Selamat datang di duniaku

Sabtu, 08 Desember 2012

Definisi dan Hukum At- Takharuj (ا اتخا ر ج )




           Setelah pembahasan terperinci mengenai hukum waris-mewarisi selesai, ada satu hal yang terkait, yang juga harus dibicarakan, yakni cara pembagian harta waris atau akad damai para ahli waris, yang berhubungan dengan harta waris yang dikeluarkan (at-takharuj).

           Karena dalam pembagian warisan, terkadang seorang ahli waris yang bukan mahjub dan bukan mamnu, tidak menerima bagian. Bagian yang seharusnya mereka terima dalam pewarisan itu diberikan kepada seorang atau beberapa orang ahli waris lainnya sesuai dengan perjanjian yang mereka lakukan.


Berdasarkan latar belakang di atas, ada beberapa masalah yang dirumuskan dalam tulisan ini, dengan tujuan menjawab pertanyaan-pertnayaan berikut :

1.    Apa yang dimaksud dengan at-takharuj?
2.    Bagaimanakah status takharuj dalam warisan
3.    Apa saja dasar hukum dari takharuj?
4.    Bagaimana bentuk-bentuk takharuj dan penyelesaiannya?


Tulisan ini bertujuan untuk memperjelas dan menambah pengetahuan kami sebagai penulis mengenai hukum pewarisan terhadap at-takharuj yakni mengeluarkan sebagian harta waris, karena salah seorang memintanya, kemudian bersedia menggantinya, serta diajukan sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Ilmu Fiqh Mawarits.


Tulisan ini disusun dengan metode studi literatur menggunakan berbagai data yang bersumber dari : buku, artikel, dan beberapa karya ilmiah.







Dalam pembagian warisan, terkadang seorang atau beberapa orang ahli waris yang bukan mahjub dan bukan mamnu, tidak menerima bagian. Bagian yang seharusnya mereka terima dalam pewarisan itu diberikan kepada seorang atau beberapa orang ahli waris lainnya sesuai dengan perjanjian yang mereka lakukan. Perjanjian pengoperan pembagian seorang atau beberapa orang ahli waris kepada seorang atau beberapa orang ahli waris lainnya disebut at-takharuj. Perjanjian itu disebut at-takharuj karena adanya mutakharaj (متخرج), yaitu pihak yang diundurkan, setelah diberi imbalan seorang atau beberapa orang ahli waris lainnya.
            Adapun yang dimaksud dengan at-takharuj adalah mengeluarkan sebagian harta waris, karena salah seorang dari ahli waris memintanya, kemudian bersedia menggantinya. Menurut syara’, hal tersebut boleh dilakukan, jika seluruh ahli waris ridha.
            Telah diriwayatkan bahwa Abdurrahman bin ‘Auf menceraikan istrinya yang bernama Tamadhar binti Ashba’ al-Kalbiyah saat dia sakit keras. Ketika Abdurrahman yang lain mengajukan permohonan kepada Tamadhar, agar ia memberikan empat per delapan (4/8) harta waris yang menjadi haknya. Sebagai gantinya, ahli waris Abduurrahman itu bersedia memberikan 80 atau 83 ribu dirham atau dinar kepadanya. Jumlah harta pengganti yang mereka berikan untuk Tamadhar menyamai haknya setengah atas harta waris.
            Berdasarkan riwayat harta tersebut, at-tkaharuj adalah salah satu dari akad harta pengganti. Bentuknya tidak keluar dari akad pembagian (aqd al-qismah) atau akad jual (aqd al-bai’un). Jika terjadi kesepakatan bahwa al-kharij (orang yang keluar) itu mengambil harta waris, akad itu disebut sebagai akad pembagian. Apabila terjadi kesepakatan bahwa dia mengambil harta yang bukan harta waris yang diserahkan oleh salah satu ahli waris atau oleh semua ahli waris, akad itu disebut akad jual. Kedua hal tersebut pun telah disyariatkan dalam Islam.
                                   
           Takharuj itu merupakan perjanjian dua-pihak. Satu pihak menyerahkan sesuatu tertentu sebagai prestasi kepada pihak lain dan pihak lain menyerahkan bagian pusakanya, sebagai tegenprestasi, kepada pihak pertama.

           Prestasi yang diserahkan oleh pihak pertama seolah-olah merupakan harga pembelian dan tegenprestasi yang diserahkan oleh pihak kedua seolah-olah merupakan barang yang dibeli. Maka dengan demikian takharuj ini merupakan perjanjian jual-beli.

           Jika prestasi yang diserahkannya itu sebagai alat penukar terhadap tegenprestasi yang bakal diterimanya, maka takharuj tersebut merupakan perjanjian tukar-menukar.

           Di samping itu jika prestasinya yang diserahkan kepada pihak yang diundurkan itu diambilkan dari harta peninggalan itu sendiri, perjanjian takharuj itu berstatus sebagai perjanjian pembagian (‘aqad qismah) harta pusaka.

            Mengenai at-takharuj ini, para ulama mendefinisikannya, antara lain, sebagai berikut:
أن يتصا لح الو ر ثة على إ خرا ج بعضهم عن نصيبه في ا لميرا ث نظير شيء معين من التر كة أ و من غيره .
Perjanjian atau perdamaian para ahli waris atas keluarnya/mundurnya sebagian mereka dalam (menerima) bagiannya dalam pewarisan dengan memberikan suatu prestasi/imbalan tertentum baik (imbalan itu) dari harta peninggalan maupun dari yang lainnya (Yusuf Musa, 1959:374).[1]
ان يتصالح الورثة على إخراج بعضهم من الميراث في مقا بل شيء معلوم من التركة أومن غير ها سوا ء أ كا ن هذا التصا لح من كل الورثة أو من بعضهم .
Perjanjian atau perdamaian para ahli waris untuk mengeluarkan atau mengundurkan sebagiannya dari pewarisan dengan suatu imbalan tertentu dari harta peninggalan atau dari yang lainnya, baik perjanjian tersebut dari seluruh ahli waris maupun dari sebagian mereka (Syalaby, 1978:366).[2]
ان عبد الرحمان بن عوف طلق ا مرأ ته تما ضر بنت الا صبغ الكلبية فى مر ض مو ته، ثم ما ت و هى فى ا لعدة فو ر ثها عثما ن ر ضى ا لله عنه مع ثلا ث نسو ة ا خر، فصا لحو ها عن ر بع ثمنها على ثلا ثة و ثما نين أ لفا، فقيل هى د نا نير، وقيل هى درا هم .
Abdurrahman bin ‘Auf, di saat sekaratnya, mentalak isterinya yang bernama Tumadhir binti al-Ishbagh al-Kalbiyah. Setelah ia meninggal dunia dan isterinya sedang dalam masa iddah, sayyidina ‘Utsman r.a. membagikan pusaka kepadanya beserta tiga orang isterinya yang lain. Kemudian mereka pada mengadakan perdamaian dengannya, yakni sepertigapuluh dua-nya, dengan pembayaran delapan puluh tiga ribu, dikatakan oleh suatu riwayat “dinar” dan dikatakan oleh riwayat yang lain “dirham”.[3]
Kitab Undang-Undang Hukum Warisan Mesir membenarkan takharuj. Dalam pasal terakhir, pasal 48, dari Kitab Undang-Undang tersebut dijelaskan tentang definisinya, bentuk-bentuknya dan cara-cara membagikan harta warisan kepada para ahli waris, sekiranya dalam pembagian harta warisan tersebut terdapat sebagian ahli waris yang mengadakan perjanjia takharuj. Bunyi teks selengkapnya adalah sebagai berikut:
الْتخا ر ج هو ا ن يتصا لح ا لو ر ثة على اخراج بعضهم من الميرا ث على شيء معلوم،فاِ ذا تخا ر ج ا حد ا لو ر ثه .. مع ا خر منهم ا ستحق نصيبه، و حل محله فى ا ْلتركة، و ا ذ ا تخا رج ا حد ا ْلورثة مع با قيهم ، فاِ ن كا ن ا ْلمد فو ع له من لتركت قسم نصيبه بينهم بنسبة انصبا ئهم فيها . و ان كا ن ا ْلمد فو ع من ما ْلهم و ْلم ينص في عقد ا ْلتخا رج على طريقة قسمة نصيب ا ْلخا ر ج قسم عليهم با اسو ية بينهم .
Takharuj ialah perdamaian para ahli waris untuk mengeluarkan sebagian mereka dari mewarisi dengan sesuatu yang sudah maksum. Apabila salah seorang ahli waris bertakharuj dengan seorang ahli waris yang lain, maka baginya dihaki dan tempatnya dalam mewarisi harta peninggalan didudukinya. Dan apabila seorang ahli waris bertakharuj dengan ahli waris-ahli waris lainnya, jika sesuatu yang diserahkan itu diambilkan dari harta peninggalan, maka bagiannya dibagi antar mereka menurut perbandingan bagian mereka dalam harta peninggalan. Dan jika sesuatu yang diserahkan itu diambilkan dari harta mereka dan di dalam perjanjian takharuj tidak diterangkan cara membagi bagian orang yang keluar maka bagian tersebut dibagi antar mereka dengan sama rata.”[4]

              Dalam persoalan waris-mewarisi, at-Takharuj mempunyai tiga bentuk, yakni sebagai berikut.

              Pertama, at-takharuj terjadi dengan salah satu ahli waris. Maksudnya, al-kharij sepakat dengan salah satu ahli waris yang bersedia melepaskan haknya atas harta waris. Ahli waris itu pun bersedia diberikan sejumlah harta yang menjadi pengganti haknya atas harta waris. Harta pengganti yang diberikan kepadanya tidak berasal dari harta waris. Proses takharuj dalam bentuk ini ditetapkan berdasarkan akad jual-beli. Dengan demikian, ahli waris yang memberikan pengganti itu menempati posisi al-kharij (orang yang keluar) karena dia adalah pembeli, sehingga memiliki bagian warisan al-kharij ditambah bagian aslinya.
              Contohnya, seseorang wafat, meninggalkan ahli waris: ibu, saudara perempuan seibu, dan 2 saudara kandung. Si mayit meninggalkan harta waris berupa tanah seluas 30 hektare. Saudara perempuan seibu mengajukan permintaan kepada salah satu saudara kandung, agar ia melepaskan hak warisnya atas tanah. Sebagai penggantinya, saudara perempuan seibu memberikan uang 10.000 pound (Rp 142.200.000,00).

              Dalam persoalan ini, pembagian harta waris dilakukan seakan-akan tidak ada al-kharij, sehingga ibu mendapatkan bagian tetap (fardh)-nya yang seperenam (1/6), yaitu 5 hektare, saudara perempuan juga mendapatkan bagiannya yang 5 hektare, dan sisanya dibagi dua untuk 2 orang saudara kandung.berdasarkan pembagian itu, satu orang saudara kandung mendapatkan 10 hektare tanah. Saudara kandung yang tidak terikat perjanjian dengan saudara seibu dapat mengambil bagiannya yang 10 hektare, dan saudara kandung yang lain, yang berjanji akan melepaskan hak warisnya atas tanah seluas 10 hektare, mendapatkan uang 10.000 pound (Rp 142.200.000,00) dari saudara perempuan seibu. Dengan demikian, tanah milik saudara perempuan seibu menjadi 15 hektare.

              Kedua, at-takharuj terjadi dengan semua ahli waris. Dalam hal ini, al-kharij bersedia “keluar” atau melepaskan hakmya atas harta waris jika diganti dengan sejumlah uang, yang bukan harta waris. Uang pengganti itu diserahkan ahli waris-ahli waris yang lain kepadanya. Proses takharuj dalam bentuk ini ditetapkan berdasarkan akad jual, karena al-kharij menjual bagiannya kepada ahli waris-ahli waris yang lain. Dengan demikian ahli waris-ahli waris itu dapat memiliki bagian al-kharij sesuai dengan perjanjian tersebut dalam akad takharuj.

            Jika ahli waris-ahli waris itu telah memberikan uang kepada al-kharij senilai dengan bagian mereka masing-masing atas harta waris, mereka pun mendapatkan bagian dari harta al-kharij sesuai dengan bagian mereka masing-masing atas harta waris. Namun, jika setiap ahli waris memberikan uang dalam jumlah yang sama untuk al-kharij, harta al-kharij pun dibagi rata untuk mereka.

              Contohnya, seseorang wafat, meninggalkan ahli waris: istri, ibu, dan saudara kandung. Si mayit meninggalkan harta waris berupa tanah seluas 36 hektare. Istri si mayit bersedia keluar atau tidak mengambil bagiannya, jika mendapatkan ganti senilai 2.700 pound (Rp 38.394.000) yang diserahkan oleh ibu dan saudara kandung si mayit, senilai dengan bagian mereka berdua dalam mewarisi.

              Untuk mengetahui jumlah warisan yang didapat setiap ahli waris, kita harus mengetahui bagian setiap ahli waris terlebih dahulu. Berikut cara menghitungnya:





Ahli Waris
Istri
Ibu
Saudara Kandung
Dasar Pembagian
¼
1/3
Sisa/’ashabah
Asal masalah : 12
Bagian Ahli Waris
3
4
5

Kadar satu bagian: 36 : 12 = 3 hektare.
Harta waris yang diperoleh setiap ahli waris adalah sebagai berikut.
-          Istri                              : 3 x 3 = 9 hektare
-          Ibu                               : 4 x 3 = 12 hektare
-          Saudara kandung                    : 5 x 3  =15 hektare
              Harta waris yang menjadi hak si istri (9 hektare), yang tidak diambil karena sudah dibeli, dibagi untuk ibu dan saudara si mayit. Dengan demikian, jumlah harta waris yang diperoleh ibu dan saudara kandung si mayit, sebagai berikut.
-          Ibu                               : [ 12 + (4/9 x 9)] =16 hektare.
-           Saudara kandung                   : [ 15 + (5/9 x 9)] = 20 hektare.
              Cara menghitung jumlah harta waris yang diperoleh ibu dan saudara kandung di atas, dilakukan sesuai dengan pengganti yang diberikan oleh mereka untuk istri si mayit. Pengganti itu senilai dengan bagian ibu dan saudara kandung dalam mewarisi harta si mayit. Namun, jika ibu dan saudara kandung memberikan pengganti dalam jumlah yang sama untuk istri si mayit, harta istri si mayit pun dibagi rata untuk mereka.
              Ketiga, at-takharuj dengan para ahli waris. Dalam hal ini, al-kharij mengajukan usul supaya dia “dikeluarkan” atau tidak diberikan harta waris yang menjadi bagiannya dengan imbalan tertentu, baik berupa uang atau benda yang diambil dari warisan. Proses takharuj ini sebenarnya adalah pembagian yang tidak sempurna antara al-kharij, yang melepas bagiannya, dengan ahli waris-ahli waris lain, yang memiliki sisa warisan. Bentuk ini pada hakikatnya sama dengan qismah (hukum pembagian), bukan jual-beli. Bentuk ini merupakan bentuk yang sering terjadi di masyarakat.
              Dalam keadaan ini, kita membagikan harta waris kepada seluruh ahli waris –termasuk al-kharij- seakan-akan tidak ada yang keluar. Setelah itu, kita gugurkan bagian al-kharij dari asal masalah, ‘aul, atau tash-hih-nya, sebagaimana kita menggugurkannya dari warisan, lalu kita jadikan bagian sisa sebagai asal masalah. Setelah itu, harta waris dibagi berdasarkan asal masalah ini. Perhatikan beberapa kasus atau contoh berikut ini:

             

            Contoh pertama, seseorang wafat, meninggalkan ahli waris : suami, anak laki-laki, dan anak perempuan serta harta waris yang terdiri dari satu rumah dan 30 hektare tanah. Dalam kasus ini, suami “keluar” atau meninggalkan bagiannya dengan imbalan rumah. Dengan demikian, cara pembagian harta waris dapat dilakukan sebagai berikut.
Ahli Waris
Suami
Anak Lelaki dan Anak
Perempuan
Dasar Pembagian
¼
Sisa/’ashabah

Asal Masalah : 4

Bagian Ahli Waris
1
3,
2 untuk anak lelaki, 1
Untuk anak perempuan

Kemudian kita “keluarkan” bagian suami, sehingga tersisa 3 bagian. Kita bagi tanah yang 30 hektare itu menjadi 3 bagian. Kadar satu bagian: 30 : 3 = 10.
Harta waris yang diperoleh setiap ahli waris adalah sebagai berikut.
-          Anak laki-laki = 2 x 10 = 20 hektare.
-          Anak perempuan = 1 x 10 = 10 hektare.
-          Suami mendapatkan rumah.
              Contoh kedua. Seseorang wafat, meninggalkan ahli waris: suami, ibu, dan paman kandung dari pihak bapak. Si mayit meninggalkan harta waris senilai 3.000 pound (Rp 42.660.000,00) dan sebuah rumah yang diminta oleh suami sebagai imbalan pengunduran dirinya sebagai ahli waris.
Penyelesaian
Ahli Waris
Suami
Ibu
Paman kandung
Dasar Pembagian
½
1/3
Sisa/’ashabah
Asal masalah : 6
Bagian ahli waris
3
2
1
           
            Kemudian, kita gugurkan bagian suami dengan imbalan rumah tadi. Dengan demikian, jumlah harta waris yang tersisa adalah 3 (2 bagian untuk ibu dan 1 bagian untuk paman).
Kadar satu bagian : 3.000 : 3 = 1.000 pound.


Harta waris yang diperoleh ibu dan paman adalah sebagai berikut:
-              Ibu   : 2 x 1.000 = 2.000 pound (Rp 28.440.000,00)
-           Paman : 1 x 1.000 = 1.000 pound (Rp 14.220.000,00)
Dalam kasus ini, tidak boleh dikatakan bahwa ketika suami sudah keluar dari kelompok ahli waris, proses pembagian harta waris dilakukan sebagaimana suami tidak ada atau sudah meninggal, sehingga harta waris dibagikan hanya untuk ibu dan paman. Sebab, jika kita melakukan itu, pasti akan membawa perubahan pada bagian ibu yaitu dari sepertiga (1/3) bagian tetap menjadi (1/3) bagian sisa yaitu 1.000 pound, setelah diambil oleh suami. Kalau hal ini dilakukan, berarti kita menyalahi ijma’ yang menyebutkan bahwa ibu mendapatkan (1/3) dari harta waris dalam masalah ini. Hal tersebut tidak sesuai dengan akad takharuj, di mana mereka berdua rela meninggalkan bagiannya, ditukar dengan uang atau barang yang lain.





















  Dalam pembagian warisan, terkadang seorang ahli waris yang bukan mahjub dan bukan mamnu, tidak menerima bagian. Bagian yang seharusnya mereka terima dalam pewarisan itu diberikan kepada seorang atau beberapa orang ahli waris lainnya sesuai dengan perjanjian yang mereka lakukan. Perjanjian pengoperan pembagian seorang atau beberapa orang ahli waris kepada seorang atau beberapa orang ahli waris lainnya disebut at-Takharuj. Perjanjian itu disebut at-Takharuj karena adanya mutakharaj (متخر ج (, yaitu pihak yang diundurkan, setelah diberi prestasi atau imbalan oleh soerang atau beberapa orang ahli waris lainnya.

Oleh karena itu, sebagai seorang muslim kita wajib mempelajari Fiqh Mawarist yang bertujuan untuk mencegah perselisihan-perselisihan dalam pembagian harta waris, sehingga orang yang memperalajarinya mempunyai kedudukan tinggi dan mendapatkan pahala yang besar. Ini dikarenakan ilmu faraidh merupakan bagian dari ilmu-ilmu Qur’ani dan produk agama.


















Aldizar, Addys Lc. Hukum Waris, terjemahan Ahkamul Mawaarits fil Fiqhil Islami. 2004. Jakarta: Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar, Mesir

Drs Fatchurrahman, Ilmu Waris. 1987. Bandung: PT Al-Ma;rif

Usman, Suparman. Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam. 1997. Jakarta: Gaya   
    Media Pratama

Takmilah Radd al-Mukhtar, juz II hal,. 186 dan Syarh as-Sirajiyyah, hlm. 236








[1]  Fiqh mawaris hukum kewarisan Islam, Jakarta, 1997, gaya media pratama, drs. H. Suparman Usman, sh, drs. Yusuf Somawinata
[2]Ilmu waris, drs. Fatchurrahman, 1987, pt al ma’arif, Bandung
[3]  Dalam Kitab Syarh as-Sirajjiyah, as-Sayyid as-Syarif, halaman: 237; at-Tirkah wal-mirats, Dr. Muhammad Yusuf Musa, halaman: 375.
[4] Ilmu waris, drs Fatchurrahman, 1987, pt al ma’arif, Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar