Setelah pembahasan terperinci
mengenai hukum waris-mewarisi selesai, ada satu hal yang terkait, yang juga
harus dibicarakan, yakni cara pembagian harta waris atau akad damai para ahli
waris, yang berhubungan dengan harta waris yang dikeluarkan (at-takharuj).
Karena dalam pembagian warisan,
terkadang seorang ahli waris yang bukan mahjub dan bukan mamnu,
tidak menerima bagian. Bagian yang seharusnya mereka terima dalam pewarisan itu
diberikan kepada seorang atau beberapa orang ahli waris lainnya sesuai dengan
perjanjian yang mereka lakukan.
Berdasarkan latar belakang di atas, ada beberapa masalah yang
dirumuskan dalam tulisan ini, dengan tujuan menjawab pertanyaan-pertnayaan
berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan at-takharuj?
2. Bagaimanakah status takharuj
dalam warisan
3. Apa saja dasar hukum
dari takharuj?
4. Bagaimana bentuk-bentuk takharuj
dan penyelesaiannya?
Tulisan
ini bertujuan untuk memperjelas dan menambah
pengetahuan kami sebagai penulis mengenai hukum pewarisan terhadap at-takharuj
yakni mengeluarkan sebagian harta waris, karena salah seorang memintanya,
kemudian bersedia menggantinya, serta diajukan sebagai pemenuhan tugas
mata kuliah Ilmu Fiqh Mawarits.
Tulisan
ini disusun dengan metode studi literatur menggunakan berbagai data yang
bersumber dari : buku, artikel, dan beberapa karya ilmiah.
Dalam
pembagian warisan, terkadang seorang atau beberapa orang ahli waris yang bukan mahjub
dan bukan mamnu, tidak menerima bagian. Bagian yang seharusnya mereka
terima dalam pewarisan itu diberikan kepada seorang atau beberapa orang ahli
waris lainnya sesuai dengan perjanjian yang mereka lakukan. Perjanjian
pengoperan pembagian seorang atau beberapa orang ahli waris kepada seorang atau
beberapa orang ahli waris lainnya disebut at-takharuj. Perjanjian itu
disebut at-takharuj karena adanya mutakharaj (متخرج), yaitu pihak yang diundurkan, setelah diberi imbalan seorang
atau beberapa orang ahli waris lainnya.
Adapun yang dimaksud dengan at-takharuj
adalah mengeluarkan sebagian harta waris, karena salah seorang dari ahli waris
memintanya, kemudian bersedia menggantinya. Menurut syara’, hal tersebut boleh
dilakukan, jika seluruh ahli waris ridha.
Telah diriwayatkan bahwa Abdurrahman
bin ‘Auf menceraikan istrinya yang bernama Tamadhar binti Ashba’ al-Kalbiyah
saat dia sakit keras. Ketika Abdurrahman yang lain mengajukan permohonan kepada
Tamadhar, agar ia memberikan empat per delapan (4/8)
harta waris yang menjadi haknya. Sebagai gantinya, ahli waris Abduurrahman itu
bersedia memberikan 80 atau 83 ribu dirham atau dinar kepadanya. Jumlah harta
pengganti yang mereka berikan untuk Tamadhar menyamai haknya setengah atas
harta waris.
Berdasarkan riwayat harta tersebut, at-tkaharuj
adalah salah satu dari akad harta pengganti. Bentuknya tidak keluar dari akad
pembagian (aqd al-qismah) atau akad jual (aqd al-bai’un). Jika
terjadi kesepakatan bahwa al-kharij (orang yang keluar) itu mengambil
harta waris, akad itu disebut sebagai akad pembagian. Apabila terjadi kesepakatan
bahwa dia mengambil harta yang bukan harta waris yang diserahkan oleh salah
satu ahli waris atau oleh semua ahli waris, akad itu disebut akad jual. Kedua
hal tersebut pun telah disyariatkan dalam Islam.
Takharuj itu merupakan perjanjian
dua-pihak. Satu pihak menyerahkan sesuatu tertentu sebagai prestasi kepada
pihak lain dan pihak lain menyerahkan bagian pusakanya, sebagai tegenprestasi,
kepada pihak pertama.
Prestasi yang diserahkan oleh pihak
pertama seolah-olah merupakan harga pembelian dan tegenprestasi yang diserahkan
oleh pihak kedua seolah-olah merupakan barang yang dibeli. Maka dengan demikian
takharuj ini merupakan perjanjian jual-beli.
Jika prestasi yang diserahkannya itu
sebagai alat penukar terhadap tegenprestasi yang bakal diterimanya, maka
takharuj tersebut merupakan perjanjian tukar-menukar.
Di samping itu jika prestasinya yang
diserahkan kepada pihak yang diundurkan itu diambilkan dari harta peninggalan
itu sendiri, perjanjian takharuj itu berstatus sebagai perjanjian pembagian
(‘aqad qismah) harta pusaka.
Mengenai at-takharuj ini,
para ulama mendefinisikannya, antara lain, sebagai berikut:
أن يتصا لح الو ر ثة على إ خرا ج
بعضهم عن نصيبه في ا لميرا ث نظير شيء معين من التر كة أ و من غيره .
Perjanjian
atau perdamaian para ahli waris atas keluarnya/mundurnya sebagian mereka dalam
(menerima) bagiannya dalam pewarisan dengan memberikan suatu prestasi/imbalan
tertentum baik (imbalan itu) dari harta peninggalan maupun dari yang lainnya (Yusuf
Musa, 1959:374).[1]
ان
يتصالح الورثة على إخراج بعضهم من الميراث في مقا بل شيء معلوم من التركة أومن غير
ها سوا ء أ كا ن هذا التصا لح من كل الورثة أو من بعضهم .
Perjanjian
atau perdamaian para ahli waris untuk mengeluarkan atau mengundurkan
sebagiannya dari pewarisan dengan suatu imbalan tertentu dari harta peninggalan
atau dari yang lainnya, baik perjanjian tersebut dari seluruh ahli waris maupun
dari sebagian mereka (Syalaby, 1978:366).[2]
ان عبد الرحمان بن عوف طلق ا مرأ ته
تما ضر بنت الا صبغ الكلبية فى مر ض مو ته، ثم ما ت و هى فى ا لعدة فو ر ثها عثما
ن ر ضى ا لله عنه مع ثلا ث نسو ة ا خر، فصا لحو ها عن ر بع ثمنها على ثلا ثة و ثما
نين أ لفا، فقيل هى د نا نير، وقيل هى درا هم .
“Abdurrahman bin ‘Auf, di saat sekaratnya, mentalak
isterinya yang bernama Tumadhir binti al-Ishbagh al-Kalbiyah. Setelah ia
meninggal dunia dan isterinya sedang dalam masa iddah, sayyidina ‘Utsman r.a.
membagikan pusaka kepadanya beserta tiga orang isterinya yang lain. Kemudian
mereka pada mengadakan perdamaian dengannya, yakni sepertigapuluh dua-nya,
dengan pembayaran delapan puluh tiga ribu, dikatakan oleh suatu riwayat “dinar”
dan dikatakan oleh riwayat yang lain “dirham”.[3]
Kitab Undang-Undang Hukum Warisan Mesir membenarkan takharuj.
Dalam pasal terakhir, pasal 48, dari Kitab Undang-Undang tersebut dijelaskan
tentang definisinya, bentuk-bentuknya dan cara-cara membagikan harta warisan
kepada para ahli waris, sekiranya dalam pembagian harta warisan tersebut
terdapat sebagian ahli waris yang mengadakan perjanjia takharuj. Bunyi
teks selengkapnya adalah sebagai berikut:
الْتخا ر ج هو ا ن يتصا لح ا لو ر ثة
على اخراج بعضهم من الميرا ث على شيء معلوم،فاِ ذا تخا ر ج ا حد ا لو ر ثه .. مع ا
خر منهم ا ستحق نصيبه، و حل محله فى ا ْلتركة، و ا ذ ا تخا رج ا حد ا ْلورثة مع با
قيهم ، فاِ ن كا ن ا ْلمد فو ع له من لتركت قسم نصيبه بينهم بنسبة انصبا ئهم فيها
. و ان كا ن ا ْلمد فو ع من ما ْلهم و ْلم ينص في عقد ا ْلتخا رج على طريقة قسمة
نصيب ا ْلخا ر ج قسم عليهم با اسو ية بينهم .
”Takharuj
ialah perdamaian para ahli waris untuk mengeluarkan sebagian mereka dari
mewarisi dengan sesuatu yang sudah maksum. Apabila salah seorang ahli waris
bertakharuj dengan seorang ahli waris yang lain, maka baginya dihaki dan
tempatnya dalam mewarisi harta peninggalan didudukinya. Dan apabila seorang
ahli waris bertakharuj dengan ahli waris-ahli waris lainnya, jika sesuatu yang
diserahkan itu diambilkan dari harta peninggalan, maka bagiannya dibagi antar
mereka menurut perbandingan bagian mereka dalam harta peninggalan. Dan jika
sesuatu yang diserahkan itu diambilkan dari harta mereka dan di dalam
perjanjian takharuj tidak diterangkan cara membagi bagian orang yang keluar
maka bagian tersebut dibagi antar mereka dengan sama rata.”[4]
Dalam persoalan waris-mewarisi, at-Takharuj
mempunyai tiga bentuk, yakni sebagai berikut.
Pertama, at-takharuj terjadi
dengan salah satu ahli waris. Maksudnya, al-kharij sepakat dengan salah
satu ahli waris yang bersedia melepaskan haknya atas harta waris. Ahli waris
itu pun bersedia diberikan sejumlah harta yang menjadi pengganti haknya atas harta
waris. Harta pengganti
yang diberikan kepadanya tidak berasal dari harta waris. Proses takharuj
dalam bentuk ini ditetapkan berdasarkan akad jual-beli. Dengan demikian, ahli
waris yang memberikan pengganti itu menempati posisi al-kharij (orang
yang keluar) karena dia adalah pembeli, sehingga memiliki bagian warisan al-kharij
ditambah bagian aslinya.
Contohnya, seseorang
wafat, meninggalkan ahli waris: ibu, saudara perempuan seibu, dan 2 saudara
kandung. Si mayit meninggalkan harta waris berupa tanah seluas 30 hektare.
Saudara perempuan seibu mengajukan permintaan kepada salah satu saudara kandung,
agar ia melepaskan hak warisnya atas tanah. Sebagai penggantinya, saudara
perempuan seibu memberikan uang 10.000 pound (Rp 142.200.000,00).
Dalam persoalan ini,
pembagian harta waris dilakukan seakan-akan tidak ada al-kharij,
sehingga ibu mendapatkan bagian tetap (fardh)-nya yang seperenam (1/6),
yaitu 5 hektare, saudara perempuan juga mendapatkan bagiannya yang 5 hektare,
dan sisanya dibagi dua untuk 2 orang saudara kandung.berdasarkan pembagian itu,
satu orang saudara kandung mendapatkan 10 hektare tanah. Saudara kandung yang
tidak terikat perjanjian dengan saudara seibu dapat mengambil bagiannya yang 10
hektare, dan saudara kandung yang lain, yang berjanji akan melepaskan hak
warisnya atas tanah seluas 10 hektare, mendapatkan uang 10.000 pound (Rp
142.200.000,00) dari saudara perempuan seibu. Dengan demikian, tanah milik
saudara perempuan seibu menjadi 15 hektare.
Kedua, at-takharuj
terjadi dengan semua ahli waris. Dalam hal ini, al-kharij bersedia
“keluar” atau melepaskan hakmya atas harta waris jika diganti dengan sejumlah
uang, yang bukan harta waris. Uang pengganti itu
diserahkan ahli waris-ahli waris yang lain kepadanya. Proses takharuj
dalam bentuk ini ditetapkan berdasarkan akad jual, karena al-kharij
menjual bagiannya kepada ahli waris-ahli waris yang lain. Dengan demikian ahli
waris-ahli waris itu dapat memiliki bagian al-kharij sesuai dengan
perjanjian tersebut dalam akad takharuj.
Jika ahli waris-ahli waris itu telah
memberikan uang kepada al-kharij senilai dengan bagian mereka
masing-masing atas harta waris, mereka pun mendapatkan bagian dari harta al-kharij
sesuai dengan bagian mereka masing-masing atas harta waris. Namun, jika setiap
ahli waris memberikan uang dalam jumlah yang sama untuk al-kharij, harta
al-kharij pun dibagi rata untuk mereka.
Contohnya, seseorang wafat, meninggalkan ahli waris:
istri, ibu, dan saudara kandung. Si mayit meninggalkan harta waris berupa tanah
seluas 36 hektare. Istri si mayit bersedia keluar atau tidak mengambil
bagiannya, jika mendapatkan ganti senilai 2.700 pound (Rp 38.394.000) yang
diserahkan oleh ibu dan saudara kandung si mayit, senilai dengan bagian mereka
berdua dalam mewarisi.
Untuk mengetahui jumlah
warisan yang didapat setiap ahli waris, kita harus mengetahui bagian setiap
ahli waris terlebih dahulu. Berikut cara
menghitungnya:
Ahli
Waris
|
Istri
|
Ibu
|
Saudara
Kandung
|
Dasar
Pembagian
|
¼
|
1/3
|
Sisa/’ashabah
|
Asal
masalah : 12
|
|||
Bagian
Ahli Waris
|
3
|
4
|
5
|
Kadar satu
bagian: 36 : 12 = 3 hektare.
Harta waris yang
diperoleh setiap ahli waris adalah sebagai berikut.
-
Istri
: 3 x 3 = 9
hektare
-
Ibu : 4 x 3 = 12
hektare
-
Saudara
kandung : 5 x 3 =15 hektare
Harta
waris yang menjadi hak si istri (9 hektare), yang tidak diambil karena sudah
dibeli, dibagi untuk ibu dan saudara si mayit. Dengan demikian, jumlah harta waris yang diperoleh ibu
dan saudara kandung si mayit, sebagai berikut.
-
Ibu
: [ 12 + (4/9
x 9)] =16 hektare.
-
Saudara kandung : [ 15 + (5/9
x 9)] = 20 hektare.
Cara
menghitung jumlah harta waris yang diperoleh ibu dan saudara kandung di atas,
dilakukan sesuai dengan pengganti yang diberikan oleh mereka untuk istri si
mayit. Pengganti itu
senilai dengan bagian ibu dan saudara kandung dalam mewarisi harta si mayit.
Namun, jika ibu dan saudara kandung memberikan pengganti dalam jumlah yang sama
untuk istri si mayit, harta istri si mayit pun dibagi rata untuk mereka.
Ketiga,
at-takharuj dengan para ahli waris. Dalam hal
ini, al-kharij mengajukan usul supaya dia “dikeluarkan” atau tidak
diberikan harta waris yang menjadi bagiannya dengan imbalan tertentu, baik
berupa uang atau benda yang diambil dari warisan. Proses takharuj ini
sebenarnya adalah pembagian yang tidak sempurna antara al-kharij, yang
melepas bagiannya, dengan ahli waris-ahli waris lain, yang memiliki sisa
warisan. Bentuk ini pada hakikatnya sama dengan qismah (hukum
pembagian), bukan jual-beli. Bentuk ini merupakan bentuk yang sering terjadi di
masyarakat.
Dalam
keadaan ini, kita membagikan harta waris kepada seluruh ahli waris –termasuk al-kharij-
seakan-akan tidak ada yang keluar. Setelah itu, kita gugurkan bagian al-kharij
dari asal masalah, ‘aul, atau tash-hih-nya, sebagaimana kita
menggugurkannya dari warisan, lalu kita jadikan bagian sisa sebagai asal
masalah. Setelah itu, harta waris dibagi berdasarkan asal masalah ini.
Perhatikan beberapa kasus atau contoh berikut ini:
Contoh pertama, seseorang
wafat, meninggalkan ahli waris : suami, anak laki-laki, dan anak perempuan
serta harta waris yang terdiri dari satu rumah dan 30 hektare tanah. Dalam
kasus ini, suami “keluar” atau meninggalkan bagiannya dengan imbalan rumah. Dengan
demikian, cara pembagian harta waris dapat dilakukan sebagai berikut.
Ahli Waris
|
Suami
|
Anak Lelaki
dan Anak
Perempuan
|
Dasar
Pembagian
|
¼
|
Sisa/’ashabah
|
|
Asal Masalah :
4
|
|
Bagian Ahli
Waris
|
1
|
3,
2 untuk anak
lelaki, 1
Untuk anak
perempuan
|
Kemudian
kita “keluarkan” bagian suami, sehingga tersisa 3 bagian. Kita bagi tanah yang
30 hektare itu menjadi 3 bagian. Kadar satu bagian: 30 : 3 = 10.
Harta waris yang
diperoleh setiap ahli waris adalah sebagai berikut.
-
Anak laki-laki = 2 x 10 = 20 hektare.
-
Anak
perempuan = 1 x 10 = 10 hektare.
-
Suami
mendapatkan rumah.
Contoh
kedua. Seseorang wafat, meninggalkan ahli
waris: suami, ibu, dan paman kandung dari pihak bapak. Si mayit meninggalkan
harta waris senilai 3.000 pound (Rp 42.660.000,00) dan sebuah rumah yang
diminta oleh suami sebagai imbalan pengunduran dirinya sebagai ahli waris.
Penyelesaian
Ahli Waris
|
Suami
|
Ibu
|
Paman kandung
|
Dasar Pembagian
|
½
|
1/3
|
Sisa/’ashabah
|
Asal masalah : 6
|
|||
Bagian ahli waris
|
3
|
2
|
1
|
Kemudian, kita gugurkan bagian suami
dengan imbalan rumah tadi. Dengan demikian, jumlah harta waris yang tersisa
adalah 3 (2 bagian untuk ibu dan 1 bagian untuk paman).
Kadar
satu bagian : 3.000 : 3 = 1.000 pound.
Harta waris yang diperoleh ibu dan paman adalah sebagai
berikut:
-
Ibu : 2 x 1.000 = 2.000 pound (Rp 28.440.000,00)
-
Paman : 1 x 1.000 = 1.000 pound (Rp
14.220.000,00)
Dalam
kasus ini, tidak boleh dikatakan bahwa ketika suami sudah keluar dari kelompok
ahli waris, proses pembagian harta waris dilakukan sebagaimana suami tidak ada
atau sudah meninggal, sehingga harta waris dibagikan hanya untuk ibu dan paman.
Sebab, jika kita melakukan itu, pasti akan membawa perubahan pada bagian ibu
yaitu dari sepertiga (1/3) bagian tetap menjadi (1/3)
bagian sisa yaitu 1.000 pound, setelah diambil oleh suami. Kalau hal ini
dilakukan, berarti kita menyalahi ijma’ yang menyebutkan bahwa ibu mendapatkan
(1/3) dari harta waris dalam masalah ini. Hal tersebut
tidak sesuai dengan akad takharuj, di mana mereka berdua rela
meninggalkan bagiannya, ditukar dengan uang atau barang yang lain.
Dalam pembagian warisan, terkadang
seorang ahli waris yang bukan mahjub dan bukan mamnu, tidak
menerima bagian. Bagian yang seharusnya mereka terima dalam pewarisan itu
diberikan kepada seorang atau beberapa orang ahli waris lainnya sesuai dengan
perjanjian yang mereka lakukan. Perjanjian pengoperan pembagian seorang atau
beberapa orang ahli waris kepada seorang atau beberapa orang ahli waris lainnya
disebut at-Takharuj. Perjanjian itu disebut at-Takharuj karena
adanya mutakharaj (متخر ج (,
yaitu pihak yang diundurkan, setelah diberi prestasi atau imbalan oleh soerang
atau beberapa orang ahli waris lainnya.
Oleh karena itu, sebagai seorang muslim
kita wajib mempelajari Fiqh Mawarist yang bertujuan untuk mencegah
perselisihan-perselisihan dalam pembagian harta waris, sehingga orang yang
memperalajarinya mempunyai kedudukan tinggi dan mendapatkan pahala yang besar. Ini dikarenakan ilmu faraidh merupakan bagian dari
ilmu-ilmu Qur’ani dan produk agama.
Aldizar, Addys Lc. Hukum Waris,
terjemahan Ahkamul Mawaarits fil Fiqhil Islami. 2004. Jakarta: Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar, Mesir
Drs Fatchurrahman, Ilmu Waris. 1987. Bandung: PT Al-Ma;rif
Usman, Suparman. Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam.
1997. Jakarta: Gaya
Media Pratama
Takmilah
Radd al-Mukhtar, juz II hal,. 186 dan Syarh
as-Sirajiyyah, hlm. 236
[1]
Fiqh mawaris hukum kewarisan Islam, Jakarta, 1997, gaya media pratama,
drs. H. Suparman Usman, sh, drs. Yusuf Somawinata
[2]Ilmu waris, drs. Fatchurrahman, 1987, pt al ma’arif, Bandung
[3] Dalam Kitab Syarh
as-Sirajjiyah, as-Sayyid as-Syarif, halaman: 237; at-Tirkah wal-mirats, Dr.
Muhammad Yusuf Musa, halaman: 375.
[4] Ilmu waris, drs Fatchurrahman, 1987, pt al ma’arif, Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar