleh badan hukum dan diwakili organnya. Tujuan yang hendak dicapai itu lazimnya dirumuskan dengan jelas dalam anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.
Mempunyai kepentingan sendiri
Kepentingan-kepentingan tersebut merupakan hak-hak subjektif sebagai akibat dari peristiwa-peristiwa hukum. Oleh karena itu badan hukum mempunyai kepentingan senidiri,dan dapat menuntut serta mempertahankan terhadap pihak ketiga dalam pergaulan hukumnya.
Ada organisasi yang teratur
Bagaimana tata cara organ badan hukum yang terdiri dari manusia itu bertindak meawakili badan hukum, bagaimana organ badan hukum itu dipilih, diganti dan sebagainya.diatur dalam anggaran dasar dan peraturan-peraturan lain atau keputusan rapat anggota. Dengan demikian badan hukum mempunyai organisasi.
TEMPAT TINGGAL(DOMICILIE)
Pengertian
Menurut Vollmar tempat tinggal merupakan tempat seseorang melakukan perbuatan hukum. Adapun yang dimaksud perbuatan hukum adalah suatu perbuatan yang menimbulkan akibat hukum. Misalnya, jual beli, sewa menyewa, hibah, leasing dan sebagainya. Tujuan dari penentuan domisili tersebut adalah untuk mempermudah para pihak dalam mengadakan hubungan hukum dengan pihak lainnya.
Macam Domisili
Domisili dapat dibedakan menurut sistem hukum yang mengaturnya, yaitu menurut Common Law (sisten anglo saxon inggris) dan hukum eropa continental. Dalam Common Law Domisili dibedakan menjadi tiga macam yaitu:
Domicilie of origin Yaitu tempat tinggal seseorang yang ditentukan oleh tempat asal seseorang sebagai tempat kelahiran ayahnya yang sah.
Domicilie of origin domicilie of dependence Yaitu tempat tinggal yang ditentukan oleh domisili dari ayahnya bagi anak yang belum dewasa.
CATATAN SIPIL
Lembaga catatan sipil tersebut dibentuk dengan tujuan untuk mencatat selengkap dan sejelas-jelasnya sehingga memberikan kepastian yang sebenar benarnya mengenai semua kejadian antara lain (1) kelahiran (2) pengakuan (terhadap kelahiran) (3) perkawinan dan perceraian (4) kematian, dan (5) ijin kawin.
Konsep Dasar Catatan Sipil
Catatan sipil adalah suatu lembaga yang bertujuan mengadakan pendaftaran, pencatatan atau serta pembukuan yang selengkap-lengkapnya dan sejelas-jelasnya serta member kepastian hukum yang sebesar-besarnya atas peristiwa kelahiran,pengakuan, perkawinan dan kematian.
Jenis-Jenis Catatan Sipil
Akta Kelahiran
Akta kelahiran adalah akta yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang yang berkaitan dengan adanya kelahiran. Akta kelahiran bermanfaat antara lain(1) memudahkan pembuktian dalam hal kewarisan (2) persyaratan untuk diterima dilembaga pendidikan dan (3) persyaratan bagi seseorang yang masuk sebagai pegawai pemerintahan.
Akta kelahiran terdiri dari (1) akta kelahiran umum (2) akta kelahiran istimewa (3) akta kelahiran luar biasa (4) akta kelahiran tambahan.
Akta kelahiran umum
Akta kelahiran umum adalah akta kelahiran yang diterbitkan berdasarkan laporan kelahiran yang di sampaikan dalam waktu yang di tentukan oleh perundang-undangan, yakni 60 hari kerja sejak peristiwa untuk semua golongan,kecuali golongan Eropa selama 10 hari kerja. Esensi dari akta kelahiran umum adalah di sampaikan dalam 60 hari kerja sejak kelahiran.
Akta kelahiran istimewa
Akta kelahiran istimewa adalah akta kelahiran yang diterbitkan berdasarkan laporan kelahiran yang di sampaikan setelah melewati batas waktu yang di tentukan oleh perundang-undangan. Batas waktu lewat yakni melebihi 60 hari.
Akta kelahiran luar biasa
Akta kelahiran luar biasa adalah akta kelahiran yang di terbitkan oleh Kantor Catatan Sipil pada jaman Revolusi antara 1 Mei 1940 sampai 31Desember 1949 dan kelahiran tersebutatatan Sipil Setempat.
Akta Kelahiran Tambahan
Akta kelahiran tambahan adalah akata kelahiran yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang terhadap orang yang lahir pada tanggal 1 januari 1967 sampai 31 Maret 1983, yang tunduk pada stb. 1920 No. 752 jo Stb. 1927 No. 564 dan Stb. 1933 No. Jo. Stb 1936 No. 607.
Manfaat Akta Catatan Sipil
Akta catatan sipil mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam proses pembangunan nasional karena dapat memberikan manfaat bagi individu maupun pemerintah.bagi individu akta catatan sipil memiliki manfaat antara lain (1) menentukan status hukum sesesorang,(2) merupakan alat bukti yang paling kuat dimuka pengadilan dan dihadapan hakim (3) memberikan kepastian tentang peristiwa itu sendiri. Selain itu dalam lapang pandang hukum internasional akta catatan sipil juga diakui sah dalam pergaulan internasional.sedangka dalam pembuktian akta catatan sipil mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Oleh karena itu hakim dapat memerintahkan agar akta aslinya ditunjukan dalam sidang. Atas dasar ketentuan tersebut, maka kutipan bukan lagi merupakan bukti.akan tetapi khusus mengenai kutipan dari daftar catatan sipil tetap merupakan bukti yang sempurna sejauh tidak ada tuduhan bahwa kutipan tersebut palsu.
BAB IV
HUKUM KELUARGA
A. KONSEP DASAR
1. Istilah Dan Definisi Hukum Keluarga
Istilah hukum keluarga berasal dari terjemahan Familierecht (Belanda) atau law of familie (Inggris). Dalam definisi ini setidaknya memuat dua hal penting yaitu, kaidah hukum dan subtansi (ruang lingkup) hukum. Kaidah hukum meliputi hukum keluarga tertulis dan hukum keluarga tidak tertulis. Hukum keluarga tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang bersumber dari Undang-undang, traktat, dan yurisprudensi. Hukum keluarga yang tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum keluarga yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum keluarga pada dasarnya merupakan keseluruhan kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan hukum yang timbul dari kaitan keluarga yang meliputi:
(1) Peraturan perkawinandengan segala hal yang lahir dari perkawinan;
(2) Peraturan perceraian;
(3) Peraturan kekuasaan orang tua;
(4) Peraturan kedudukan anak;
(5) Peraturan pengampunan; dan
(6) Peraturan perwalian.
2. Sumber dan Asas Hukum Keluarga
Pada dasarnya hukum keluarga itu dibagi 2 dapat dibedakan 2 macam, yaitu sumber hukum keluarga tertulis dan sumber huku tidak tertulis. Sumber hukum keluarga tidak tertulis merupakan norma-norma hukum yang tumbuh dan berkembang serta ditaati oleh sebagian besar masyarakat atau suku bangsa yang hidup di wilayah Indonesia. Sedangkan sumber huku keluarga yang tertulis berasal dari berbagai peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan perjanjian (traktat).
Sumber hukum keluarga tertulis yang menjadi rujukan di Indonesia meliputi: (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW); (2) Peraturan Perkawinan Campuran, (3) Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen Jawa, Minahasa, dan Ambon; (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (beragama Islam); (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; (6) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; (7) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil; dan (8) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Komplikasi Hukum Islam di Indonesia yang berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam.
B. KEKUASAAN ORANG TUA
1. Hak dan Kewajiban antara Suami Istri
Hak dan Kewajiban yang harus dipikul oleh suam istri dapat dibedakan menjadi dua hal, yaitu:
(1) Sebagai akibat yang timbul dari hubungan suami istri
(2) Sebagai akibat yang timbul dari kekuasaan suami
2. Hak dan kewajiban Suami Istri terhadap Anak-anaknya
Dalam Bab XIV KUH Perdata pada dasarnya dibagi dalam tiga bagian, yaitu:
a. Kekuasaan Orang Tua Terhadap Pribadi Anak
1) Asas Kekuasaan Orang Tua terhadap Pribadi Anak
Menurut Pasal 299 BW menyantakan bahwa kekuasaan orang tua pada hakikatnya adalah kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu selama mereka itu terikat dalam perkawinan terhadap anak-anaknya yang belum dewasa. Dari ketentuan pasal 299 tersebut dapat disimpulkan tiga asas kekuasaan orang tua:
1) Kekuasaan orang tua berada pada kedua orang tua dan tidak hanya pada ayah saja;
2) Kekuasaan orang tua hanya ada sepanjang perkawinan masih berlangsung dan jika perkawinan itu bubar, maka kekuasaan orang tua itu pun berakhir;
3) Kekuasaan orang tua hanya ada sepanjang orang tua menjalankan kewajiban terhadap anak-anaknya dengan baik
2) Akibat Kekuasaan Orang Tua Terhadap Pribadi Anak
Menurut pasal 298 ayat 1 KUHPerdata jo 46 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974, bahwa setiap anak wajib hormat dan patuh kepada orang tua. Menurut Soetejo Prawirohamidjojo dan Marthena Pohan, ketentuan ini lebih merupakan norma kesusilaan daripada norma hukum. Meskipun demikian, pelanggaran terhadap ketentuan yang dilakukan oleh anak yang masih minderjaring dapat memberikan alasan bagi ayah atau ibu yang menjalankan kekuasaan orang tua untuk mengambil tindakan-tindakan koreksi terhadap si anak.
Sebaliknya orang tua wajib memelihara dan memberikan bimbingan anak-anaknya yang belum cukup umur sesuai dengan kemampuannya masing-masing (pasal 45 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974). Kewajiban ini merupakan dasar dari kekuasaan orang tua, dan bukan sebgai akibat dari kekuasaan orang tua. Kewajiban tersebut disebabkan oleh adanya hubungan antara orang tua dengan anak yang tercipta karena keturunan.
b. Kekuasaan Orang Tua terhadap Harta Kekayaan Anak
Kekuasaan terhadap harta kekayaan anak diatur dalam Pasal 307-318 BW. Sedangkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 diatur dalam Pasal 48.
Kekuasaan orang terhadap harta kekayaan anak meliputi:
(1) Mengurus harta kekayaan sianak;
(2) Bertanggung jawab atas harta kekayaan dan hasilnya, apabila diperbolehkan;
(3) Tidak memindahkan tangankan harta kekayaan si anak tanpa ijin si anak atau pengadilan.
c. Hubungan Orang Tua dengan Anak
Bentuk hubungan timbal balik dari kewajiban ayah dan ibu yang memengang kekuasaan orang tua, maka bagi anak yang telah dewasa wajib memelihara orang tuanya dan keluarganya menurut garis lurus keatas dalam keadaan tidak mampu.
3. Hubungan Hukum Bagi Pihak Ketiga
Sebuah ikatan perkawinan penting artinya bagi keturunan dan hubungan kekeluargaan; sedangkan bagi pihak ketiga terutama penting untuk mengetahui kedudukan harta perkawinan dan kedudukan anak.
Adapun mengenai kedudukan anak yang berkaitan dengan pihak ketiga sangatlah penting, karena untuk mengetahui asal usul seorang anak sebagai ahli waris orang tuanya. Seorang anak waris yang harus mempunyai hubungan hukum dengan pewaris agar ia berhak sebagai waris yang sah.
C. PERWALIAN
1. Konsep Dasar Perwalian
Pada dasarnya setiap orang mempunyai ‘kekuasaan berhak’ karena ia merupakan subyek hukum. Tetapi tidak setiap orang cakap melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Secara umum, orang-orang yang disebut meerderjarigheid dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum secara sah, kecuali jika Undang-Undang tidak menentukan demikian. Misalnya, seorang pria yang telah genap mencapai umur 18 Tahun sudah dianggap cakap untuk melangsungkan perkawinan.
2. Asas Perwalian
Ketentuan tentang perwalian diatur dalam KUHPerdata Pasal 331-344 dan Pasal 50-54 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Perwalian adalah pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa jika anak itu tidak berada ditangan kekuasaan orang tua. Jadi bagi anak yang orang tuanya telah bercerai atau jika salah satu dari mereka atau semua telah meninggal dunia, berada dibawah perwalian.
a. Asas Tak Dapat Dibagi-bagi
Pada setiap perwalian hanya ada satu orang wali saja, hal ini yang dikenal dengan istilah asas tak dapat dibagi-bagi. Asas ini memiliki perkecualian dalam dua hal, yaitu (1) jika perwalian dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup terlama jika ia kawin lagi, suaminya menjadi wali peserta; dan (2) jika dirasa perlu, dilakukan penunjukan seorang pelaksana pengurusan yang mengurus harta kekayaan minderjarige diluar Indonesia berdasarkan pasal 361 BW.
b. Asas Kesepakatan dari Keluarganya
Menurut pasal 359 B.W menentukan bahwa pengadilan dapat menunjuk seorang wali bagi semua minderjarige yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua. Hakim akan mengangkat seorang wali setelah mendengar pendapat atau memanggil keluarga sedarah atau semenda atau periparan.
Ketentuan ini memiliki makna, bahwa keluarga harus diminta kesepakatannya mengenai perwalian. Jika keluarga tidak ada, maka tidak diperlukan kesepakatan. Apabila sesudah ada pemanggilan pihak keluarga tidak datang menghadap, maka dapat dituntut berdasarkan ketentuan pasal 524 KUHPer.
c. Orang-orang yang Dipanggil menjadi Wali
Perwalian menurut Hukum Perdata terdiri dari tiga macam, yaitu:
(1) Perwalian menurut Undang-Undang, yaitu: perwalian dari orang tua yang masih hidup setelah salah seorang meninggal dunia lebih dahulu.
(2) Perwalian karena wasiat orang tua sebelum ia meninggal, yaitu: perwalian yang ditunjuk dengan surat wasiat oleh salah seorang dari orang tuanya.
(3) Perwalian yang ditentukan oleh hakim.
d. Berakhirnya Perwalian
Berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:
1) Dalam hubungan dengan keadaan anak
Dalam hubungan ini, perwalian akan berakhir karena: (1) si anak yang dibawah perwalian telah dewasa; (2) si anak meninggal dunia; (3) timbulnya kembali kekuasaan orang tuanya; dan (4) pengesahan seorang anak luar kawin.
2) Dalam hubungan dengan tugas wali
Berkaitan dengan tugas wali, maka perwalian akan berakhir karena; (1) wali meninggal dunia; (2) dibebaskan atau dipecat dari perwalian; dan (3) ada alasan pembebasan dan pemecatan dari perwalian.
Pada setiap akhir perwaliannya,seorang wali wajib mengadakan perhitungan penutup. Perhitungan ini dilakukan dalam hal; (1) perwalian yang sama sekali dihentikan, yaitu kepada ahli warisnya; (2) perwalian dihentikan karena diri wali, yaitu kepada penggantinya; dan (3) ahli waris yang sudah berada dibawah perwalian , kembali lagi berada dibawah kekuasaan orang tua yaitu kepada bapak atau ibu itu.
D. PENGAMPUAN
1. Konsep Dasar Pengampuan
Istilah pengampunan berasal dari Bahasa Belanda curatele, yang dalam Bahasa Inggris disebut custody atau interdiction (Perancis). Pengampunan pada hakikatnya merupakan bentuk khusus dari pada perwalian, yaitu diperuntukan bagi orang dewasa tetapi berhubung dengan suatu hal ia tidak dapat bertindak dengan leluasa.
Dapat disimpulkan bahwa persamaan antara kekuasaan orangtua, perwalian dan pengampun adalah kesemuanya mengawasi dan menyelenggarakan hubungn hukum orang-orang yang dinyatakan tidak cakap bertindak.
2. Alasan Pengampunan
Undang-undang menyebutkan tiga alasan untuk pengampunan, yaitu karena: (1) keborosan; (2) Lemah akal budinya misalnya, imbicil atau; dan (3) Kekurangan daya berpikir, misalnya sakit ingatan, dungu, dan dungu disertai sering mengamuk. Orang yan telah dewasa tetapi sakit ingatan, pemboros, lemah daya atau tidak sanggup mengurus kepentingannya sendiri dengan semestinya, disebabkan kelakuan buruk diluar batas atau mengganggu keamanan, memerlukan pengampunan. Oleh sebab itu diperlukan adanya pengampun (curator).
Sesuai dengan pasal 436 B.W., menetapkan bahwa yang berwenang menetapkan pengampunan, ialah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman orang yang berada hukumnya meliputi tempat kediaman orang ynag berada didaerah pengampunan.
Penetapan dibawah pengampunan dapat dimintakan suami atau istri, keluarga sedarah, kejaksaan, dan dalam lemah daya hanya boleh atas permintaan yang berkepentingan saja. Orang yang di bawah pengampunan disebut curandus; dan akibatnya ia dinyatakan tidak cakap bertindak
3. Jabatan Pengampu dan Berakhirnya Pengampunan
Seorang currandus yang mempunyai istri atau suami, maka istri atau suaminyalah yang diangkat sebagai curator, kecuali ada alasan-alasan penting yang menyebabkan bahwa seyogyanya orang lainlah yang diangkat sebagai cirator. Pengampunan berakhir apabila alasan-alasan itu sudah tidak ada lagi. Tentang hubungan hukum antara kuradus dan kurator, tentang syarat-syarat timbul dan hilangnya pengampunan dan sebagainya itu diatur dalam peraturan tentang pengampunan (curtele), antara lain:
(1) Secara absolut; crandus meninggal atau adanya putusan pengadilan yang menyatakan sebab-sebab dan alasan-alasan dibawah pengampunan yang telah dihapus.
(2) Secara relatif ; curator meninggal, curator dipecat, atau suami diangkat sebagai curator yang dahulunya berstatus sebagai curandus.
Dengan berakhirnya pengampunan, yang berarti berakhirnya tugas dan kewajiban curator, hal ini membawa serta berakhirnya tugas curator sebagai pengampu pengawas.
Menurut ketentuan pasal 141 B.W bahwa berakhirnya pengampunan harus diumumkan sesuai dengan formalitas-formalitas yang harus dipenuhi seperti pada waktu permulaan pengampunan. Di samping itu bahwa ketentuan-ketentuan berakhirnya perwalian seluruhnya amutatis mutandis berlaku pula berakhirnya pengampunan.
BAB V
TENTANG HUKUM PERKAWINAN
Oleh :
Rika Handayani
A. Pluralisme Hukum Perkawinan Di Indonesia
Hukum perkawinan sebagai bagian dari Hukum Perdata ialah peraturan-peraturan yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum serta akibat-akibatnya antara dua pihak, yaitu seorang laki-laki dan seorang wanita dengan maksud hidup bersama untuk waktu yang lama menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Kebanyakan isi peraturan mengenal pergaulan hidup suami istri diatur dalam norma-norma keagamaan, kesusilaan atau kesopanan.
Hukum perkawinan dibagi dalam 2 (dua) bagian yaitu:
1. Hukum perkawinan, yaitu keseluruhan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan suatu perkawinan; misalnya, hak dan kewajiban suami istri.
2. Hukum kekayaan dalam perkawinan yaitu keseluruhan peraturan hukum yang berhubungan dengan harta kekayaan suami istri di dalam perkawinan misalnya tentang harta bawaan masing-masing sebelum menikah.
Di Indonesia pelaksanaan hukum perkawinan masih pluralistic. Artinya di Indonesia berlaku tiga macam sistem hukum perkawinan yaitu:
1. Hukum perkawinan menurut hukum perdata barat (WB) diperuntukkan bagi WNI keturunan asing atau yang beragama Kristen.
2. Hukum Perkawinan menurut hukum yang beragama Islam, diperuntukkab bagi WNI keturunan atau pribumi yang beragam Islam.
3. Hukum Perkawinan menurut hukum adat, diperuntukkan bagi masyarakat pribumi yang masing memegang teguh hukum adat.
Namun demikian pada dasarnya hukum perkawinan bagi perpaduan masyarakat asli yang beragama Islam kebanyakan merupakan perpaduan antara Hukum Islam dan Hukum Adat. Sedangkan Hukum Perkawinan B.W diperuntukkan bagi WNI keturunan asing atau yang beragam Kristen, khususnya kalangan Tionghoa keturunan:
B. Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Eksistensi institusi adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Oleh sebab itulah beberapa ahli memandang dan memberikan arti yang sangat penting terhadap institusi yang bernama perkawinan. Asser, Scholten, Pitlo, Petit, Melis, dan Wiarda, memberikan definisi, bahwa perkawinan ialah suatu persekutuan antara seorang pria dengan seorang wanita yang diakui oleh Negara untuk bersama/bersekutu yang kekal.
Sementara menurut Soetoyo Prawirohamidjo menyatakan bahwa perkawinan merupakan persekutuan hidup antara seorang pria dan wanita yang dikukuhkan secara formal dengan Undang-Undang (yuridis) dan kebanyakan religius. Pendapat lain disampaikan Subekti dalam bukunya pokok-pokok Hukum Perdata yang menyatakan, bahwa perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.
Begitupun dengan Kaelany H.D yang mengatakan bahwa, perkawinan adalah akad antara calon suami-isteri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syari’ah. Dengan akad itu kedua calon akan diperbolehkan bergaul sebagai suami isteri.
Dasar-dasar dari perkawinan tersebut dibentuk oleh unsur-unsur alami dari kehidupan itu sendiri, kebutuhan dan fungsi biologik, menurunkan, kebutuhan akan kasih sayang dan bersaudara, memelihara anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut dan mendidik anak-anak itu untuk menjadi anggota-anggota masyarakat yang sempurna. (volwaardig).
1. Perkawinan Menurut Hukum Perdata
Dalam Hukum Perdata Barat tidak ditemukan definisi dari perkawinan istilah perkawinan (huwelijk) digunakan dalam dua arti yaitu:
a) Sebagai suatu perbuatan, yaitu perbuatan “melangsungkan perkawinan” (Pasal 104 BW). Selain itu juga dalam arti “Setelah Perkawinan” Pasal 209 sub 3 BW). Dengan demikian perkawinan adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan pada suatu saat tertentu.
b) Sebagai “suatu keadaan hukum” yaitu keadaan bahwa seorang pria dan seorang wanita terikat oleh suatu hubungan perkawinan.
2. Perkawinan Menurut Hukum Islam
Ketentuan tentang perkawinan menurut Hukum Perdata Barat sangat berbeda dengan Hukum Islam. Perkawinan yang dalam istilah Hukum Islam disebut “Nikah” ialah melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan dari antara seorang lak-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar suka rela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara yang diridhai oleh Allah SWT.
Begitupun dengan Kaelany H.D yang mengatakan bahwa perkawinan adalah akad antara calon suami isteri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syari’ah.
Berdasarkan pengertian nikah tersebut di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa:
1. Nikah adalah persetujuan (perjanjian) ataupun suatu akad antara seorang pria dan wali pihak wanita.
2. Untuk ada (terjadinya) nikah harus ada kerelaan dan kesukaan dari kedua belah pihak yang akan melakukan nikah.
3. Nikah dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan yang sudah diatur oleh agama yang terdapat di dalam hukum fiqih.
Betapa indahnya Hukum Islam mengibaratkan sebuah Perkawinan. Oleh karena itu perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena dengan perkawinan, dapat mengurangi maksiat penglihatan, memelihara diri dari perbuatan zina.
3. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (sebut UUP) menyatakan:
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Dari pengertian tersebut jelaslah terlihat bahwa dalam sebuah perkawinan memiliki dua aspek yaitu:
1. Aspek Formil (Hukum), hal ini dinyatakan dalam kalimat ikatan lahir batin, artinya bahwa perkawinan di samping mempunyai nilai ikatan secara lahir tampak, juga mempunyai ikatan batin yang dapat dirasakan terutama oleh yang bersangkutan dan ikatan bathin ini merupakan inti dari perkawinan itu.
2. Aspek Sosial Keagamaan, dengan disebutkannya membentuk keluarga dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan kerohanian, sehingga bukan saja unsur jasmani tapi unsur bathin berperan penting.
a. Ikatan Lahir Bathin
Dalam suatu perkawinan tidak hanya cukup dengan ikatan lahir saja atau ikatan bathin saja, akan tetapi kedua-duanya secara sinergis dan terpadu erat. Ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan hubungan hukum antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri (hubungan formal).
b. Antara Seorang Pria dengan Seorang Wanita
Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan seorang wanita. Dengan demikian Undang-Undang ini tidak melegalkam hubungan perkawinan antara pria dengan pria, wanita dengan wanita, atau unsur waria dengan waria.
c. Sebagai Suami Isteri
Menurut UPP, persekutuan antara seorang pria dengan seorang wanita dipandang sebagai suami isteri, apabila ikatan mereka didasarkan pada suatu perkawinan yang sah. Suatu perkawinan dianggap sah, bila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang, baik syarat intern maupun syarat-syarat ekstern. Syarat intern adalah syarat yang menyangkut pihak-pihak yang melakukan perkawinan, yaitu: kesepakatan mereka, kecapakan dan juga izin dari pihak lain yang harus diberikan untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat ekstern adalah syarat yang menyangkut formalita-formalita kelangsungan perkawinan.
d. Membentuk Keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal
Keluarga adalah satu kesatuan yang terdiri atas ayah, ibu dan anak atau anak-anak yang merupakan sendi dasar susunan masyarakat Indonesia. Dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat sangat penting artinya kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga karena tidak dapat lain, masyarakat yang berbahagia akan terdiri atas keluarga-keluarga yang berbahagia pula.
e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Berbeda dengan konsepsi perkawinan menurut KUH Perdata maupun ordonansi Perkawinan Kristen Bumiputra (Huwelijks Ordonnantie Christen), yang memandang perkawinan hanya sebagai hubungan keperdataan saja (lahiriah), Undang-Undang Perkawinan mendasarkan hubungan perkawinan atas dasar kerohanian.
f. Perkawinan Menurut Hukum Adat
Perkawinan dalam masyarakat adat dipandang sebagai salah satu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat.
Menurut Soekarno, dalam perkawinan menurut adat tak dapat dengan tepat dipastikan bilakah saat perkawinan dimulai. Hal ini berbeda dengan hukum islam atau Kristen waktu ini ditetapkan waktu adalah pasti.
Pada umumnya suatu perkawinan menurut Hukum Adat didahului dengan lamaran (ngalamar).
Perkawinan Adat Indonesia terbagi atas tiga kelompok yaitu:
1. Berdasarkan masyarakat kebapakan (patrilial)
2. Berdasarkan masyarakat kebapakan keibuan (matrilial)
3. Berdasarkan masyarakat keibuan kebapakan (parental)
a. Perkawinan Adat Berdasarkan Masyarakat Kebapakan
Perkawinan disebut “Kawin Jujur” di mana laki-laki memberikan jujur (Tapanuli Selatan, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan), Ujung, Sinamot, Pangoli, Boli, Tuhor (Batak), Beli (Maluku) Belis (Timor) kepada calon isterinya. Dengan memberikan jujur ini isteri masuk dalam calon suaminya, sehingga anak-anaknya dilahirkan sebagai warga calon suami.
b. Perkawinan Adat Berdasarkan Masyarakat Keibuan
Dalam masyarakat keibuan tidak dikenal istilah jujur. Pada masyarakat ini laki-laki tinggal dalam keluarga sendiri, akan tetapi dapat bergaul dengan keluarga istrinya sebagai ruang semendo (=aangetrounwde)
Sifat masyarakat matrilineal adalah masyarakat yang anggota-anggotanya menarik garis keturunan melalui garis ibu, misalnya Minangkabau.
Dalam masyarakat matrilineal Minangkabau ada tiga perkembangan masyarakat semendo, yaitu:
a. Kawin semendo bertandang
b. Kawin semendo menatap
c. Kawin semendo bebas
c. Perkawinan Adat Berdasarkan Masyarakat Keibubapakan
Masyarakat parental adalah sifat masyarakat parental adalah masyarkat yang anggota-anggotanya menarik garis keturunan melalui garis ibu dan garis bapak, misalnya jawa, Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi dan Lombok.
Dalam masyarakat parental dikenal pula kebiasaan pembayaran kepada pihak perempuan (huwelijksgift) jika ada perkawinan.
C. Tujuan, Asas, dan Syarat Perkawinan
1. Tujuan Perkawinan
Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perkawinan bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti bahwa perkawinan:
a) Berlangsung seumur hidup
b) Cerai diperlukan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir
c) Suami-isteri membantu untuk mengembangkan diri
Dalam hukum Islam Perkawinan dikemukakan tentang makna perkawinan dalam praktek, antara lain:
a) Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
b) Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya.
c) Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.
d) Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab.
Adapun menurut Kaelany H.D terdapat hikmah di balik perikatan pernikahan antara pria dan wanita antara lain:
1. Hidup tentram dan sejahtera
2. Menghindar perzinahan
3. Memelihara keturunan
4. Memelihara wanita yang bersifat lemah
5. Menciptakan persaudaraan baru
6. Berhubungan dengan kewarisan
Lebih lanjut Abdul Rahman I. Doi mengemukakan manfaat dari perkawinan dalam Islam secara luas antara lain:
1. Merupakan alat untuk memenuhi kebutuhan emosi dan seksual yang sah dan benar.
2. Suatu mekanisme untuk mengurangi ketegangan.
3. Cara untuk memperoleh keturunan yang sah.
4. Menduduki fungsi sosial.
5. Mendekatkan hubungan antar keluarga dan solidaritas kelompok.
6. Merupakan perbuatan menuju ketaqwaan.
7. Merupakan suatu bentuk ibadah, yaitu pengabdian kepada Allah mengikuti sunnah Rasulullah SAW.
2. Syarat Perkawinan
Menurut Undang-Undang bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan haruslah dipenuhi syarat-syarat pokok demi sahnya suatu perkawinan antara lain, syarat materiil dan syarat formil.
a) Syarat Materiil
Syarat materiil disebut juga dengan syarat inti atau internal, yaitu syarat yang menyangkut pribadi pada pihak yang hendak melangsungkan perkawinan dan izin-izin yang harus diberikan oleh pihak ketiga dalam hal-hal yang ditentukan oleh Undang-Undang. Syarat materiil meliputi syarat materiil absolut dan syarat materiil relatif.
Syarat materiil absolut adalah syarat mengenai pribadi seorang yang harus diindahkan untuk perkawinan pada umumnya. Syarat materiil ini meliputi antara lain:
• Pihak-pihak calon mempelai dalam keadaan tidak kawin (Pasal 27 BW).
• Masing-masing pihak harus mencapai umur minimum yang ditentukan oleh Undang-Undang, laki-laki berumur 18 tahun, perempuan 15 tahun (Pasal 29 BW).
• Seorang wanita tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat 300 hari terhitung sejak bubarnya perkawinan (Pasal 34 BW).
• Harus ada izin dari pihak ke tiga.
• Dengan kemauan yang bebas, tidak ada paksaan (Pasal 28 BW).
Syarat materiil relatif adalah syarat-syarat bagi pihak yang akan dikawini. Syarat materiil ini meliputi antara lain:
• Tidak adanya hubungan darah (keturunan) atau hubungan keluarga (antar ipar/semenda sangat dekat atau hubungan keduanya (Pasal 30 dan Pasal 31 BW).
• Antara keduanya tidak pernah melakukan overspel (Pasal 32 BW).
• Tidak melakukan perkawinan terhadap orang yang sama setelah dicerai (reparative huwelijk) untuk yang ke tiga kalinya.
b) Syarat Formil
Syarat formil atau syarat lahir (eksternal) adalah syarat yang berhubungan dengan tata cara atau formalitas yang harus dipenuhi sebelum perkawinan.
3. Asas Perkawinan
a. Asas-asas Perkawinan
Hukum perkawinan yang diatur dalam KUH Perdata (BW) berdasarkan Agama Kristen memiliki beberapa asas antara lain:
1. Perkawinan berasaskan monogamy, dan melarang poligami (Pasal 27 BW).
2. Undang-Undang hanya mengenai perkawinan di dalam hubungan keperdataannya, yaitu dilakukan di muka Kantor Pencatatan Sipil ( Burgerlike Stand ).
3. Perkawinan dilakukan dengan persetujuan antara seorang pria dan seorang wanita di dalam bidang \hukum keluarga.
4. Perkawinan hanya syah, apabila memenuhi persyaratan yang dikehendaki UU.
5. Perceraian hanya dapat terjadi berdasarkan pada ketentuan Undang-Undang.
6. Perkawinan berakibat terhadap hak dan kewajiban suami isteri.
7. Perkawinan merupakan dasar terwujudnya pertalian darah sehingga melahirkan hak dan kewajiban terhadap keturunannya.
8. Perkawinan mempunyai akibat di dalam bidang kekayaan suami isteri.
D. Perjanjian Perkawinan
Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami isteri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta benda mereka.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur mengenai perjanjian kawin, untuk itu melalui Petunjuk Mahkamah Agung Republik Indonesia No: MA/0807/75 memberikan pendapat untuk memperlakukan ketentuan-ketentuan yang sudah ada sebelumnya sebagaimana diatur dalam KUHPer bagi yang menundukkan peraturan tersebut, hukum adat bagi golongan Bumi Putera dan Huwelijke Ordonnanite Chirsten Indonesiers (Stb).
Pada umumnya suatu perjanjian kawin dibuat dengan alasan:
1. Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak dari pada pihak yang lain.
2. Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan (aanbrengst) yang cukup besar.
3. Masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri, sehingga andaikata salah satu jatuh (failliet), yang lain tidak tersangkut.
4. Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin masing-masing akan bertanggunggugat sendiri-sendiri.
Maksud pembuatan perjanjian kawin adalah untuk mengadakan penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan tentang harta kekayaan bersama (Pasal 119 KUHPer).
Undang-Undang perkawinan menempatkan ketentuan tentang perjanjian perkawinan dalam Pasal 29 KUHPer, yaitu pada intinya bahwa suatu perjanjian perkawinan diperbolehkan asalkan tidak bertentangan hukum, agama, dan kesusilaan
1. Bentuk Perjanjian
Perjanjian kawin menurut KUHPer, harus dibuat dengan akat notaris (Pasal 147). Hal ini, kecuali untuk keabsahan perjanjian kawin, juga bertujuan:
1) Untuk mencegah perbuatan yang tergesa-gesa, oleh karena akibat daripada perjanjian ini akan dipikul untuk seumur hidup.
2) Untuk adanya kepastian hukum.
3) Sebagai satu-satunya alat bukti yang syah.
4) Untuk mencegah kemungkinan adanya penyelendupan atas ketentuan Pasal 149 KUHPer.
2. Isi Perjanjian
Mengenai isi perjanjian kawin Undang-Undang Perkawinan tidak membahas, yang ada bahwa perjanjian kawin tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama, dan kesusilaan.
Asas kebebasan kedua belah pihak dalam menentukan isi perjanjian kawinya dibatasi oleh ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Tidak membuat janji-janji (bedingen) yang bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
b. Perjanjian kawin tidak boleh mengurangi hak-hak karena kekuasaan suami, hak-hak karena kekuasaan orang tua, hak-hak suami isteri yang hidup terlama.
c. Tidak dibuat janji-janji yang mengandung pelepasan hak atas peninggalan.
d. Tidak dibuat janji-janji, bahwa salah satu pihak akan memikul hutang lebih besar daripada baginya dalam aktiva.
e. Tidak dibuat janji-janji, bahwa harta perkawinan akan diatur oleh Undang-Undang Negasa Asing.
E. Batalnya Perkawinan
1. Dapat Dibatalkannya Perkawinan
Pada dasarnya suatu perkawinan dikatakan batal (dibatalkan), bilamana perkawinan itu tidak memenuhi syarat-syarat sesudah diajukan ke pengadilan. Menurut hukum Islam suatu perkawinan dapat batal (nieting) atau fasid (verneitgbaar). Suatu akad nikah dikatakan syah, jika dalam akad nikah tersebut telah dipenuhi segala rukun dan syaratnya. Pasal 22 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan, bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Dalam hukum Islam dikenal sebagai larangan perkawinan (nikah) yang tidak boleh dilanggar, antara lian:
a. Adanya hubungan keluarga yang dekat.
b. Derajat calon suami adalah lebih rendah dari calon isteri.
c. Seorang wanita nikah lagi dalam masa tunggu.
d. Seorang wanita yang masih dalam keadaan kawin, kawin lagi dengan pria lain.
e. Seorang suami yang beristrikan empat orang kawin lagi dengan isteri yang ke lima.
2. Alasan Untuk Menuntut Batalnya Perkawinan Dan Orang-Orang Yang Berhak Menuntut Batalnya Perkawinan
Undang-Undang menentukan alasan-alasan untuk menuntut batalnya perkawinan, antara lain:
• Adanya perkawinan rangkap.
• Tiadanya kata sepakat pihak-pihak atau salah satu pihak.
• Tiadanya kecakapan untuk memberikan kesepakatan.
• Belum mencapai usia untuk kawin.
• Keluarga sedarah atau semenda.
• Perkawinan antara mereka yang melakukan overspel.
• Perkawinan ketiga kalinya antara orang yang sama.
• Tidak izin yang disyaratkan.
• Ketidakwenangan pejabat catatan sipil.
• Perkawinan dilangsungkan walaupun ada pencegahan.
3. Adanya Perkawinan Rangkap (Dubble Huwelijk)
Bilamana perkawinan terdahulu itu dibutuhkan karena suatu sebab, maka haruslah diputuskan terlebih dahulu. Karena sebelum adanya putusan tentang pembatalan perkawinan pertama, dan sudah dilakukan lagi perkawinan yang kedua, maka perkawinan yang terakhir ini (perkawinan rangkap) dapat dinyatakan batal.
Pembatalan adanya perkawinan rangkap dapat dimintakan oleh:
1) Orang tua
2) Semua anggota keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas.
3) Saudara-saudaranya.
4) Curatornya
5) Kejaksaan
4. Tidak Kata Sepakat Pihak-Pihak Atau Salah Satu Pihak
Menurut ketentuan Pasal 28 KUHPer, bahwa kebebasan memberikan kesepakatan (vrije toesemming) merupakan hakikat daripada perkawinan.
5. Tiadanya Kecakapan Untuk Memberikan Kesepakatan
Pembentuk Undang-Undang menganggap bawha setiap orang yang cacat akal budinya selalu diletakkan di bawah pengampuan. Perkawinan seseorang yang gila tetapi tidak diletakkan di bawah pengampuan dapat dinyatakan batal berdasar Pasal 87 KUHPer.
6. Belum mencapai Usia Untuk Kawin
Batas usia kawin antara KUHPer, dan Undang-Undang perkawinan berbeda. Menurut KUHPer. Batas usia bagi pria adalah 18 tahun dan wanita adalah 15 tahun. Sedangkan menurut Undang-Undang perkawinan batas usia kawin bagi pria adalah 19 tahun dan wanita adalah 16 tahun.
7. Keluarga Sedarah atau Semenda
Perkawinan dilarang bagi mereka yang memiliki hubungan darah. Menurut Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan, bahwa perkawinan dilarang bagi mereka karena:
a) Ada hubungan darah dalam garis keturunan ke bawah atau ke atas.
b) Ada hubungan darah dalam garis keturunan menyamping.
c) Ada hubungan darah semenda, yaitu, mertua, anak tiri, memantu dan ibu/bapak tiri. Sedangkan dalam KUHPer. Hal ini diatur dalam Pasal 90 jis 30 dan 31.
8. Perkawinan Antara Mereka Yang Melakukan Overspel
Overspel adalah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan yang elah menikah atau belum tetapi tidak diikat dalam oleh perkawinan yang dilakukan suka sama suka, tanpa adanya paksaan.
Adapun persetubuhan yang dimaksud adalah perpaduan antara dua anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki harus masuk ke dalam anggota perempuan sehingga mengeluarkan air mani, sesuai dengan Arrest Hooge Raad 5 Pebruari 1912.
Menurut ketentuan pasal 32 KUHPer, bahwa mereka yang melakukan overspel berdasarkan putusan hakim, dilarang untuk mengadakan perkawinan.
9. Perkawinan Ketiga Kalinya antara orang yang sama
KUHPer pada dasarnya melarang seseorang yang melakukan perkawinan ketiga pada orang yang sama atau setelah perceraian atau telah bubar setelah adanya pisah meja dan tempat tidur sebelum jangka waktu satu tahun terlampaui.
10. Tiada Ijin yang Disyaratkan
Berdasarkan Pasal 35,36,452 ayat 2 KUHPer., pihak ketiga yang berhak memberikan ijin perkawinan adalah orang tua, kakek dan nenek, atau wali. Perkawinan yang dilakukan tanpa ijin dari pihak-pihak tersebut menurut Pasal 91 KUHPer., dinyatakan batal demi hukum. Pembatalan perkawinan semacam ini hanya dapat dilakukan oleh mereka yang berhak memberi ijin.
11. Ketidakwenangan Pejabat Catatan Sipil
Perkawinan dapat dibatalkan apabila Pejabat Catatan Sipil tidak berwenang, jumlah saksi tidak cukup atau saksinya tidak memenuhi persyaratan [Pasal 92 KUHPer].
Pihak-pihak yang berhak mengajukan tuntutan pembatalan perkawinan ini adalah suami-isteri itu sendiri, orang tua mereka, sanak keluarga dalam garis lurus ke atas, wali pengawas, mereka yang mempunyai kepentingan, dan kejaksaan.
12. Perkawinan Dilangsungkan Walaupun Ada Pencegahan
Apabila perkara mengenai pencegahan perkawinan telah diajukan, maka perkara tersebut dapat dilanjutkan. Jika tuntutan untuk mencegah perkawinan tersebut dikabulkan, maka perkawinan tersebut dapat dinyatakan batal.
Sebaliknya, jika perkara pencegahan belum diajukan, maka orang yang berhak mencegah perkawinan harus mengajukan gugatannya. Hanya dengan alasan-alasan tersebut, maka perkawinan dapat dinyatakan bata oleh hakim.
F. Putusnya Perkawinan
Perkawinan hakekatnya adalah bertemunya dua makhluk lawan jenis yang mempunyai kepentingan dan pandangan hidup yang sejalan, dengan tujuan untuk mewujudkna kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warohamh.
1. Berbagai Pandangan Tentang Putusnya Perkawinan
a) Putusnya Perkawinan Menurut Hukum Perdata Barat dan Kristen
Di Negara-negara barat yang hanya mengenal system perkawinan monogamy, pada umumnya memandang perkawinan sebagai suatu lembaga yang dewan perkawilan rakyatnya didominasi oleh golongan agama katolik roma, dalam Undang-Undang perkawinannya mencerminkan pandangan dan moral teologi katolik, sehingga bubarkan perkawinan hanya dikenal karena kematian saja.
Menurut ketentuan Pasal 199 KUHPer. Suatu perkawinan dapat bubar oleh sebab:
1) Kematian, yaiutu suami isteri meninggal dunia.
2) Ketidakhadiran di tempat (afwezigheid) oleh salahsatu pihak selama sepuluh tahun dan diikuti dengan perkawinan baru oleh suami isteri.
3) Keputusan hakim sesudah pisahk meja dan tempat tidur yang didaftarkan dalam daftar catatan sipil.
4) Perceraian.
Menurut ajaran Kristen hanya kematian yang dapat memutuskan perkawinan.
b) Putusnya Perkawinan Menurut Hukum Islam
Hokum Islam mensyari’atkan tentang putusnya perkawinan melalui percerian, tetapi bukan berarti Agama Islam menyukia terjadinya perceraian daru suatu perakawinan.
Dengan demikian suatu percerian walaupun diperbolehkan tetapi Agama Islam tetap memandang bahwa perceraian adalah sesuatu yang bertentangan dengan asas-asas Hukum Islam. Sebagaimana Hadits Rasulullah SAW bersabda:
Ibnu’Umar r.a berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda;
“Barang yang halal yang paling dibenci Allah ialah perceraian (talaq).” (H.R. Abu Dawud dan Ibn Majah dinyatakan Shaheh oleh Al-Hakim).
c) Putusnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan
Masalah putunya perkawinan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengaturnya dalam Bab VIII Pasal 38 sampai Pasal 41. Tata cara perceraian diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 14 sampai dengan Pasal 36, dan hal-hal teknis lainnya dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975. Ketentuan Pasal 38 UU No.1 Tahun 1974 menyebutkan suatu perkawinan dapat putus karena tiga hal, yaitu kematian salah satu pihak, perceraian, dan atas putusnya hakim.
d) Putusnya Perkawinan Menurut Hukum Adat
Menurut hokum adat tujuan perkawinan adalah untuk melanjutkan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, pada umumnya masyarakat menginginkan perkawinan itu bertahan selama-lamanya.
Perceraian dapat ditimbulkan oleh berbagai alasan. Alasan-Alasan yang dapat diterima oleh hokum adat, yang dapat mengakibatkan perceraian, antara lain:
1. Isteri berzinah.
2. Isteri tidak dapat mempunyai anak.
3. Suami tidak dapat memenuhi kehidupan sebagai suami.
4. Suami meninggalkan isteri waktu yang lama.
5. Adanya kemuan dan permufakatan antar suami dan isteri.
2. Alasan-Alasan Putunya Perkawinan
Berdasarkan ketentuan perdata dari berbagai sudut pandang hokum, alas an yang dijadikan untuk putusnya suatu ikatan perkawinan memiliki tendensi yang sama, walaupun ada perbedaan secara konseptual.
a) Kematian
Kematian salah satu dari suami atau isteru secara otomatis menjadikan ikatan perkawinan terputus. Yang dimaksud dengan kematian bukanlah kematian perdata (le mort civile), akan tetapi kematian dari pada pribadi orangnya, bahkan yang dimaksud oleh Undang-Undang kematian salah satu pihak, apakah si suami ataukah si isteri.
b) Perceraian
Menurut KUHPer, perceraian (echscheilding) adalah salah satu cara pembubaran perkawinan karena suatu sebab tertentu, melalui keputusan hakim yang didaftarkan pada catatan sipil. Dalam hal ini, perceraian tidak sama dengan pembubaran.
c) Putusnya Hakim
Sebagaimana telah disebutkan, bahwa putunya perkawinan pada dasarnya dapat terjadi karena tiga, yaitu; kematina, perceraian dan putusnya pengadilan. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan, perceraian meliputu cerai talak, dan cerai gugat. Cerai talak digunakan khusus bagi seorang suami yang akan menceraikan isterinya, sedangkan cerai gugat dapat digunakan baik oleh suami maupun isteri, putunya perkawinan tersebut karena berdasarkan keputusan pengadilan.
Dalam penjelasan di atas pasal 39 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan dan juga dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 disebutkan bahwa alasan-alasan yang dpat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
1. Salah satupihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan isteri sebaginya yang sukat disembuhkan.
2. Salah satu meninggalnya yang lain semala 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau katena hal lain di luat kemauan.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapatkan cacat menjalankan kewajiabn sebagai suami atau isteri.
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadai perselisihan dan pertengakaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
3. Akibat Putusnya Perkawinan
Undang-Undang tidak mengatur tentang akibat-akbiat putunya perkawinan karena, kematian yang diatur hanyalah akibat-akibat perceraian saja.
a) Menurut Hukum Adat
Menurut hukum adat dengan putunya perkawinan, maka mantan isteri atau suami adalah bebas untuk kawin lagi. Baik menurut hokum adat maupun Hukum Islam, seorang isteri tidak dapat menutut keperluan hidup dari mantan suaminya, sebiknya bagi mereka yang beragama Kristen, menurut ketentuan Pasal 62 H.O.CI., ia dapat menutut keperluan hidup dari suaminya melalui pengadilan.
b) Menurut Hukum Islam
Hukum Islam memberikan aturan tersendiri tentang akibat putusnya perkawinan baik karena kematian ataupun akibat perceraian (talaq). Apabila putunya perkawinan karena kematian bagi sang suami yang ditinggal mati oleh isterinya secara langsung dapat melakukan perkawinan dengan wanita lain, selain itu ia berhak mendapat warisan harta sang isteri.
Apabila putusnya perkawinan karena talaq ba’in kecil, maka suami tidak boleh merujuk kembali isterinya dalam masa iddah, kalau suaminya hendak mengambil mantan isterinya kembali harus dengan perkawinan baru (melalui akad nikah).
c) Menurut Hukum Perdata Barat
Dengan putusnya perkawinan, maka semua akibat perkawinan, yaitu suami hak dan kewajiabn selama perkawinan menjadi hapus sejak saat itu. Bekas isteri memperoleh kembali status sebagai wanita yang tidak kawin. Kebersamaan (persatuan) harta perkawinan menjadi terhenti dan tibalah saatnya untuk pemisalahn dan pembaginya.
Terhentinya perkawinan tersebut tidak berlaku surut, akibat-akibat perceraian itu baru timbul pada saat sampai tedaftarnya putusan pengadilan.
d) Menurut Undang-Undang Perkawinan
Menurut Pasal 41 Undang-Undang, bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
1. Orang tua tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan member putusnya.
2. Banyak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, bilamana bapak dalam kenyataannya tak dapat memenuhi kewajiabn tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepad bekas suami untuk memberikan biaya-biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Mengenai harta benda setelah putusnya perkawinan, Pasal 36 Undang-Undang perkawinan menentukan, bahwa;
1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan hak sepenuhnya kedua belah pihak.
2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
BAB VI
HUKUM HARTA KEKAYAAN DAN HUKUM BENDA
(VERMOGENSRECHT en ZAKENRECHT)
Oleh :
Hana Zahra
A. LAPANG KAJIAN HUKUM KEKAYAAN
Hukum harta kekayaan adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang bernilai uang atau peraturan-peraturan yang mengatur hubungan hukum antara orang dengan benda atau sesuatu yang dapat dinilai dengan uang.
Hukum harta kekayaan meliputi dua lapangan yaitu;
1. Hukum benda, yaitu peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak kebendaan yang bersifat mutlak arti nya hak terhadap benda yang oleh setiap orang wajib diakui dan di hormati.
2. Hukum perikatan ,yaitu peraturan-peraturan hukum yang mengatur perhubungan yang bersifat kehartaan antara dua orang atau lebih dimana pihak pertama berhak atas sesuatu prestasi (pemenuhan sesuatu) dan pihak yang lain wajib memenuhi sesuatu prestasi.
B. KONSEP DASAR HUKUM BENDA
1. Istilah dan definisi benda
Istilah benda merupakan terjemahan dari kata zaak (benda) dalam arti ilmu pengetahuan hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi objek hukum,yaitu sebagai lawan dari subjek hukum. Objek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum (manusia atau badan hukum).
Pengertian benda (zaak) secara yuridis menurut pasal 499 B.W. adalah sesuatu yang dapat dihaki atau menjadi objek hak milik. Oleh karena itu yang dimaksud dengan benda menurut undang-undang hanyalah segala sesuatu yang dapat dihaki atau yang dapat dimiliki orang.
Dalam hukum publik (hukum pajak) yang menjadi objek hukum adalah jumlah uang yang harus dipungut dan wajib dibayar oleh wajib pajak. Dan dalam hukum perdata yang dimaksud objek hukum adalah benda dengan ketentuan bahwa;
1. Memiliki nilai uang yang efektif
2. Merupakan satu kesatuan
3. Dan bisa dikuasia manuasia.
Subekti membagi pengertian benda menjadi 3 yaitu;
1. Benda dalam arti luas adalah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang
2. Benda dalam arti sempit adalah barang yang dapat terlihat saja
3. Dan benda adalah sebagai subjek hukum.
Dalam system hukum adat tidak dikenal pengertian’’benda yang tidak berwujud’’(onlichamelijkzaak) meskipun apa yang disebut BW dengan onlichamelijk zaak, bukan nya tidak ada sama sekali dengan hukum adat.pebedaan nya ialahbahwa dalam pandangan hukum adat hak atas suatu benda tidak dibayangkan terlepas dari benda yang berwujud, sedangkan dalam pandangan hukum pedata barat,hak atas sesuatu seolah-seolah terlepas dari benda nya,dan merupakan benda sendiri.
Cara berfikir orang-orang Indonesia asli cendrung dengan kenyataan belaka (concret denken) ,sedangkan cara berfikir orang-orang barat cendrung pada hal yang hanya berada dalam fikiran belaka..namun sebagian terbesar dari pasal-pasal buku 11 BW adalah mengatur mengenai benda dalam arti barang yang berwujud.
2. Klafikasi benda
Menurut system hukum perdata barat sebagaimana diatur dalam BW benda dapat dibeda-bedakan sebagai berikut :
1. Benda tak bergerak dan benda bergerak
2. Benda yang musnah dan benda yang tetap ada .
3. Benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat diganti
4. Benda yang dapat dibagi dan benda yang tidak dapat dibagi.
5. Benda yang diperdagangkan dan benda yang tidak dipedagangkan.
a. Benda tidak bergerak (onroerende goederen)
Benda tak bergerak adalah benda-benda yang karena sifat nya ,tujuan nya atau penetapan undang-undang dinyatakan sebagai benda tak bergerak. Benda tak bergerak diataur dalam pasal 506,507 dan 508 BW.
Ada tiga golongan benda tak bergerak ;
1. Benda yang menurut sifat nya .
2. Benda yang menurut tujuan pemakaian nya
3. Benda yang menurut penetapan undang-undang
b. Benda bergerak (roerende goederen)
Benda tak bergerak adalah benda-benda yang karena sifat nya ,tujuan nya atau penetapan undang-undang dinyatakan sebagai benda bergerak.benda bergerak daiatur dalam pasal 509,510 dan 511 BW.
Ada dua golongan benda bergerak;
1. Benda menurut sifat nya
2. Benda menurut penetapan undang-undang.
Perbedaan antara benda tak bergerak dan benda bergerak tersebut penting artinya ,karena adanya ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku bagi masing-masing golongan benda tersebut. Misalnya pengaturan mengenai hal-hal sebagai berikut ;
1) Mengenai hak (bezit);
Ada ketentuan dalam pasal 1997 ayat(1) BW yang menentukan , barang siapa yang menguasai benda bergerak dianggaplah ia sebagai pemilik nya . jadi bezitter dari benda bergerak adalah eigenaar dari benda bergerak itu.
2) Mengenai pembebanan (bezwaring)
Terhadap benda bergerak harus dipergunakan lembaga jaminan gadai (pland). Sedangkan terhadap benda tak bergerak harus dipergunakn lembaga jaminan hypotheek (pasal 1150 dan pasal 1162 BW.
3) Mengenai penyerahan (levering )
Pasal 612 BW menentukan bahwa penyerahan benda bergerak dapat dilakukan dengan penyerahan nyata .sedangkan penyerahan benda tak bergerak menurut pasal 616 BW harus dilakukan dengan balik nama pada daftar umum.
4) Mengenai daluarsa( verjaring )
Terhadap benda bergerak tidak dikenal kadaluarsa ,sebab bezit sama dengan eigendom
5) Mengenai penyitaan (beslag)
Revindicatior beslag adalah penyitaan untuk menuntut kembali suatu benda bergerak milik nya pemohon sendiri yang berada dalam kekuasaan orang lain dan tidak mungkin dilakukan terhadap benda tak bergerak.kemudian executoir beslag yaitu penyitaan yang dilakukan untuk melaksanakan putusan pengadilan, dan dilakukan terhadap benda-benda tak bergerak.
C. Benda yang musnah
Sebagaimna diketahui, bahwa objek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum dan yang dapat menjadi pokok (objek) suatu hubungan hukum karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh subjek hukum.
Kegunaan benda-benda itu justru terletak pada kemusnahan nya , missal nya;
- Makanan dan minuman kalau dimakan akan diminum (artinya musnah) baru member manfaat bagi kesehatan.
D. Benda yang tetap ada.
Benda yang tetap ada ialah benda-benda yang dalam pemakaian nya tidak mengakibatkan benda itu musnah ,tetapi memberi manfaat bagi pemakainya ,seprti cangkir, sendok ,piring,mobil motor,dan sebagainya.
Perbedaan antara benda yang musnah dan benda yang tetap ada juga penting baik dalam hukum perjanjian maupun hukum benda . dalam ‘hukum perjanjian’ misalnya perjanjian pinjam pakai yang diatur pada pasal 1740 sampai 1769 BW dilakukan terhadap benda yang musnah.
Dalam hukum benda missal nya ;
- Hak memetik sesuatu benda yang diatur pada pasal 756 sampai dengan 871 BW dapat dilakukan terhadap benda yang musnah dan benda yang tetap ada, sedangkan
- Hak memakai yang diatur pada pasal 818 sampai dengan 829 BW hanya dapat dilakukan terhadap benda yang tetap ada.
Dan pasal 822 BW menyatakan bahwa apabila hak memakai diadakan terhadap benda yang dapat musnah maka ia harus dianggap sebagai hak memetik hasil.
E. Benda yang dapat diganti dan benda yang tak dapat diganti.
Perbedaan antara benda yangdapat diganti dan benda yang tak dapat diganti ini tidak disebut secara tegas dalam BW akan tetapi perbedaan itu ada dalam pengaturan perjanjian, misalnya dalam pasal yang mengatur perjanjian penitipan barang.
Menurut pasal 1694 BW pengambilan barang oleh penerima titipan harus in natura artinya tidak boleh digantidengan orang lain.
1. Benda yang dapat dibagi; adalah benda yang apabila wujud nya dibagi tidak mengakibatkan hilang nya hakikat dari pada benda itu sendiri misalnya; beras,gula pasir, tepung dan lain-lain.
2. Benda yang tak dapat dibagi ;adalah benda yang apabila wujud nya dibagi mengakibatkan hilang nya atau lenyapnya dari hakikat itu sendiri. Miasalnya; kuda, sapi, uang , dan segala macam binatang.
F. Benda yang diperdagangkan .
Bemda yang diperdagangkan ialah benda-benda yang dapat dijadikan objek (pokok) suatu perjanjian .semua benda yang dapat dijadikan pokok perjanjian dilapangan harta kekayaan temasuk benda yang diperdagangkan.
G. Benda yang tak dipedagangkan
Benda yang tak diprdagangkan ialah benda-benda yang tidak dapat dijadikan objek (pokok) suatu perjanjian dilapangan harta kekayaan.biasanya benda-benda yang dipergunakan untuk kepentingan umum.
C. HAK KEBENDAAN
1. Pengertian hak kebendaan .
Setiap manusia dapat memiliki atau menguasai dari pada benda-benda untuk kepentingan nya. Menuru buku 11 BW (Pasal 499-1232) Tentang benda (van zaken) meletakan dasar peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara seseorang atau badan hukum dengan benda .hubungan hukum dengan orang menimbulkan hak kebendaan (zakelijkreht) yaitu hak yang memberikan kekuasaan langsung kepada seseorang yang berhak menguasai Sesutu benda dalam tangan siapapun juga benda itu berada. Hubungan ini menimbilkan hak kebenaan yang bersifat mutlak (abolut) . Sedangkan buku 111 KUH perada( pasal 1233-1864) tentang perikatan (van vabertenissen) meletakan dasar peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara seseorang dengan seseorang (badan hukum) hubungan ini menimbulakan hak perseorangan yang bersifat relative (nisbi)
Hukum romawi membedakan gugatan menjadi dua yaitu ; actions in rem yang dapat diajukan setiap orang dan actions in personan yang hanya dapat diajukan terhadap orang-orang tertentu saja.
Dalam hukum perdata dan perundang undangan membagi hak keperdataan tersebut dalam dua hal yaitu hak mutlak dan hak nisbi .
a. Hak mutlak (absolut)
Adalah sesuatu hak yang berlaku dan harus dihormati oleh setiap orang .yang termasuk hak mutlak antara lain;
Ø Hak keperibadian
Ø Hak-hak yang terletak dalam hukum keluaraga
Ø Hak mutlak atas sesuatu benda atau hak kebendaan (zakelijikrecht)
b. Hak nisbi (relatif) atau hak perseorangan (personlijk)
Yaitu hak yang hanya dipertahankan terhadap orang tertentu saja (hak sesuatu tuntutan /penagihan terhadap seseorang) hak ini timbul karena adanya hubungan perutangan sedangkan peritangan timbul dari perjanjian undang-undang dan sebagainya..
2. Pembagian Hak kebendaan
Didalam buku 11 KUH perdata diatur macam-macam hak kebendaan akan tetapi harus diingat dengan berlakunya UU NO 5 tahun 1960 tentang pokok-pokok agragia ditentukan bahwa semua hak yang bertalian dengan bumi,air,dan segala kekayaan alam yang ada didalam nya kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotek , dicabut berlakunya dari buku 11 KUH perdata hak-hak tersebut meliputi hak eigendom, hak postal, hak erpah dan lain nya .adapun hak atas beberapa tanah yang diatur dalam UUPA anatara lain ;
• HAK MILIK, HAK GUNA USAHA yaitu hak untuk mengesahkan tanah yang dikuasai oleh Negara.
• HAK GUNA BANGUNAN yaitu hak untuk mendirikan bangunan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan milik sendiri dalam batas waktu tertentu yaitu maksimal 30 tahun.
• HAK PAKAI yaitu hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai tanah orang lain.
• HAK SEWA yaitu hak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dan membayar kepada pemiliknya sejumblah uang sebagai sewa.
Pada dasarnya hak kebendaan dapat dibagi menjadi dua yaitu;
a) Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan (zakelijikgenotsrecht) ; yaitu hak dari subjek hukum untuk menikmati suatu benda secara penuh. Hak kebendaan ini dibagi menjadi dua ;
- Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan atas bendanya sendiri misalnya ; hak milik atas tanah – yang kesemuanya diatur dalam UUPA.
- Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan atas benda milik orang lain misalnya; Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Sewa, Hak Memungut Hasil, dan Pengelolaan Atas Tanah yang ke semuanya diatur oleh UUPA.
b) Hak kebendaan yang memberikan jaminan (zakelijk zakerheidsrecht) yaitu hak yang memberi kepada yang berhak(kreditor) hak yang didahulukan untuk mengambil pelunasan dari hasil penjualan barang yang di bebani ; misalnya, hak tangungan atas tanah dan hak fidicia ;sedangkan menurut KUHPer . misalnya hak gadai sebagai jaminan ialah benda bergerak , hipotek sebagai jaminan ialah benda-benda tetap dan sebagainya.
Hak mutlak tehadap benda dalam lapangan perdataan , meliputi\;
• Terhadap benda-benda berwujud
• Terhadap benda-benda yang tak berwujud
3. Privelegie dan Retentie
Privelegie dan Retentie pada dasar nya bukan merupakan hak kebendaan , tetapi memiliki kesejajaran dengan hak kebendaan yang lain ,karena hak-hak tersebut sedikit bnyak jga bersifat member jamnan dan mengandung ciri hak kebendaan.
A) Privelegie
Menurut pasal 1131 KUHPer , bahwa semua benda dari seseorang menjadi tanggungan untuk semua hutang-hutang nya. Menurut pasal 1132 pendapatan penjualan benda-benda harus dibagi diantara penagih menurut perimbangan jumblah masing-masing ,kecuali diantara mereka itu ada sementara yang oleh UU telah diberikan hak untuk mengambil pelunasan lebih dahulu diantara penagih-penagih yang lain.pasal 1133 mereka ini ialah penagih-penagih yang mempunyai hak yang timbul dari ‘Privelege’ , pand atau hypotheek .
Selanjut nya mengenai Privelege menurut Sri Soedewi bahwa dalam privilege ada matigingsrecht dari pada hakim . ada nya kewenangan dari pada hakim untuk menentukan jumblah yang sepatutnya.agar menjaga kedua belah pihak tidak bertindak semaunya sendiri untuk mencari keuntungan.
B) Retentie
Hak untuk menahan sesuatu benda ,sampai sesuatu piutang yang bertalian dengan benda itu dilunasi . hak retentive memiliki kemiripan dengan gadai yaitu; memberikan jaminan dan bersifat accesor. Jadi ada tidak nya itu tergantung ada nya utang piutang pokok dan ada pertaliannya dengan benda yang di tahan.
Hak retentive memiliki sifat-sifat,antara lain:
1) Tidak dapat dibagi-bagi ; jika sebagian saja dari hutang itu yang dibayar berati harus mengembalikan sebagian dari bahan yang ditahan.’
2) Tidak membawa serta hak boleh memakai barang yang ditahan itu hanya boleh menahan saja, tidak bolaeh memakai.
Menurut UU hak retentive ini terdapat dalm lalu lintas hukum yang melekat pada penyewa, pandhouder,bezitter,te geode trouw,lasthebber, buruh dan lain-lain.
4. Ciri dan Sifat Hak Kebendaan
Pada dasar nya hak kebendaan memiliki cirri-ciri ;
a. merupakn hak yang mutlak
b. mempunyai zaaksgevolg atau droit de suit (hak yang mengikuti)
c. yang lebih dahulu terjadi
d. droit de preference
e. pemindahan nya secara sepenuhnya dilakukan
f. gugatan kebendaan (zakelijke actie)
Hak kebendaan memiliki sifat-sifat ;
a. Absolute (mutlak) dapat dipertahankan atau dilindungi terhadap setiap gangguan dari pihak ketiga , misalnya hak mrnyewa mendapat perlindungan berdasarkan pasal 1365 KUHPer
b. Droit de suit mengukuti bendanya dmanapun benda itu berada
c. Sifat prioritas hak yang lebih dahulu terjadinya dimenagkan dengan hak yang terjadi kemudaian.
D. ASAS-ASAS UMUM HUKUM BENDA
1. Merupakan hukum memaksa
Atas suatu benda hanya dapat diadakan hak kebendaan, hak kebendaan tersebut tidak akan memberikan wewenag yang lain dari pada yang sudah ditentukan dalam UU. Dengan kata lain bahwa kehendak para pihak tidak dapat mempengaruhi isi kebendaan .hukum benda merupakan dwingendrecht (hukum memaksa) bahwa berlakunya aturan-aturan tidak dapat disimpangi oleh para pihak.
2. Tidak dapat dipindahkan
Kecuali hak pakai dan hak mendiami semua kebendaan dapat dipindah tangankan. Yang berhak tidak dapat menentukan bahwa ; tidak dapat dipindah-tangankan.
3. Individualiteit
Objek dari hak kebendaan selalu adalah barang yang individuell bepaald ,yaitu suatu barang yang dapat ditentukan .artinya orang yang hanya dapat sebagai pemilik dari berbagai barang yang merupakan kesatuan , misalnya ; rumah, meubel,dan hewan.
4. Totalitetit
Hak kebendaan selalu meletak atas keseluruhan objeknya ( pasal 500,588,606 KUHPer)siapa yang mempunyai zakelijkrecht atas suatu zaak yang mempunyai zakelijkrecht itu atas keseluruhan zaak itu ,jadi juga atas bagian-bagiannya yang tidak sendiri.
Konsekwensi tersebut , dalam beberapa hal diperlunak , antara lain ;
a. Adanya milik bersama atas barabg yang baru (pasal 607 KUHPer)
b. Lenyapnya zaak itu karena usaha pemilik zaak itu sendiri yaitu terleburnya zaak tadi dalam zaak lain secara kwade trouw (pasal 606 ,608 KHUPer)
c. Pada waktu terleburnya zaak sudah ada perhubungan hukum antara kedua eigenaar yang bersangkutan (pasal 714 io pasal 1567 KUPer)
5. Tak dapat dipisahkan (onsplitsbaarheid)
Yang berhak tidak dapat memindah tangankan daripada wewenang yang termasuk sesuatu hak kebendaan yang ada padanya misalnya pemilik. Pemisahan daripada zakelijkrecht itu tidak diperkenankan . tetapi pemilik dapat membebani hak miliknya dengan iura in realina .
6. Prioriteit
Hak yang lebih terdahulu terjadi dimenagkan dengan hak yang terjadi kemudian asas prioriteit bersifat tidak tegas , tetapi akibat dari asas ini bahwa seseorang itu hanya dapat memberikan hak yang tidak melebihi apa yang dipunyai (asas nomoplus)
7. Percampuran (vermingin)
Hak kebendaan yang terbatas – jadi selain nya hak milik hanya mungkin atas benda orang lain. Jika hak yang membebani dan yang dibebani itu terkumpul dalam satu tangan ,maka hak yang membebani itu menjadi lenyap (pasal 706,718,736,724,dan 807 KUHPer). Jadi jika orang yang mempunyai hak memungut hasil atas tanah kemudian orang yang membeli tanah itu maka hak memungut hasil itu menjadi lenyap.
8. Perlakuan yang berbeda atas jenis benda yang berbeda
Perlakuan atas benda bergerak dan benda tak bergerak itu berlainan .aturan-aturan mengenai pemindahan pembebanan (bezwaring) bezit dan verjaring mengenai benda-benda roerend dan onroerend berlainan. Juga mengenai iura in realiena yang dapat diadakan .
9. Publiciteit
Mengenai benda-benda yang tidak bergerak mengenai penyerahan dan pembebanan nya berlaku asas publiciteit yaitu dengan pendaftaran didalm register umum mengenai benda-benda yang bergerak cukup dengan penyerahan nyata, tanpa pendaftaran register umum.
10. Sifat perjanjian
Orang mengadakan hak kebendaan itu , misalnya mengadakan hak memungut hasil, gadai, hipotek dan lainnya itu semuanya mengadakan perjanjian.
E. HAK-HAK KEBENDAAN MENURUT BUKU II PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1960 TENTANG POKOK-POKOK AGRARIA
1. HAK MILIK
Hak milik atas benda selain tanah diatur dalam buku II KUHPer . pasal 570-624 dan buku III NBW ,sedangkan hak milik yang berkaitan dengan tanah diatur dalam UU NO 5 tahun 1960 pasal 20-27.
a. Hak milik atas benda selain tanah
Bedasarkan pasal 570 KUHPer menyatakan; hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan kebendaan dengan leluasa , dan untuk membuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya ,asal tidak bertentangan dengan undang-undang ,ketertiban umum dan tidak menggangu hak orang lain .
Menurut Sri Soedewi, pengertian dapat menguasai benda itu sebebas-bebasnya memiliki dua arti. Pertama, dalam arti dapat memperlainkan (vervrem den ) , membebani, menyewakan dan lainnya . kedua, dalam arti dapat memetik buah nya memakinya ,merusaknya, memelihara dan lain-lai,. Suatu hak memiliki cirri-ciri antara lain ;
1. Merupakan hak pokok terhadap hak-hak kebendaan lain yang bersifat teebatas .
2. Merupakan hak yang paling sempura
3. Bersifat tetap
4. Merupakan inti dari hak-hak kebendaan yang lain .
5. Memiliki sifat elastis
Suatu hak milik dapat diperoleh melalui beberapa cara ;
• Pendakuan ( toeeigening)
• Perlekatan (natrekking)
• Daluarsa (verjaring)
• Perwarisan
• Penyerahan (lavering)
Hak milik dapat dihapus karena ;
• Orang lain memperoleh hak milik dengan salah satu cara memperoleh hak milik
• Musnah nya benda
• Pemilik melepaskan benda tersebut
• Benda atan binatang memjadi liar.
b. Hak milik atas tanah.
Menurut pasal 20 UU NO 5 tahun 1980 berbunyi’’ hak milik adalah hak turun termurun terkuat dan tepenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah , denagan mengingat ketentuan yang tervantum dalm pasal 6 UUPA ‘
Dari ketentuan-ketentuan tersebut , dapat disimpulakn bahwa penggunaan hak milik harus memperhatikan 4 hal sebagai berikut;
1. Ketentuan hukum yang berlaku, sepertui UU gangguan UUPA, UU Pencabutan hak atas tanah.
2. Ketertiban umum
3. Hak-hak orang lain ,seperti hak jasa perkarangan , hak guna usaha dan lain-lain
4. Fungsi sosoial.
Sifat accssi ini tidak berlaku dalam hukum adat. Dalm hukum adat terkenal asas ‘horizontale scheiding’ atau pemisahan horizontal antara tanah dan bangunan-bangunan atau tanaman-tanaman diatas tanah itu . jadi pengertiannya dalam hukum adat tanah yuridis harus dipandang terlepas dari bangunan-bangunan atau tanaman-tanaman diatasnya.
2. Hak guna usaha
Ketentuan tentang hak guna usaha diatur dalam pasal 28- pasal 34 undang-undang pokok agraria (UUPA) hak guna usaha dapat dihapus karena ;
1. Jangka waktunya berakhir
2. Dihentikan sebelum ljangka waktunya berakhir
3. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir
4. Dicabut untuk kepentingan umum
5. Ditelantarkan
6. Tanah yang musnah
7. Pemegang hak tidak memenuhi syarat lagi/
3. Hak guna bangunan
tentang hak guna bangunan diatur dalam pasal 35-40 undang-undang pokok agraria (UUPA) .
hak guna bangunan ialah untuk mendirikan bangunan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan milik sendiri dalm batas waktu paling lama 30 tahun dandapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.
Hak guna bangunan terjadi ;
1. Mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara , karena penetapan pemerintah. 2. Mengenai tanah hak milik karena perjanjian antara pihak yang terbentuk secara otentik .
Yang dapat mempunyai hak guna bangunan antara lain ;
1. warga Negara Indonesia
2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan diindonesia.
Hak guna bangunan dapat dihapus karena
1. Jangka waktunya berakhir
2. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir
3. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir
4 Dicabut untuk kepentingan umum
5 Ditelantarkan
6 Tanah yang musnah
7.Pemegang hak tidak memenuhi syarat lagi
4. Hak pakai.
a. Pengertian
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain. Yang member wewenang dan kewajiban yang ditentukan \dalam pemberian nya. Segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang.
Menurut pasal 26 RUU tentang sumber daya agraria hak pakai atas tanah meliputi antara lain ;
1. Hak pakai atas tanah Negara dengan jangka waktu tertentu yaitu diberikan dalam jangka waktu 50 tahun
2. Hak pakai atas tanah hak milik yang diberikan dalam jangka waktu sesuai perjanjian ,selama-lamanya 50 tahun…..
3. Hak pakai atas tanah Negara dalam jangka waktu selama tanah nya dipergunakan
4. Hak pakai khusus dengan jangka waktu selama tanahnya dipergunakn .
Untuk memperoleh hak pakai diatur didalam bagian ketiga point 42,43,44 PP NO 40 tahun 1996 io pasal 27 RUU tentang sumber daya agraria .karena ketentuan undang-undang ,penetapan, dan perjanjian.
Bagi pemegang hak pakai memiliki beberapa hak dan kewajiban yaitu;
1. Membayar uang pemasukan yang jumblah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian hak nya
2. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukan dan persyaratan nya yang ditetapkan nya dalam keputusan pemberiannya.
3. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta menjag akelestarian hidup
4. Memberikan kembali tanah yang diberikan dengan hak pakai kepada Negara .
5. Menyerahkan sertifikat hak pakai yang telah dihapus kepala kantor pertahanan.
Hak pakai atas tanah memiliki sifat sementara sehingga dapat dihapus dalam jangka waktu yang telah ditentukan .menurut pasal 30 RUU tentang sumber daya agraria menyebutkan bahwa hak pakai dapat terhapus . karena beberapa hal antara lain;
1. Jangka waktunya berakhir.
2. Dicabut haknya atau haknya dibatalkan karena salah satu kewajiban sebagai pemegang hak tidak dipenuhi.
3. Pemegang hak melepaskan haknya tidak diketahui lagi keberadannya yang diperkuat dengan penetapan pengadilan
4. Tanahnya ditelantarkan.
b. Hak pakai atas tanah Negara
Hak pakai atas tanah nagara biasanya diberikan dengan jangka waktu yang bervariasi antara lain;
• Hak pakai khusus dengan jangka waktu selama tanahnya dipergunakn .hak pakai khusus ini dapat dipunyai oleh ;instansi pemerintah pusat ataupun daerah ,BUMN, BUMD dan badan-badan khusus yang ditunjuk oleh pemerintah.
• Hak pakai atas tanah Negara dengan jangka waktu tertentu yaitu diberikan dalam jangka waktu 50 tahun
• Hak pakai atas tanah Negara dengan jangka waktu selama tanah nya dipergunakan yaitu penggunanya bagi keperluan public yang bersifat nasional dan internasional.
Dalam praktek hak pakai itu diberikan sebagai ‘hak sementara’ hak sementara dalam arti diberikan sebagai persiapan untuk memperoleh hak guna bangunan atau hak milik. atau sifat sementara itu karena tanah yang dimiliki itu direncanakan dipakai hanya untuk sementara.
c. Hak pakai atas tanah milik
Hak pakai atas tanah milik terjadi berdasarkan perjanjian antara pemilik dan yang diberi hak pakai. Hak pakai ini tidak wajib didaftar di KPT ,dan karena itu tentu saja tidak ada sertifikat nya. Dalam praktek hak pakai atas tanah hak milik jarang terjadi. Yang banyak terjadi adalah sewa menyewa tanah.
5 Hak sewa
Hak sewa tanah menurut UUPA adalah hak untuk maksud mendirikan bangunan ,jadi tidak untuk pertanian ,pertenakan, dan perikanan. Untuk maksud terakhir yang dipergunakan adalah perjajian bagi hasil.karenamenurut effendi perangin’ sebutan hak sewa atas tanah Negara secara yuridis adalah tidak benar. Jangka waktu sewa ditentukan dalam UUPA sehingga para pemilik pihak (pemilik dan penyewa) bebas untuk menentukan jangka waktu persewaan.
6 Hak pengelolaan
munculnya konsepsi hak pengeolaan bersumber dari pasal 2 ayat 4 UUPA yang kewenangan nya dipegang oleh Negara . Menurut AP perlindungan bahwa hak pengelolaan adalah suatu hak atas tanah yang sama sekali tidak ada istilah dalam UUPA .Rumusan hak pengelolaan tercantum dalam peraturan menteri Negara agraria /kepala BPN no . 9 tahun pasal 1999 ayat 3 yang menyatakan ‘’ bahwa hak pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara kewenagan pelaksanaan nya sebagian dilimpahkan kepada pemegamgnya.
Negara memberikan hak pengelolaan yang didalam nya termasuk memberikan kewenangan untuk;
1. merencanakan penggunaan tanah tersebut
2. menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya
3. menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan hak atas tanah lainnya
4. menerima uang kompensasi sebagai realisasi dari penggunaan kepada pihak ketiga.
Sesuai dengan peraturan Menteri Negara agraria/ kepala BPN No 9 tahun 1999 dikenal dua cara pemberian hak atas tanah yaitu;
1. pemberian hak atas tanah secara individu
2. pemberian hak atas tanah secara kolektif
Pada prisipnya mutatis-mutandis dengan permohonanpemberian hak atas tanah hanya berkaitan dengan alas hak adalah perjanjian tertulis antara pemegang hak pengelolaan dengan pihak ketiga yang isinya memuat ;
1. identitas pihak-pihak yang bersangkutan
2. letak, batas dan luas tanah yang bersangkutan
3. jenis penggunaan
4. hak atas tanah yang diminta dan jangka waktunya
5. jenis bangunan yang akan didirikan dan ketentuan kepemilikannya setelah jangka waktu hak berakhir
6. syarat lain yang dipandang perlu.
Selain hak-hak diatas dalam UU no 5 tahun 1960 dikenal pula hak membuka tanah dan hak memungut hasil .di samping pula hak milik atas satuan rumah susun dan ulayat dalamhukum adat ,yang kesemuanya merupakan satu kesatuan dalam kerangka hukum perdata di Indonesia.
BAB IV
HUKUM KELUARGA
Oleh Raden Roro Poppy Labonita
E. KONSEP DASAR
3. Istilah Dan Definisi Hukum Keluarga
Istilah hukum keluarga berasal dari terjemahan Familierecht (Belanda) atau law of familie (Inggris). Dalam definisi ini setidaknya memuat dua hal penting yaitu, kaidah hukum dan subtansi (ruang lingkup) hukum. Kaidah hukum meliputi hukum keluarga tertulis dan hukum keluarga tidak tertulis. Hukum keluarga tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang bersumber dari Undang-undang, traktat, dan yurisprudensi. Hukum keluarga yang tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum keluarga yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum keluarga pada dasarnya merupakan keseluruhan kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan hukum yang timbul dari kaitan keluarga yang meliputi:
(7) Peraturan perkawinandengan segala hal yang lahir dari perkawinan;
(8) Peraturan perceraian;
(9) Peraturan kekuasaan orang tua;
(10) Peraturan kedudukan anak;
(11) Peraturan pengampunan; dan
(12) Peraturan perwalian.
4. Sumber dan Asas Hukum Keluarga
Pada dasarnya hukum keluarga itu dibagi 2 dapat dibedakan 2 macam, yaitu sumber hukum keluarga tertulis dan sumber huku tidak tertulis. Sumber hukum keluarga tidak tertulis merupakan norma-norma hukum yang tumbuh dan berkembang serta ditaati oleh sebagian besar masyarakat atau suku bangsa yang hidup di wilayah Indonesia. Sedangkan sumber huku keluarga yang tertulis berasal dari berbagai peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan perjanjian (traktat).
Sumber hukum keluarga tertulis yang menjadi rujukan di Indonesia meliputi: (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW); (2) Peraturan Perkawinan Campuran, (3) Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen Jawa, Minahasa, dan Ambon; (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (beragama Islam); (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; (6) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; (7) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil; dan (8) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Komplikasi Hukum Islam di Indonesia yang berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam.
F. KEKUASAAN ORANG TUA
4. Hak dan Kewajiban antara Suami Istri
Hak dan Kewajiban yang harus dipikul oleh suam istri dapat dibedakan menjadi dua hal, yaitu:
(3) Sebagai akibat yang timbul dari hubungan suami istri
(4) Sebagai akibat yang timbul dari kekuasaan suami
5. Hak dan kewajiban Suami Istri terhadap Anak-anaknya
Dalam Bab XIV KUH Perdata pada dasarnya dibagi dalam tiga bagian, yaitu:
d. Kekuasaan Orang Tua Terhadap Pribadi Anak
3) Asas Kekuasaan Orang Tua terhadap Pribadi Anak
Menurut Pasal 299 BW menyantakan bahwa kekuasaan orang tua pada hakikatnya adalah kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu selama mereka itu terikat dalam perkawinan terhadap anak-anaknya yang belum dewasa. Dari ketentuan pasal 299 tersebut dapat disimpulkan tiga asas kekuasaan orang tua:
4) Kekuasaan orang tua berada pada kedua orang tua dan tidak hanya pada ayah saja;
5) Kekuasaan orang tua hanya ada sepanjang perkawinan masih berlangsung dan jika perkawinan itu bubar, maka kekuasaan orang tua itu pun berakhir;
6) Kekuasaan orang tua hanya ada sepanjang orang tua menjalankan kewajiban terhadap anak-anaknya dengan baik
4) Akibat Kekuasaan Orang Tua Terhadap Pribadi Anak
Menurut pasal 298 ayat 1 KUHPerdata jo 46 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974, bahwa setiap anak wajib hormat dan patuh kepada orang tua. Menurut Soetejo Prawirohamidjojo dan Marthena Pohan, ketentuan ini lebih merupakan norma kesusilaan daripada norma hukum. Meskipun demikian, pelanggaran terhadap ketentuan yang dilakukan oleh anak yang masih minderjaring dapat memberikan alasan bagi ayah atau ibu yang menjalankan kekuasaan orang tua untuk mengambil tindakan-tindakan koreksi terhadap si anak.
Sebaliknya orang tua wajib memelihara dan memberikan bimbingan anak-anaknya yang belum cukup umur sesuai dengan kemampuannya masing-masing (pasal 45 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974). Kewajiban ini merupakan dasar dari kekuasaan orang tua, dan bukan sebgai akibat dari kekuasaan orang tua. Kewajiban tersebut disebabkan oleh adanya hubungan antara orang tua dengan anak yang tercipta karena keturunan.
e. Kekuasaan Orang Tua terhadap Harta Kekayaan Anak
Kekuasaan terhadap harta kekayaan anak diatur dalam Pasal 307-318 BW. Sedangkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 diatur dalam Pasal 48.
Kekuasaan orang terhadap harta kekayaan anak meliputi:
(4) Mengurus harta kekayaan sianak;
(5) Bertanggung jawab atas harta kekayaan dan hasilnya, apabila diperbolehkan;
(6) Tidak memindahkan tangankan harta kekayaan si anak tanpa ijin si anak atau pengadilan.
f. Hubungan Orang Tua dengan Anak
Bentuk hubungan timbal balik dari kewajiban ayah dan ibu yang memengang kekuasaan orang tua, maka bagi anak yang telah dewasa wajib memelihara orang tuanya dan keluarganya menurut garis lurus keatas dalam keadaan tidak mampu.
6. Hubungan Hukum Bagi Pihak Ketiga
Sebuah ikatan perkawinan penting artinya bagi keturunan dan hubungan kekeluargaan; sedangkan bagi pihak ketiga terutama penting untuk mengetahui kedudukan harta perkawinan dan kedudukan anak.
Adapun mengenai kedudukan anak yang berkaitan dengan pihak ketiga sangatlah penting, karena untuk mengetahui asal usul seorang anak sebagai ahli waris orang tuanya. Seorang anak waris yang harus mempunyai hubungan hukum dengan pewaris agar ia berhak sebagai waris yang sah.
G. PERWALIAN
3. Konsep Dasar Perwalian
Pada dasarnya setiap orang mempunyai ‘kekuasaan berhak’ karena ia merupakan subyek hukum. Tetapi tidak setiap orang cakap melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Secara umum, orang-orang yang disebut meerderjarigheid dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum secara sah, kecuali jika Undang-Undang tidak menentukan demikian. Misalnya, seorang pria yang telah genap mencapai umur 18 Tahun sudah dianggap cakap untuk melangsungkan perkawinan.
4. Asas Perwalian
Ketentuan tentang perwalian diatur dalam KUHPerdata Pasal 331-344 dan Pasal 50-54 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Perwalian adalah pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa jika anak itu tidak berada ditangan kekuasaan orang tua. Jadi bagi anak yang orang tuanya telah bercerai atau jika salah satu dari mereka atau semua telah meninggal dunia, berada dibawah perwalian.
e. Asas Tak Dapat Dibagi-bagi
Pada setiap perwalian hanya ada satu orang wali saja, hal ini yang dikenal dengan istilah asas tak dapat dibagi-bagi. Asas ini memiliki perkecualian dalam dua hal, yaitu (1) jika perwalian dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup terlama jika ia kawin lagi, suaminya menjadi wali peserta; dan (2) jika dirasa perlu, dilakukan penunjukan seorang pelaksana pengurusan yang mengurus harta kekayaan minderjarige diluar Indonesia berdasarkan pasal 361 BW.
f. Asas Kesepakatan dari Keluarganya
Menurut pasal 359 B.W menentukan bahwa pengadilan dapat menunjuk seorang wali bagi semua minderjarige yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua. Hakim akan mengangkat seorang wali setelah mendengar pendapat atau memanggil keluarga sedarah atau semenda atau periparan.
Ketentuan ini memiliki makna, bahwa keluarga harus diminta kesepakatannya mengenai perwalian. Jika keluarga tidak ada, maka tidak diperlukan kesepakatan. Apabila sesudah ada pemanggilan pihak keluarga tidak datang menghadap, maka dapat dituntut berdasarkan ketentuan pasal 524 KUHPer.
g. Orang-orang yang Dipanggil menjadi Wali
Perwalian menurut Hukum Perdata terdiri dari tiga macam, yaitu:
(4) Perwalian menurut Undang-Undang, yaitu: perwalian dari orang tua yang masih hidup setelah salah seorang meninggal dunia lebih dahulu.
(5) Perwalian karena wasiat orang tua sebelum ia meninggal, yaitu: perwalian yang ditunjuk dengan surat wasiat oleh salah seorang dari orang tuanya.
(6) Perwalian yang ditentukan oleh hakim.
(7)
h. Berakhirnya Perwalian
Berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:
3) Dalam hubungan dengan keadaan anak
Dalam hubungan ini, perwalian akan berakhir karena: (1) si anak yang dibawah perwalian telah dewasa; (2) si anak meninggal dunia; (3) timbulnya kembali kekuasaan orang tuanya; dan (4) pengesahan seorang anak luar kawin.
4) Dalam hubungan dengan tugas wali
Berkaitan dengan tugas wali, maka perwalian akan berakhir karena; (1) wali meninggal dunia; (2) dibebaskan atau dipecat dari perwalian; dan (3) ada alasan pembebasan dan pemecatan dari perwalian.
Pada setiap akhir perwaliannya,seorang wali wajib mengadakan perhitungan penutup. Perhitungan ini dilakukan dalam hal; (1) perwalian yang sama sekali dihentikan, yaitu kepada ahli warisnya; (2) perwalian dihentikan karena diri wali, yaitu kepada penggantinya; dan (3) ahli waris yang sudah berada dibawah perwalian , kembali lagi berada dibawah kekuasaan orang tua yaitu kepada bapak atu ibu itu.
H. PENGAMPUAN
4. Konsep Dasar Pengampunan
Istilah pengampunan berasal dari Bahasa Belanda curatele, yang dalam Bahasa Inggris disebut custody atau interdiction (Perancis). Pengampunan pada hakikatnya merupakan bentuk khusus dari pada perwalian, yaitu diperuntukan bagi orang dewasa tetapi berhubung dengan suatu hal ia tidak dapat bertindak dengan leluasa.
Dapat disimpulkan bahwa persamaan antara kekuasaan orangtua, perwalian dan pengampun adalah kesemuanya mengawasi dan menyelenggarakan hubungn hukum orang-orang yang dinyatakan tidak cakap bertindak.
5. Alasan Pengampunan
Undang-undang menyebutkan tiga alasan untuk pengampunan, yaitu karena: (1) keborosan; (2) Lemah akal budinya misalnya, imbicil atau; dan (3) Kekurangan daya berpikir, misalnya sakit ingatan, dungu, dan dungu disertai sering mengamuk. Orang yan telah dewasa tetapi sakit ingatan, pemboros, lemah daya atau tidak sanggup mengurus kepentingannya sendiri dengan semestinya, disebabkan kelakuan buruk diluar batas atau mengganggu keamanan, memerlukan pengampunan. Oleh sebab itu diperlukan adanya pengampun (curator).
Sesuai dengan pasal 436 B.W., menetapkan bahwa yang berwenang menetapkan pengampunan, ialah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman orang yang berada hukumnya meliputi tempat kediaman orang ynag berada didaerah pengampunan.
Penetapan dibawah pengampunan dapat dimintakan suami atau istri, keluarga sedarah, kejaksaan, dan dalam lemah daya hanya boleh atas permintaan yang berkepentingan saja. Orang yang di bawah pengampunan disebut curandus; dan akibatnya ia dinyatakan tidak cakap bertindak
6. Jabatan Pengampu dan Berakhirnya Pengampunan
Seorang currandus yang mempunyai istri atau suami, maka istri atau suaminyalah yang diangkat sebagai curator, kecuali ada alasan-alasan penting yang menyebabkan bahwa seyogyanya orang lainlah yang diangkat sebagai cirator. Pengampunan berakhir apabila alasan-alasan itu sudah tidak ada lagi. Tentang hubungan hukum antara kuradus dan kurator, tentang syarat-syarat timbul dan hilangnya pengampunan dan sebagainya itu diatur dalam peraturan tentang pengampunan (curtele), antara lain:
(3) Secara absolut; crandus meninggal atau adanya putusan pengadilan yang menyatakan sebab-sebab dan alasan-alasan dibawah pengampunan yang telah dihapus.
(4) Secara relatif ; curator meninggal, curator dipecat, atau suami diangkat sebagai curator yang dahulunya berstatus sebagai curandus.
Dengan berakhirnya pengampunan, yang berarti berakhirnya tugas dan kewajiban curator, hal ini membawa serta berakhirnya tugas curator sebagai pengampu pengawas.
Menurut ketentuan pasal 141 B.W bahwa berakhirnya pengampunan harus diumumkan sesuai dengan formalitas-formalitas yang harus dipenuhi seperti pada waktu permulaan pengampunan. Di samping itu bahwa ketentuan-ketentuan berakhirnya perwalian seluruhnya amutatis mutandis berlaku pula berakhirnya pengampunan.
BAB VIII
HUKUM PERIKATAN DAN HUKUM PERJANJIAN
( VERBINTENISSENRECHT )
Oleh :
M a h j i
A. KONSEP DASAR PERIKATAN
1. Istilah Perikatan
Istilah ‘perikatan’ berasal dari bahasa Belanda ‘Verbintenis’. Subekti dan Tjiptosudibio, menggunakan istilah perikatan untuk Verbintenis dan persetujuan untuk overeenkomst.. Utrecht, dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Indonesia memakai istilah Perutangan untuk Vebertenis dan perjanjian untuk Overeekomst. Sedangkan Achmad Ichsan, menterjemahkan verbintenis dengan perjanjian dan overeenkomst untuk persetujuan.
Dengan demikian, verbintenis ini dikenal memiliki tiga istilah di Indonesia yaitu (1) Perikatan; (2)Perutangan; dan (3) Perjanjian. Sedangkan untuk overeenkomst dipakai untuk dua istilah yaitu perjanjian dan persetujuan.
Secara terminologi, verbintenis berasal dari kata kerja verbinden yang artinya mengikat. Dengan demikian verbintenis menunjuk kepada adanya ’ikatan’ atau ’hubungan’.
2. Definisi Perikatan
Hukum perikatan diatur dalam Bab III KUH Perdata. Namun demikian dalam Bab III KUH Perdata tersebut tidak ada satu pasalpun yang merumuskan makna tentang perikatan. Menurut Subekti, perkataan ‘perikatan’ dalam buku III KUH Perdata mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan ‘perjanjian’,sebab dalam buku III itu diatur juga perihal hubungan hokum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hokum ( onrechtamatige daad ) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan ( zaakwaarneming ). Tetapi sebagian besar dari buku III ditujukan pada perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian.
Dalam Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata, perikatan diartikan sebagai hubungan hukum yang terjadi di antara 2 (dua) orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.
Hukum Islam memiliki istilah sendiri tentang perikatan, yaitu ’aqdun atau akad. Adapun akad sendiri mempunyai beberapa pengertian. Menurut pendapat para ulama Fiqh, bahwa akad adalah sesuatu yang, dengannya akan sempurna perpaduan antara dua macam kehendak, baik dengan kata atau yang lain, dan kemudian karenanya timbul ketentuan/kepastian pada dua sisinya.
3. Unsur-unsur Perikatan
Menurut Salim H,S bahwa pada suatu perikatan terdapat beberapa unsur pokok, antara lain :
- adanya kaidah hukum
- adanya subjek hukum
- adanya prestasi ( objek perikatan )
- dalam bidang tertentu
Kaidah hukum perikatan meliputi :
- kaidah hukum tertulis yaitu kaidah hukum yang terdapat dalam Undang-undang, traktat dan yurisprudensi
- kaidah hukum yang tidak tertulis, yaitu kaidah yang timbul, tumbuh dan hidup dalam praktek kehidupan masyarakat (kebiasaaan), seperti transaksi gadai,jual tahunan atau jual lepas.
Subjek hukum dalam hukum perikatan terdiri atas :
- kreditor yaitu orang ( badan hukum ) yang berhak atas prestasi
- debitor yaitu orang (badan hukum) yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi. Prestasi , yaitu apa yang menjadi hak kreditor dan kewajiban debitor. Prestasi terdiri dari :
- memberikan ( berbuat atau tidak berbuat ) sesuatu
- dapat ditentukan
- mungkin dan diperkenankan
- dapat terdiri dari satu perbuatan saja atau terus menerus.
Bidang yang dimaksud adalah bidang harta kekayaan, yaitu menyangkut hak dan kewajiban yang dapat dinilai uang. Suatu harta kekayaan dapat berwujud atau tidak berwujud.
a. Hubungan Hukum
Hubungan hukum ialah hubungan yang terhadapnya hukum meletakkan ’hak’ pada 1 ( satu ) pihak dan melekatkan ’kewajiban’ pada pihak lainnya.
Apabila satu pihak tidak mengindahkan ataupun melanggar hubungan tadi, lalu hukum memaksakan supaya hubungan tersebut dipenuhi ataupun dipulihkan kembali. Selanjutnya, apabila satu pihak memenuhi kewajibannya, maka hukum ’memaksakan’ agar kewajiban tadi dipenuhi.
b. Kekayaan
Untuk menilai suatu hubungan hukum perikatan atau bukan, maka hukum mempunyai ukuran-ukuran ( kriteria ) tertentu. Yang dimaksud kriteria perikatan adalah ukuran-ukuran yang dipergunakan terhadap sesuatu hubungan hukum sehingga hubungan hukum itu dapat disebutkan suatu perikatan.
c. Pihak-pihak
Para pihak pada suatu perikatan disebut dengan subjek perikatan. Apabila hubungan hukum pada suatu perikatan dijajaki, maka hubungan hukum itu harus terjadi antara 2 ( dua ) orang atau lebih. Pertama, pihak yang berhak atas prestasi, pihak yang akitf atau pihak yang berpiutang yaitu kreditor. Kedua, pihak yang berkewajiban memenuhi atas prestasi, pihak yang pasif atau yang berhutang disebut debitor.
Di dalam perikatan pihak-pihak kreditor dan debitor dapat diganti. Penggantian debitor harus diketahui atau persetujuan kreditor, sedangkan penggantian kreditor dapat terjadi secara sepihak. Bahkan hal-hal tertentu, pada saat suatu perikatan lahir antara pihak-pihak , secara apriori disetujui hakikat penggantian kreditor itu.
Pada setiap perikatan sekurang-kurangnya harus 1 ( satu ) orang kreditor dan sekurang-kurangnya 1 ( satu ) orang debitor. Hal ini tidak menutup kemungkinan dalam suatu perikatan itu terdapat beberapa orang kreditor dan beberapa orang debitor.
4. Prestasi
Pasal 1234 KUH Perdata, dinyatakan bahwa tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka prestasi itu dapat dibedakan atas :
Ø Memberikan sesuatu
Ø Berbuat sesuatu
Ø Tidak berbuat sesuatu
Menurut Hukum Islam, bahwa yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu akad adalah dua unsur yaitu Ijab dan qabul. Artinya hanya karena ijab saja atau hanya karena unsur qabul saja, aqad tidak akan pernah terwujud. Sementara hal lainnya ( semisal subjek dan objek akad ) merupakan konsekuensi logis dari terwujudnya suatu ijab atau qabul, bukan rukun yang berdiri sendiri menjadi sebab terwujudnya akad itu. Berbeda dengan hal itu, menurut Jumhur, kebanyakan ulama selain mazhab hanafi menyatakan bahwa rukun akad ada 5 ( lima ), hal ini untuk sempuranya akad dan dipandang sah sebagai peristiwa hukum.
Kelima rukun akad tersebut antara lain :
1 ). ’Aqidun atau pelaku akad, baik hanya seorang atau sejumlah tertentu, sepihak atau beberapa pihak.
2 ). Mahallul ’aqdi atau ma’qud ’alaih, yaitu benda yang menjadi objek. Misalnya, barang dalam jual beli.
3 ). Maudu’ul ’aqdi, yaitu tujuan atau maksud pokok dari adanya akad.
4 ). Sigatul aqdi ( Ijab ), yaitu perkataan yang menunjukkan kehendak mengenai akad diungkapkan.
5 ). Qabul, yaitu perkataan yang menunjukkan persetujuan terhadap kehendak akad diungkapkan sebagai jawaban ijab.
Adapun untuk sahnya persetujuan-persetujuan perikatan diperlukan empat syarat, antara lain :
Ø Adanya kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya( toesteming )
Ø Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Ø Adanya objek atau suatu hal tertentu dalam perjanjian ( onderwerp der overeenskomst )
Ø Adanya suatu seab ( causa ) yang halal ( geoorloofdeoorzaak )
4. Objek dan Subjek Perikatan
a. Objek Perikatan
Objek perikatan yaitu yang merupakan hak dari kreditor dan kewajiban dari debitor. Yang menjadi objek perikatan adalah prestasi, yaitu hal pemenuhan perikatan.
Macam – macam dari prestasi antara lain :
Ø Memberikan sesuatu, yaitu menyerahkan kekuasaan nyata atas benda dari debitor kepada kreditor, seperti membayar harga dan lainnya.
Ø Melakukan perbuatan, yaitu melakukan perbuatan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan ( perjanjian )
Ø Tidak melakukan suatu perbuatan, yaitu tidak melakukan perbuatan seperti yang telah diperjanjikan, misalnya tidak mendirikan bangunan dan lainnya.
Supaya prestasi dapat tercapai, artinya suatu kewajiban akan prestasi dipenuhi oleh debitor, maka harus memiliki sifat-sifat, antara lain :
Ø Harus sudah tertentu atau dapat ditentukan
Ø Harus mungkin
Ø Harus diperbolehkan ( halal )
Ø Harus ada manfaatnya bagi kreditor
Ø Bisa berdiri dari satu perbuatan atau serentetan perbuatan. Subjek Perikatan
Subjek perikatan adalah para pihak pada suatu perikatan yaitu kreditor yang berhak dan debitor yang berkewajiban atas prestasi. Pada debitor terdapat dua unsur, antara lain schuld yaitu utang debitor kepada kreditor dan haftung yaitu harta kekayaan debitor yang dipertanggungjawabkan bagi pelunasan utang.
Apabila seorang debitor tidak memenuhi atau tidak menepati perikatan disebut cedera janji ( wanprestasi ). Sebelum dinyatakan cedera janji terlebih dahulu harus dilakukan somasi ( ingebrekestelling ) yaitu suatu peringatan kepad debitor agar memenuhi kewajibannya.
1 ). Wanprestasi
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjuan yang dibuat antara kreditor dengan debitor. Ada empat akibat adanya wanprestasi :
Ø Perikatan tetap
Ø Debitor harus membayar ganti rugi kepada kreditor ( pasal 1243 BW )
Ø Beban resiko beralih untuk kerugian debitor jika halangan itu timbul setelah debitor wanprestasi
Ø Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditor dapat membebaskan diri dari kewajibannya ( pasal 1266 )
2 ). Somasi ( ingebrekestilling )
Somasi adalah teguran dari si kreditor kepad debitor agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara keduanya. Ketentuan tentang somasi diatur dalam Pasal 1238 dan Pasal 1243 KUH Perdata
B. MACAM – MACAM PERIKATAN
CST Kansil membagi perikatan menjadi 6 ( enam ) jenis,yaitu :
Pertama, Perikatan Sipil ( Civile Verbentenissen ) atau Perikatan Perdata ( Obligatio Verbintenessen ) dan Perikatan Wajar ( Naturrlijke Verbentennissen ). Perikatan Sipil / Perdata adalah perikatan yang apabila tidak dipenuhi dapat dilakukan gugatan ( hak tagihan ). Misalnya jual beli, pinjam meminjam
Perikatan Sipil / Perdata dibagi menjadi 6 (enam) jenis, yaitu :
1. Perikatan Bersyarat ( pasal 1253 s.d 1267 BW / KUHPer )
2. Perikatan Dengan Ketetapan/Ketentuan Waktu ( pasal 1271 BW/KUHPer)
3. Perikatan Alternatif ( pasal 1277 KUHPer )
4. Perikatan Tanggung Renteng ( pasal 1295 KUHPer)
5. Perikatan Dapat Dibagi dan Tak Dapat Dibagi ( pasal 1296 s.d pasal 1303 KUHPer )
6. Perikatan dengan Ancaman Hukuman ( pasal 1304 s.d 1312 )
Kedua, Perikatan yang dapat dibagi ( deelbare verbintenissen ) adalah perikatan yang menurut sifat dan maksudnya dapat dibagi-bagi dalam memenuhi prestasinya,misal perjanjian mencangkul dan lain-lain. Adapun perikatan ang tidak dapat dibagi (ondeelbare verbintenissein ) adalah perikatan yang menurut sifat dan maksudnya tak dapat dibagi-bagi dalam melaksanakam prestasinya,misalnya perjanjian menyanyi.
Ketiga, Perikatan Pokok ( Principale atau Hoofdverbintenissen ) yaitu perikatan yang dapat berdiri sendiri tidak bergantung pada perikatan-perikatan lainnya,misal jual beli,sewa menyewa,dll. Dan Perikatan Tambahan adalah perikatan yang merupakan tambaham dari perikatan lainnya dan tidak dapat berdiri sendiri, misalnya perjanjian gadai.
Keempat, Perikatan Spesifik ( spesifike verbintenissen ) adalah perikatan yang secara khusus ditetapkan macamnya prestasi. Dan Perikatan Generik ( Genericke verbintenissen ) yaitu perikatan yang hanya ditentukan menurut jenisnya.
Kelima, Perikatan Sederhana ( Eenvoudige Verbintenissen ) adalah perikatan yang hanya ada satu prestasi yang harus dipenuhi oleh debitor. Dan Perikatan Jamak ( meervoudige verbintenissen ) yaitu perikatan yang pemenuhannya oleh debitor lebih dari satu macam prestasi. Perikatan Jamak dibagi menjadi antara lain :
Ø Perikatan Bersusun ( cumulative verbintenissen )
Ø Perikatan Boleh Pilih ( alternative verbintenissen )
Ø Perikatan Fakultatif ( facultatieve verbintenissen )
Keenam, Perikatan Murni ( zuivere verbintenissen ) adalah perikatan yang prestasinya seketika itu juga wajib dipenuhi. Sedangkan Perikatan Bersyarat ( voorwaardelijk verbintenissen ) adalah perikatan yang pemenuhannya oleh debitor, digantungkan keadaan sesuatu syarat, yaitu keadaan-keadaan yang akan datang atau yang pasti terjadi. Perikatan Bersyarat, meliputi antara lain :
- Perikatan dengan penentuan waktu
- Perikatan dengan Syarat yang Menangguhkan
- Perikatan dengan Syarat Batal
Sedangkan pembedaan perikatan berdasarkan Undang-undang meliputi :
1. Perikatan untuk memberikan sesuatu
Perikatan untuk memberikan adalah perikatan untuk menyerahkan ( leveren ) dan merawat benda ( prestasi ), sampai pada saat penyerahan dilakukan.
Kewajiban untuk menyerahkan merupakan kewajiban pokok dan kewajiban preparatoir. Kewajiban preparatoir maksudnya ialah hal-hal yang harus dilakukan oleh debitor menjelang penyerahan dari benda yang diperjanjikan.
2. Perikatan untuk berbuat sesuatu
Berbuat sesuatu artinya melakukan perbuatan yang telah ditetapkan dalam perikatan ( perjanjian ).
3. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu
Tidak berbuat sesuatu artinya tidak melakukan perbuatan seperti yang telah diperjanjikan. Jadi wujud prestasi di sini adalah tidak melakukan perbuatan,misalnya tidak melakukan persaingan yang dapat diperjanjikan.
4. Perikatan bersyarat dan Perikatan murni
Perikatan yang timbul dair perjanjian dapat berupa perikatan murni dan perikatan bersyarat. Perikatan murni adalah perikatan yang pemenuhan prestasinya tidak digantungkan pada suatu syarat ( condition ). Sedangkan Perikatan bersyarat ( conditional obligation ) adalah perikatan yang digantungkan pada syarat. Yang dimaksud dengan syarat adalah peristiwa yang masih akan datang dan belum tentu akan terjadi.
Menurut ketentuan pasal 1253, perikatan bersyarat dapat digolongkan menjadi dua yaitu :
a. Perikatan Bersyaratt Yang Menangguhkan
Pasal 1253 KUH Perdata menyebutkan :
Suatu perikatan dengan syarat tangguh adalah suatu yang bergantung pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu akan terjadi, atau yang bergantung pada suatu hak yang sudah terjadi tidak diketahui oleh kedua belah pihak.
b. Perikatan Bersyarat yang Menghapuskan
Perikatan bersyarat yang menghapus diatur dalam pasal 1265 KUH Perdata :
Suatu syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi, menghentikan perikatanm dan membawa segala sesuatu kembali, pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan.
Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan;hanyalah mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi.
5. Perikatan dengan Ketetapan Waktu
Maksud syarat ” ketetapan waktu ” ialah bahwa pelaksanaan perikatan itu digantungkan pada waktu yang ditetapkan. Waktu yang ditetapkan itu adlaah peristiwa yang masih akan terjadi dan terjadinya itu sudah pasti, atau dapat berupa tunggal yang sudah tetap.
6. Perikatan Alternatif
Dalam perikatan alternatif,objek prestasinya ada dua macam barang. Dikatakan altrenatif karena debitor boleh memenuhi prestasinya dengan memilih salah satu dari dua barang yang dijadikan objek perikatan. Tetapi debitor tidak dapat memaksa kreditor untuk menerima sebagian barang yang satu dan sebaian barang lainnya.
7. Perikatan Tanggung Renteng
Perikatan tanggung renteng ( solidarity obligation ) dapat terjadi apabila seorang debitor berhadapan dengan beberapa orang kreditor,atau seorang kreditor berhadapan dengan beberapa orang debitor. Dalam hal ii setiap kreditor berhak atas pemenuhan prestasi seluruh hutang dan jika prestasi tersebut sudah dipenuhi debitor dibebaskan dari hutangnya dan perikatan hapus.
Perikatan tanggung menanggung meliputi :
- perikatan tanggung menanggung akitf
- perikatan tanggun menanggung pasif
8. Perikatan yang Dapat dibagi dan Tidak Dapat Dibagi
Perikatan dikatakan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi ( divisible atau indivisible ) apabila barang yang menjadi objek prestasi dapat atau tidak dapat dibagi menurut imbangan, selain pembagian tidak boleh mengurangi hakikat dari prestasi.
9. Perikatan dsengan Ancaman Hukuman
Perikatan dengan ancaman hukuman memuat suatu ancaman terhadap debitor apabila ia lalai, tidak memenuhi kewajibannya. Syarat ancaman hukuman ( penal caluse ) memiliki dua maksud, yaitu
- untuk memberikan suatu kepastian atas pelaksanaan isi perjanjian seperti yang telah ditetapkan dalam perjanjian yang dibuat para pihak.
- Sebagai usaha untuk menetapkan jumlah ganti kerugian jika betul betul terjadi wanprestasi
C. PERIKATAN YANG TIMBUL KARENA PERJANJIAN ATAU KONTRAK ( OVEREENKOMST )
1. Konsep Dasar Perjanjian
a. Definisi
Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Per adalah sesuatu perbuatan di mana seseorang atau beberapa orang mengikatkan dirinya kepada seseorang atau beberapa orang lain.
b. Unsur – unsur Perjanjian
Unsur Perjanjian antara lain :
1. ada pihak-pihak ( subjek ), sedikitnya dua pihak
2. ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap
3. ada tujuan yang akan dicapai, yaitu untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak
4. ada prestasi yang akan dilaksanakan
5. ada bentuk tertentun, lisan atau tulisan
6. ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian:
1. pihak –pihak ( subjek )
pihak ( subjek ) dalam perjanjian adalah para pihak yang terikat dengan diadakannya suatu perjanjian
2. sifat perjanjian
unsur yang penting dalam perjanjian adalah adanya persetujuan ( kesepakatan) antara pihak, sifatnya harus tetap bukan sekedar berunding. Persetujuan itu ditunjukkan dengan penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran.
3. Tujuan Perjanjian
Tujuan mengadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan para pihak itu, kebutuhan mana hanya dapat dipenuhi jika mengadakan perjanjian dengan pihak lain. Tujuan sifatnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan tidak dilarang undang-undang.
4. Prestasi
Dengan adanya persetujua, maka timbullah kewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi. Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian.
5. Bentuk Perjanjian
Bentuk perjanjian perlu ditentukanm karena ada ketentuan undang-undang hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan bukti. Bentuk biasanya berupa akta
6. Syarat Perjanjian
Syarat-syarat ini sebenarnya sebagai isi perjanjian, karena dari syarat-syarat itulah dapat diketahui hak dan kewajiban para pihak. Syarat-syarat terdiri dari syarat pokok yang akan menimbulkan hak dan kewajiban pokok.
2. Asas dan Jenis Perjanjian
a. Asas perjanjian
Didalam hukum perjanjian dikenal tiga asas , yaitu asas konsensualisme, asas pacta sunt servada, dan asas kebebasan berkontrak
1. Asas Konsensualisme
Asas Konsensualisme artinya bahwa suatu perikatan itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak.
2. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas Pacta Sunt Servanda berhubungan dengan akibat dari perjanjian. Pasal 1338 KUH Perdata menyebutkan :
Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya
3. Asas Kebebasan Berkontrak
Kebebasan Berkontrak ( freedom of making contract ) adalah salah satu salah satu asas yang sangat penting di dalam hokum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia.
b. Jenis Perjanjian
Dalam ilmu pengetahuan Hukum Perdata, suatu perjanjian memiliki 14 jenis, diantaranya adalah :
1. Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian Sepihak
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua pihak. Contoh dari perjanjian timbal balik antara lain :
- perjanjian jual beli ( koop en verkoop )
- perjanjian tukar menukar
- perjanjian sewa menyewa
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya,misalnya perjanjian hibah, hadiah dll.
2. Perjanjian Cuma-Cuma dan Perjanjian Atas Beban
Perjanjian percuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yangs satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
3. Perjanjian Bernama ( Benoemd ) dan Tidak Bernama ( Onbenoemde Overeenkomst )
Perjanjian Bernama termasuk perjanjian khusus yaitu perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah perjanjian-perjanjian tersebut diatur undang-undang Misalnya jual beli,sewa menyewa dll
Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas dan nama disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya,seperti perjanjian kerja sama,perjanjian pemasaran.
4. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligator
Perjanjian Kebendaan ( zakelijk overeenkomst ) adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli.
Perjanjian Obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan.
5. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Riil
Perjanjian Konsensual adalah perjanjian di mana di antara kedua pihak telah tercapai persetujuan kehendak untuk mengadakan perikatan.
Perjanjian Riil adalah perjanjian di samping ada persetujuan kehendak sekaligus harus ada penyerahan nyata atau barangnya.
6. Perjanjian Publik
Perjanjian Publik adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah, dan pihak lainnya swasta.
7. Perjanjian Campuran
Perjanjian Campuran ialah perjanjian yang mengandung sebagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel menyewakan kamar
Tapi juga menyajikan makanan.
3. Isi dan Hapusnya Perjanjian
a. Isi Perjanjian
Elemen-elemen dari suatu perjanjian ( pasal 1339 dan pasal 1347 KUHPer ) meliputi :
- isi perjanjian
- kepatutan
- kebiasaan
- undang – undang
b. Hapusnya Perjanjian
Suatu perjanjian akan berakhir ( hapus ) apabila :
1. telah lampau waktunya ( kadaluwarsa )
2. telah tercapai tujuannya
3. dicabut kembali
4. diputuskan hakim
5.
C. PERIKATAN YANG TIMBUL KARENA UNDANG –UNDANG
Perikatan yang besumber pada undang- undaang meliputi : (1) perikatan yang lahir dari undang-undang saja (2) perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia
1. Perikatan yang lahir dari undang-undang saja
Perikatan yang lahir dari undang-undang saja yaitu perikatan yang timbul atau adanya karena adanya hubungan kekeluargaan,misalnya :
a. Hak dan Kewajiban Alimansi
b. Hak dan Kewajiban antara pemiilik pekarangan yang berdampingan
2. Perikatan yang lahir dari Undang-undang karena perbuatan manusia
Perikatan yang timbul dari undang-undang karena perbuatan manusia meliputi :
a. perbuatan manusia yang dibolehkan hukum atau hakiki ( rechtmatige daad )
1. perwakilan sukarela
2. pembayaran tak terutang ( onverschuldigde betalling )
3. perikatan alam
b. perbuatan manusia yang melanggar hukum ( onrechtmatige daad )
Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila memenuhi persyaratan ( 1365 KUHPer) antara lain:
1. perbuatan yang melawan hukum
2. harus ada kesalahan ( schuld )
3. harus ada kerugian yang ditimbulkan
4. adanya hubungan causal antara perbuatan dan kerugian
DAFTAR PUSTAKA
Triwulan,Tutik Titik. Pengantar Hukum Perdata. Prestasi PustakaPlubisher. Jakarta. 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar