Negara dan Pengelolaan Zakat
PERLUKAH negara mengambil alih
pengelolaan zakat? Dalam pertanyaan yang lebih 'lunak', seberapa jauh harusnya
negara berperan dalam pengelolaan zakat? Pertanyaan ini telah sangat mengusik
banyak lembaga pengumpul dan distribusi zakat serta infak dan sedekah (ZIS).
Karena itu, tidak heran, dalam beberapa bulan terakhir ini, berbagai diskusi,
seminar, dan lokakarya diselenggarakan lembaga-lembaga tersebut, baik yang
berbasis ormas Islam, masjid, maupun LSM. Saya sendiri beberapa kali diundang
untuk menyampaikan pandangan, khususnya dalam perspektif sejarah, perbandingan,
dan masyarakat madani.
Meningkatnya pembahasan dan
kajian tentang peranan pemerintah dalam pengelolaan zakat khususnya tidak lepas
dari rencana pemerintah (dalam hal ini Kementerian Agama) melalui hak inisiatif
DPR RI untuk mengajukan RUU tentang pengelolaan zakat. RUU ini semula hanya
merupakan revisi atau perubahan dari UU No 38 Tahun 1999 tentang Zakat yang
masih berlaku. Ternyata, draf yang beredar bukan sekadar revisi, melainkan
sebuah RUU tentang pengelolaan zakat yang relatif baru sama sekali.
Pekan lalu, Komisi VIII DPR RI
mulai membahas draf RUU tentang pengelolaan zakat tersebut dengan mengundang
organisasi Islam, seperti ICMI, NU, Muhammadiyah, al-Irsyad, Mathla'ul Anwar,
serta Forum Masyarakat Sadar Zakat dan Pajak Indonesia. ICMI sendiri telah
membentuk pokja RUU tersebut agar dapat mengkajinya dari berbagai segi untuk
kemudian dapat merumuskan pokok-pokok pikiran yang komprehensif. Hasilnya adalah
naskah akademis untuk 'memperkaya' RUU tersebut, yang dilengkapi usulan
perbaikan dan tambahan RUU itu, ayat demi ayat, serta penjelasan yang relatif
ekstensif.
Secara umum, para pembahas yang
mewakili organisasi hampir sepakat tentang urgensi peningkatan pengelolaan
zakat dalam berbagai seginya sehingga pada gilirannya dana zakat dapat membantu
pengurangan kemiskinan yang masih melanda kalangan umat. Pertanyaannya, apakah
negara perlu mengambil alih pengelolaan zakat dengan hanya menyisakan sedikit ruang
yang tidak terlalu jelas bagi 'masyarakat' untuk memainkan perannya yang selama
ini sangat krusial.
Seperti yang saya dengar dalam
berbagai forum pembahasan RUU pengelolaan zakat itu, ICMI beserta hampir
seluruh organisasi lainnya dalam dengar pendapat dengan Komisi VIII DPR
menyatakan, pemerintah sebaiknya berperan sebagai regulator dan pengawas
pemungutan dan distribusi dana zakat. Pemerintah hendaknya tidak memainkan
peran sebagai 'operator' sebagaimana tecermin dalam RUU tersebut. RUU itu
dengan jelas memperlihatkan, pemerintah ingin mengontrol pengelolaan zakat
hampir sepenuhnya. Misalnya, pemerintah memiliki otoritas terhadap pembentukan
Badan Pengelola Zakat (BPZ) sejak dari tingkat nasional sampai tingkat provinsi
dan kota/kabupaten (BPZ provinsi dan BPZ kabupaten/kota). BPZ pada ketiga
tingkat ini berfungsi memberikan izin kepada Lembaga Amil Zakat (LAZ) sejak
dari tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. LAZ ini selanjutnya dapat
membentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) dari warga negara Muslim. Akan tetapi,
tidak jelas siapa dan pihak mana saja yang boleh mendirikan LAZ dan UPZ
tersebut.
Di mana peran masyarakat? Sekali
lagi, tidak ada keterangan yang terlalu jelas, khususnya pasal-pasal RUU yang
berbicara tentang LAZ. Pasal tersebut hanya menyebutkan masyarakat dan ormas
Islam berperan serta: mengawasi pengumpulan, pendistribusian, serta
pendayagunaan zakat dan harta, selain zakat yang dilakukan melalui LAZ;
mengumpulkan zakat melalui LAZ; dan meningkatkan kesadaran umat Islam melakukan
pembayaran zakat melalui LAZ. Bahkan, tidak ada pasal tentang UPZ yang hampir
bisa dipastikan merupakan ujung tombak pengumpulan (dan distribusi?) zakat dari
umat Muslim pada tingkat akar rumput.
Padahal, secara historis, zakat
(termasuk infak dan sedekah) selama berabad-abad telah dikelola masyarakat
sendiri, entah itu melalui badan/lembaga amil zakat (LAZIS) yang ada pada
setiap organisasi Islam, lewat amil ZIS yang ada di masjid-masjid dan
lingkungan sekitar, serta juga lewat LSM filantropi Islam semacam Dompet
Dhuafa. Meskipun pengelolaannya sebagian besar masih konvensional, berkat ZIS
itulah ormas-ormas Islam dapat mendirikan pesantren, madrasah, sekolah Islam,
rumah sakit, klinik, dan bahkan dalam batas tertentu juga operasional
ormas-ormas tersebut, khususnya dengan dana infak, sedekah, hibah, dan
seterusnya. Berkat ZIS itulah, ormas-ormas Islam memiliki independensi vis-a-vis
negara, utamanya karena tidak tergantung sama sekali pada bantuan atau subsidi
negara. Karena independensi itu pula, ormas-ormas Islam dapat memainkan peran
sebagai masyarakat madani berbasis Islam (Islamic-based civil society),
yang tentu saja sangat vital bagi pembentukan civic culture, sebuah
elemen amat penting bagi penguatan demokrasi.
Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Polemik Pengelolaan Zakat
Laporan: abdullah sajad
Praktek pengelolaan zakat dalam
Sejarah Indonesia tidak lepas dari praktek yang ada di dunia Islam sejak abad
13-17 masehi. Di masa Kolonial, pengelolaan ini diserahkan pada masyarakat,
negara kolonial menghindari campur tangan, dengan berkembangnya pesantren,
madrasah, dan organisasi civil society Islam, filantropi berkembang dengan
sendirinya. Filantropi memberi sumbangan besar untuk kemerdekaan Republik
Indonesia pada zaman kemerdekaan, misalnya di Aceh, di Pulau Jawa, dan beberapa
daerah lainnya. Pada zaman orde lama, negara hanya memberikan supervisi, dan
orde baru, negara mulai terlibat dan ikut mengelola melalui baziz. Filantropi
Islam di Indonesia tidak lepas dari peran lembaga-lembaga yang dikelola oleh
masyarakat seperti LAZ, lembaga-lembaga di bawah ormas seperti Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama.
Hal ini disampaikan oleh Amelia
Fauzia, direktur CSRC yang menyelesaikan doktornya tentang Filantropi Islam di
Melbourne University Australia, dalam Roundtable discussion dengan tema
“Kontestasi agama dan negara dalam pengelolaan filantropi Islam: mengkritisi
RUU Zakat” di CSRC UIN Jakarta pada 18 Maret 2009 pada pukul 14.00 Wib
Di masa reformasi, Amelia melihat
bahwa kontestasi agama dan negara semakin terlihat dimana terdapat dua jenis
lembaga filantropi yang diakui yaitu BAZ (pemerintah) dan LAZ (civil society).
Survey CSRC (2004/5) menemukan bahwa baru sekitar 5% masyarakat Muslim yang
menyalurkan zakat mereka ke lembaga ini. Sebagian besar masih menyalurkan ke
organisasi dan lembaga-lembaga Islam (termasuk pesantren, madrasah, dan
masjid), kepada tokoh agama, dan langsung kepada fakir miskin. Selain itu
survey juga menemukan masih rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada BAZ
dibarengi dengan tingginya tingkat kepercayaan terhadap LAZ. Peningkatan
terlihat dengan berkembangnya LAZ seperti Dompet Duafa yang setiap tahun
mengalami peningkatan pengumpulan dana zakat.
Kontestasi
RUU Zakat
UU Pengelolaan Zakat no 38 saat ini
sedang digodok untuk diamandemen/diganti. Saat ini ada dua draft penting yang
diusulkan, pertama adalah draft Amandemen RUU Zakat yang diusulkan oleh Depag
RI dan draft RUU Zakat usulan DPR RI. Dalam “perang” draft ini terlihat
kontestasi antara civil society dan negara, di mana terdapat
kecenderungan pemerintah yang ingin mengambil peran pengelolaan zakat dari
masyarakat dan civil society yang mempertahankan pengelolaan zakat
supaya tidak diambil oleh pemerintah.
Isu krusial yang ada adalah kewajiban
zakat (hukuman denda bagi Muslim yang lalai), kelembagaan (sentralisasi
pengelolaan zakat, pembentukan lembaga baru, menghilangkan/merger lembaga
lama), pidana bagi individu/lembaga yang mengelola zakat tapi tidak berhak, dan
zakat sebagai pengurang pajak.
Amelia melihat bahwa Depag, BAZ, LAZ
dan organisasi/lembaga Islam, dan tokoh agama harus berdialog dan mendiskusikan
hal ini dengan serius agar tidak terjadi upaya-upaya “penjegalan” yang nantinya
malah kontra produktif dan berakibat negatif bagi masa depan filantropi Islam.
Pentingnya ada lembaga independen
yang berlaku sebagai regulator dan pengawas. Juga, menurut Amelia,
pengelolaan zakat sebaiknya dilakukan oleh lembaga-lembaga non-pemerintah,
sebab terlihat dari sejarah filantropi Islam di Indonesia, civil society
memang dengan sendirinya telah melakukan fundrising dari tingkat ustadz-ustadz
kampung, sampai lembaga profesional swasta. Tugas pemerintah adalah untuk
mengawasi.
Diskusi
yang Alot
Dengan dihadiri oleh sekitar 30
orang, diskusi berlangsung dengan hangat. Beberapa anggota diskusi yang datang
mengatakan bahwa peran negara dalam pengelolaan zakat ini memang perlu
didiskusikan dengan serius.
Aflah dari Forum Zakat (FOZ),
misalnya mengatakan, bahwa dulu lembaganya telah dengan sangat sabar membuat
blue print zakat dan mengumpulkan anggota dari pegiat zakat, namun memang belum
ada kesepakatan penuh terhadap konsep tersebut. Padahal, menurutnya, tahun 2015
lembaganya memproyeksikan ada satu operator zakat nasional, tapi itu tidak
disepakati.
Sedangkan Nana, dari DD,
menyampaikan bahwa pentingnya pengelolaan Zakat dikembalikan pada masyarakat
sipil, baik BAZ maupun LAZ. Community-based organization perlu dikembangkan di
tiap daerah, dan disesuaikan dengan lokalitas daerah. Zakat yang paling pokok
adalah dampaknya dapat mensejahterakan masyarakat.
Irfan Abubakar menyampaikan bahwa
yang paling penting adalah Kebijakan publik pemerintah tidak boleh cenderung
mendominasi, menurut Habermas, dibutuhkan komunikasi yang baik untuk
mendiskusikan kebijakan publik agar semua pihak dapat menerima kebijakan
tersebut.
Selanjutnya Irfan menambahkan,
Persoalannya lebih pada proses pembentukan kebijakan publik. Kebijakan tidak
boleh diambil dari kebekuan masyarakat, kemudian hanya mencontoh negara
tetangga seolah berhasil oleh keterlibatan pemerintah, karena negara Indonesia
sangat berbeda dengan negara-negara kecil di sebelahnya.
Disampaikan pula oleh Armein, dari
LAZ BNI yang telah melakukan pengelolaan dana zakat sejak bank ini berdiri. Ini
merupakan bentuk kepedulian perbankan dalam pengelolaan dana zakat.
Abby dari YLBHI, melihat bahwa RUU
itu sebenarnya mengatur BAZ. UU itu hanya 2 pasal mengatur LAZ, artinya UU itu
tidak komprehensif mengatur zakat secara menyeluruh. Dan tidak jelas siapa yang
mengatur zakat.
Walau demikian, lanjut Abby, peran
masyarakat tidak bisa dinafikan oleh negara. Pemerintah sebagai regulator,
pengawasan, melindungi kepentingan masyarakat, pemerintah menjamin apa yang
sudah disepakati oleh civil society. Membiarkan yang sudah hidup di
masyarakat adalah keniscayaan.
Herman juga menambahkan bahwa peran civil
society tidak boleh dikekang. Pemerintah menurutnya, seolah ingin “merebut”
sesuatu yang selama ini telah dilakukan oleh masyarakat. Padahal selama ini,
zakat dikelola sudah baik, ketika mengalami perubahan yang berbeda, ketika
berubah sistemnya, akan kita lihat penurunan grafik pemasukan zakatnya. Saya
tidak tahu, berapa tahun lagi pemerintah akan bisa membuat sistem yang baik
dalam pengelolaan zakat.
Padahal, menurut Herman, berapa dana
sosialisasi zakat yang telah dikeluarkan oleh lembaga zakat swasta dalam 10
tahun terakhir ini, untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya zakat. Dia
berharap, pemerintah harus melihat pertumbuhan zakat ini sebagai nilai positif,
dan ikut senang, dengan apa yang dilakukan oleh pegiat zakat, dengan membuat
kebijakan yang mendukung civil society, dan bukan malah “membunuh” peran
civil society.
Arifin juga melihat bahwa Dakwah
zakat dilakukan oleh publik. Ajakan zakat itu pun dilakukan oleh dana zakat
itu. Sosialisasi zakat selama bertahun-tahun ini pun dilakukan dengan dana
zakat. Dia melihat, pengelolaan dana zakat oleh pemerintah dengan pemusatan
ini, akan memboroskan energi. Karena ketika dana zakat dikumpulkan di pusat,
kemudian didistribusikan itu akan menyulitkan.
Diskusi yang dimoderatori oleh Rita
Pranawati, ketua program Filantropi di CSRC UIN Jakarta, memandu acara dengan
asyik. Diskusi yang berjalan sekitar 2,5 jam ini tentu mendapatkan point-point
penting untuk kembali didiskuiskan dengan serius pada edisi selanjutnya.
Idris Hemay, koordinator diskusi
bulanan CSRC UIN Jakarta, mengatakan bahwa diskusi ini, akan dikembangkan pada
seminar yang akan mengundang berbagai pihak yang menjadi stakeholder filantropi
Islam di Indonesia. Demi perbaikan dan pengembangan filantropi Islam untuk
keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia. (copyright csrc uin jakarta)
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat.
2. Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
3. Muzakki adalah orang atau badan yang dimiliki oleh orang muslim yang berkewajiban menunaikan zakat.
4. Mustahiq adalah orang atau badan yang berhak menerima zakat.
5. Agama adalah agama Islam.
6. Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi bidang agama.
Pasal 2
Setiap
warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan yang dimiliki
oleh orang muslim berkewajiban menunaikan zakat.
Pasal 3
Pemerintahan
berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan dan pelayanan kepada muzzaki,
mustahiq, dan amil zakat.
BAB II ASAS DAN TUJUAN
Pasal 4 Pengelolaan zakat berasaskan iman dan takwa, keterbukaan, dan kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 5
Pengelolaan zakat bertujuan:
1. meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan agama;
2. meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial;
3. meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.
BAB III ORGANISASI PENGELOLAAN ZAKAT
Pasal 61. Pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat yang dibentuk oleh pemerintah.
2. Pembentukan badan amil zakat:
a. nasional oleh Presiden atas usul Menteri;
b. daerah propinsi oleh gubernur atas usul kepala kantor wilayah departemen agama propinsi;
c. daerah kabupaten atau daerah kota oleh bupati atau wali kota atas usul kepala kantor departemen agama kabupaten atau kota;
d. kecamatan oleh camat atas usul kepala kantor urusan agama kecematan.
3. Badan amil zakat di semua tingkatan memiliki hubungan kerja yang bersifat koordinatif, konsultatif, dan informatif.
4. Pengurus badan amil zakat terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah yang memenuhi persyaratan tertentu.
5. Organisasi badan amil zakat terdiri atas unsur pertimbangan, unsur pengawas, dan unsur pelaksana.
Pasal 7
Lembaga amil zakat dikukuhkan, dibina dan dilindungi oleh pemerintah. Lembaga amil zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan yang diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 8
Badan amil zakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan lembaga amil zakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 mempunyai tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.
Pasal 9
Dalam melaksanakan tugasnya, badan amil zakat dan lembaga amil zakat bertanggung jawab kepada pemerintah sesuai dengan tingkatannya.
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi dan tata kerja badan amil zakat ditetapkan dengan keputusan menteri.
BAB IV PENGUMPULAN ZAKAT
Pasal 111. Zakat terdiri atas zakat mal dan zakat fitrah.
2. Harta yang dikenai zakat adalah:
a. emas,perak, dan uang;
b. perdagangan dan perusahaan;
c. hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan;
d. hasil pertambangan;
e. hasil peternakan;
f. hasil pendapatan dan jasa;
g. rikaz
3. Penghitungan zakat mal menurut nishab, kadar, dan waktunya ditetapkan berdasarkan hukum agama.
Pasal 12
1.
Pengumpulan zakat dilakukan oleh badan amil zakat dengan cara menerima atau
mengambil dari muzzaki atas dasar pemberitahuan muzzaki. 2. Badan amil zakat dapat bekerja sama dengan bank dalam pengumpulan zakat harta muzzaki yang berada di bank atas permintaan muzzaki.
Pasal 13
Badan
amil zakat dapat menerima harta selain zakat, seperti infaq, shadaqah, hibah,
wasiat, waris, dan kafarat.
Pasal 14
1.
Muzzaki melakukan penghitungan sendiri hartanya dan kewajiban zakatnya berdasarkan
hukum agama.2. Dalam hal tidak dapat menghitung sendiri hartanya dan kewajiban zakatnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) muzzaki dapat meminta bantuan kepada badan amil zakat atau badan amil zakat memberikan bantuan kepada muzzaki untuk menghitungnya.
3. Zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat ata lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 15
Lingkup
kewenangan pengumpulan zakat oleh badan amil zakat ditetapkan dengan keputusan
menteri.
BAB V PENDAYAGUNAAN ZAKAT
Pasal 161. Hasil pengumpulan zakat didayagunakan untuk mustahiq sesuai dengan ketentuan agama.
2. Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat berdasarkan skala prioritas kebutuhan mustahiq dan dapat dimanfaatkan untuk usaha yang produktif.
3. Persyaratan dan prosedur pendayagunaan hasil pengumpulan zakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan keputusan menteri.
Pasal 17
Hasil
penerimaan infaq, shadaqa, hibah, wasiat, waris, dan kafarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 didayagunakan terutama untuk usaha yang produktif .
BAB VI PENGAWASAN
Pasal 181. Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas badan amil zakat dilakukan oleh unsur pengawas sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 6 ayat (5).
2. Pimpinan unsur pengawas dipilih langsung oleh anggota.
3. Unsur pengawas berkedudukan di semua tingkatan badan amil zakat.
4. Dalam melakukan pemeriksaan keuangan badan amil zakat, unsur pengawas dapat emminta bantuan akuntan publik.
Pasal 19
Badan
amil zakat memberikan laporan tahunan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Indonesia atau kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai
dengan tingkatannya.
Pasal 20
Masyarakat
dapat berperan serta dalam pengawasan badan amil zakat dan lembaga amil zakat.
BAB VII SANKSI
Pasal 211. Setiap pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak mencatat atau mencatat dengan tidak benar harta zakat, infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat sabagimana dimaksudkan dalam Pasal 8, Pasal 12, dan Pasal 13 dalam undang-undang ini diancam dengan hukuman kurunngan selama-lamanya tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyanya Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah).
2. Tindak pidana yang dimaksud pada ayat (1) di atas merupakan pelanggaran.
3. Setiap petugas badan amil zakat dan petugas lembaga amil zakat yang melakukan tindak pidana kejahatan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VIII KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Pasal 22Dalam hal muzzaki berada atau menetap di luar negeri, pengumpulan zakatnya dilakukan oleh unit pengumpul zakat pada perwakilan Repulik Indonesia, yang selanjutnya diteruskan kepada badan amil zakat Nasional.
Pasal 23
Dalam
menunjang pelaksanaan tugas badan amil zakat sebagaimana dimaksudkan dalam
Pasal 8, pemerintah wajib membantu biaya operasional badan amil zakat.
BAB IX KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 24Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan zakat masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.
2. Selambat-lambatnya dua tahn sejak diundangkannya undang-undang ini, setiap organisasi pengelola zakat yang telah ada wajib menyesuaikan menurut ketentuan Undang-undang ini.
BAB X PENUTUP
Pasal 25Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundang Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar