Selamat datang di duniaku

Sabtu, 08 Desember 2012

Negara dan Pengelolaan Zakat


Negara dan Pengelolaan Zakat
PERLUKAH negara mengambil alih pengelolaan zakat? Dalam pertanyaan yang lebih 'lunak', seberapa jauh harusnya negara berperan dalam pengelolaan zakat? Pertanyaan ini telah sangat mengusik banyak lembaga pengumpul dan distribusi zakat serta infak dan sedekah (ZIS). Karena itu, tidak heran, dalam beberapa bulan terakhir ini, berbagai diskusi, seminar, dan lokakarya diselenggarakan lembaga-lembaga tersebut, baik yang berbasis ormas Islam, masjid, maupun LSM. Saya sendiri beberapa kali diundang untuk menyampaikan pandangan, khususnya dalam perspektif sejarah, perbandingan, dan masyarakat madani.
Meningkatnya pembahasan dan kajian tentang peranan pemerintah dalam pengelolaan zakat khususnya tidak lepas dari rencana pemerintah (dalam hal ini Kementerian Agama) melalui hak inisiatif DPR RI untuk mengajukan RUU tentang pengelolaan zakat. RUU ini semula hanya merupakan revisi atau perubahan dari UU No 38 Tahun 1999 tentang Zakat yang masih berlaku. Ternyata, draf yang beredar bukan sekadar revisi, melainkan sebuah RUU tentang pengelolaan zakat yang relatif baru sama sekali.
Pekan lalu, Komisi VIII DPR RI mulai membahas draf RUU tentang pengelolaan zakat tersebut dengan mengundang organisasi Islam, seperti ICMI, NU, Muhammadiyah, al-Irsyad, Mathla'ul Anwar, serta Forum Masyarakat Sadar Zakat dan Pajak Indonesia. ICMI sendiri telah membentuk pokja RUU tersebut agar dapat mengkajinya dari berbagai segi untuk kemudian dapat merumuskan pokok-pokok pikiran yang komprehensif. Hasilnya adalah naskah akademis untuk 'memperkaya' RUU tersebut, yang dilengkapi usulan perbaikan dan tambahan RUU itu, ayat demi ayat, serta penjelasan yang relatif ekstensif.
Secara umum, para pembahas yang mewakili organisasi hampir sepakat tentang urgensi peningkatan pengelolaan zakat dalam berbagai seginya sehingga pada gilirannya dana zakat dapat membantu pengurangan kemiskinan yang masih melanda kalangan umat. Pertanyaannya, apakah negara perlu mengambil alih pengelolaan zakat dengan hanya menyisakan sedikit ruang yang tidak terlalu jelas bagi 'masyarakat' untuk memainkan perannya yang selama ini sangat krusial.
Seperti yang saya dengar dalam berbagai forum pembahasan RUU pengelolaan zakat itu, ICMI beserta hampir seluruh organisasi lainnya dalam dengar pendapat dengan Komisi VIII DPR menyatakan, pemerintah sebaiknya berperan sebagai regulator dan pengawas pemungutan dan distribusi dana zakat. Pemerintah hendaknya tidak memainkan peran sebagai 'operator' sebagaimana tecermin dalam RUU tersebut. RUU itu dengan jelas memperlihatkan, pemerintah ingin mengontrol pengelolaan zakat hampir sepenuhnya. Misalnya, pemerintah memiliki otoritas terhadap pembentukan Badan Pengelola Zakat (BPZ) sejak dari tingkat nasional sampai tingkat provinsi dan kota/kabupaten (BPZ provinsi dan BPZ kabupaten/kota). BPZ pada ketiga tingkat ini berfungsi memberikan izin kepada Lembaga Amil Zakat (LAZ) sejak dari tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. LAZ ini selanjutnya dapat membentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) dari warga negara Muslim. Akan tetapi, tidak jelas siapa dan pihak mana saja yang boleh mendirikan LAZ dan UPZ tersebut.
Di mana peran masyarakat? Sekali lagi, tidak ada keterangan yang terlalu jelas, khususnya pasal-pasal RUU yang berbicara tentang LAZ. Pasal tersebut hanya menyebutkan masyarakat dan ormas Islam berperan serta: mengawasi pengumpulan, pendistribusian, serta pendayagunaan zakat dan harta, selain zakat yang dilakukan melalui LAZ; mengumpulkan zakat melalui LAZ; dan meningkatkan kesadaran umat Islam melakukan pembayaran zakat melalui LAZ. Bahkan, tidak ada pasal tentang UPZ yang hampir bisa dipastikan merupakan ujung tombak pengumpulan (dan distribusi?) zakat dari umat Muslim pada tingkat akar rumput.
Padahal, secara historis, zakat (termasuk infak dan sedekah) selama berabad-abad telah dikelola masyarakat sendiri, entah itu melalui badan/lembaga amil zakat (LAZIS) yang ada pada setiap organisasi Islam, lewat amil ZIS yang ada di masjid-masjid dan lingkungan sekitar, serta juga lewat LSM filantropi Islam semacam Dompet Dhuafa. Meskipun pengelolaannya sebagian besar masih konvensional, berkat ZIS itulah ormas-ormas Islam dapat mendirikan pesantren, madrasah, sekolah Islam, rumah sakit, klinik, dan bahkan dalam batas tertentu juga operasional ormas-ormas tersebut, khususnya dengan dana infak, sedekah, hibah, dan seterusnya. Berkat ZIS itulah, ormas-ormas Islam memiliki independensi vis-a-vis negara, utamanya karena tidak tergantung sama sekali pada bantuan atau subsidi negara. Karena independensi itu pula, ormas-ormas Islam dapat memainkan peran sebagai masyarakat madani berbasis Islam (Islamic-based civil society), yang tentu saja sangat vital bagi pembentukan civic culture, sebuah elemen amat penting bagi penguatan demokrasi.
Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Polemik Pengelolaan Zakat
Laporan: abdullah sajad
Praktek pengelolaan zakat dalam Sejarah Indonesia tidak lepas dari praktek yang ada di dunia Islam sejak abad 13-17 masehi. Di masa Kolonial, pengelolaan ini diserahkan pada masyarakat, negara kolonial menghindari campur tangan, dengan berkembangnya pesantren, madrasah, dan organisasi civil society Islam, filantropi berkembang dengan sendirinya. Filantropi memberi sumbangan besar untuk kemerdekaan Republik Indonesia pada zaman kemerdekaan, misalnya di Aceh, di Pulau Jawa, dan beberapa daerah lainnya. Pada zaman orde lama, negara hanya memberikan supervisi, dan orde baru, negara mulai terlibat dan ikut mengelola melalui baziz. Filantropi Islam di Indonesia tidak lepas dari peran lembaga-lembaga yang dikelola oleh masyarakat seperti LAZ, lembaga-lembaga di bawah ormas seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. 
Hal ini disampaikan oleh Amelia Fauzia, direktur CSRC yang menyelesaikan doktornya tentang Filantropi Islam di Melbourne University Australia, dalam Roundtable discussion dengan tema “Kontestasi agama dan negara dalam pengelolaan filantropi Islam: mengkritisi RUU Zakat” di CSRC UIN Jakarta pada 18 Maret 2009 pada pukul 14.00 Wib
Di masa reformasi, Amelia melihat bahwa kontestasi agama dan negara semakin terlihat dimana terdapat dua jenis lembaga filantropi yang diakui yaitu BAZ (pemerintah) dan LAZ (civil society). Survey CSRC (2004/5) menemukan bahwa baru sekitar 5% masyarakat Muslim yang menyalurkan zakat mereka ke lembaga ini. Sebagian besar masih menyalurkan ke organisasi dan lembaga-lembaga Islam (termasuk pesantren, madrasah, dan masjid), kepada tokoh agama, dan langsung kepada fakir miskin. Selain itu survey juga menemukan masih rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada BAZ dibarengi dengan tingginya tingkat kepercayaan terhadap LAZ. Peningkatan terlihat dengan berkembangnya LAZ seperti Dompet Duafa yang setiap tahun mengalami peningkatan pengumpulan dana zakat.
Kontestasi RUU Zakat
UU Pengelolaan Zakat no 38 saat ini sedang digodok untuk diamandemen/diganti. Saat ini ada dua draft penting yang diusulkan, pertama adalah draft Amandemen RUU Zakat yang diusulkan oleh Depag RI dan draft RUU Zakat usulan DPR RI. Dalam “perang” draft ini terlihat kontestasi antara civil society dan negara, di mana terdapat kecenderungan pemerintah yang ingin mengambil peran pengelolaan zakat dari masyarakat dan civil society yang mempertahankan pengelolaan zakat supaya tidak diambil oleh pemerintah.
Isu krusial yang ada adalah kewajiban zakat (hukuman denda bagi Muslim yang lalai), kelembagaan (sentralisasi pengelolaan zakat, pembentukan lembaga baru, menghilangkan/merger lembaga lama), pidana bagi individu/lembaga yang mengelola zakat tapi tidak berhak, dan zakat sebagai pengurang pajak.
Amelia melihat bahwa Depag, BAZ, LAZ dan organisasi/lembaga Islam, dan tokoh agama harus berdialog dan mendiskusikan hal ini dengan serius agar tidak terjadi upaya-upaya “penjegalan” yang nantinya malah kontra produktif dan berakibat negatif bagi masa depan filantropi Islam.
Pentingnya ada lembaga independen yang berlaku sebagai regulator dan pengawas.  Juga, menurut Amelia, pengelolaan zakat sebaiknya dilakukan oleh lembaga-lembaga non-pemerintah, sebab terlihat dari sejarah filantropi Islam di Indonesia, civil society memang dengan sendirinya telah melakukan fundrising dari tingkat ustadz-ustadz kampung, sampai lembaga profesional swasta. Tugas pemerintah adalah untuk mengawasi.

Diskusi yang Alot
Dengan dihadiri oleh sekitar 30 orang, diskusi berlangsung dengan hangat. Beberapa anggota diskusi yang datang mengatakan bahwa peran negara dalam pengelolaan zakat ini memang perlu didiskusikan dengan serius.
Aflah dari Forum Zakat (FOZ), misalnya mengatakan, bahwa dulu lembaganya telah dengan sangat sabar membuat blue print zakat dan mengumpulkan anggota dari pegiat zakat, namun memang belum ada kesepakatan penuh terhadap konsep tersebut. Padahal, menurutnya, tahun 2015 lembaganya memproyeksikan ada satu operator zakat nasional, tapi itu tidak disepakati.
Sedangkan Nana, dari DD, menyampaikan bahwa pentingnya pengelolaan Zakat dikembalikan pada masyarakat sipil, baik BAZ maupun LAZ. Community-based organization perlu dikembangkan di tiap daerah, dan disesuaikan dengan lokalitas daerah. Zakat yang paling pokok adalah dampaknya dapat mensejahterakan masyarakat.
Irfan Abubakar menyampaikan bahwa yang paling penting adalah Kebijakan publik pemerintah tidak boleh cenderung mendominasi, menurut Habermas, dibutuhkan komunikasi yang baik untuk mendiskusikan kebijakan publik agar semua pihak dapat menerima kebijakan tersebut.
Selanjutnya Irfan menambahkan, Persoalannya lebih pada proses pembentukan kebijakan publik. Kebijakan tidak boleh diambil dari kebekuan masyarakat, kemudian hanya mencontoh negara tetangga seolah berhasil oleh keterlibatan pemerintah, karena negara Indonesia sangat berbeda dengan negara-negara kecil di sebelahnya.
Disampaikan pula oleh Armein, dari LAZ BNI yang telah melakukan pengelolaan dana zakat sejak bank ini berdiri. Ini merupakan bentuk kepedulian perbankan dalam pengelolaan dana zakat.
Abby dari YLBHI, melihat bahwa RUU itu sebenarnya mengatur BAZ. UU itu hanya 2 pasal mengatur LAZ, artinya UU itu tidak komprehensif mengatur zakat secara menyeluruh. Dan tidak jelas siapa yang mengatur zakat.
Walau demikian, lanjut Abby, peran masyarakat tidak bisa dinafikan oleh negara. Pemerintah sebagai regulator, pengawasan, melindungi kepentingan masyarakat, pemerintah menjamin apa yang sudah disepakati oleh civil society. Membiarkan yang sudah hidup di masyarakat adalah keniscayaan.
Herman juga menambahkan bahwa peran civil society tidak boleh dikekang. Pemerintah menurutnya, seolah ingin “merebut” sesuatu yang selama ini telah dilakukan oleh masyarakat. Padahal selama ini, zakat dikelola sudah baik, ketika mengalami perubahan yang berbeda, ketika berubah sistemnya, akan kita lihat penurunan grafik pemasukan zakatnya. Saya tidak tahu, berapa tahun lagi pemerintah akan bisa membuat sistem yang baik dalam pengelolaan zakat.
Padahal, menurut Herman, berapa dana sosialisasi zakat yang telah dikeluarkan oleh lembaga zakat swasta dalam 10 tahun terakhir ini, untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya zakat. Dia berharap, pemerintah harus melihat pertumbuhan zakat ini sebagai nilai positif, dan ikut senang, dengan apa yang dilakukan oleh pegiat zakat, dengan membuat kebijakan yang mendukung civil society, dan bukan malah “membunuh” peran civil society.
Arifin juga melihat bahwa Dakwah zakat dilakukan oleh publik. Ajakan zakat itu pun dilakukan oleh dana zakat itu. Sosialisasi zakat selama bertahun-tahun ini pun dilakukan dengan dana zakat. Dia melihat, pengelolaan dana zakat oleh pemerintah dengan pemusatan ini, akan memboroskan energi. Karena ketika dana zakat dikumpulkan di pusat, kemudian didistribusikan itu akan menyulitkan.
Diskusi yang dimoderatori oleh Rita Pranawati, ketua program Filantropi di CSRC UIN Jakarta, memandu acara dengan asyik. Diskusi yang berjalan sekitar 2,5 jam ini tentu mendapatkan point-point penting untuk kembali didiskuiskan dengan serius pada edisi selanjutnya.
Idris Hemay, koordinator diskusi bulanan CSRC UIN Jakarta, mengatakan bahwa diskusi ini, akan dikembangkan pada seminar yang akan mengundang berbagai pihak yang menjadi stakeholder filantropi Islam di Indonesia. Demi perbaikan dan pengembangan filantropi Islam untuk keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia. (copyright csrc uin jakarta)

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat.
2. Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
3. Muzakki adalah orang atau badan yang dimiliki oleh orang muslim yang berkewajiban menunaikan zakat.
4. Mustahiq adalah orang atau badan yang berhak menerima zakat.
5. Agama adalah agama Islam.
6. Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi bidang agama.
Pasal 2
Setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan yang dimiliki oleh orang muslim berkewajiban menunaikan zakat.
Pasal 3
Pemerintahan berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan dan pelayanan kepada muzzaki, mustahiq, dan amil zakat.

BAB II ASAS DAN TUJUAN

Pasal 4
Pengelolaan zakat berasaskan iman dan takwa, keterbukaan, dan kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 5
Pengelolaan zakat bertujuan:
1. meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan agama;
2. meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial;
3. meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.

BAB III ORGANISASI PENGELOLAAN ZAKAT

Pasal 6
1. Pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat yang dibentuk oleh pemerintah.
2. Pembentukan badan amil zakat:
a. nasional oleh Presiden atas usul Menteri;
b. daerah propinsi oleh gubernur atas usul kepala kantor wilayah departemen agama propinsi;
c. daerah kabupaten atau daerah kota oleh bupati atau wali kota atas usul kepala kantor departemen agama kabupaten atau kota;
d. kecamatan oleh camat atas usul kepala kantor urusan agama kecematan.
3. Badan amil zakat di semua tingkatan memiliki hubungan kerja yang bersifat koordinatif, konsultatif, dan informatif.
4. Pengurus badan amil zakat terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah yang memenuhi persyaratan tertentu.
5. Organisasi badan amil zakat terdiri atas unsur pertimbangan, unsur pengawas, dan unsur pelaksana.
Pasal 7
Lembaga amil zakat dikukuhkan, dibina dan dilindungi oleh pemerintah. Lembaga amil zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan yang diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 8
Badan amil zakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan lembaga amil zakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 mempunyai tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.
Pasal 9
Dalam melaksanakan tugasnya, badan amil zakat dan lembaga amil zakat bertanggung jawab kepada pemerintah sesuai dengan tingkatannya.
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi dan tata kerja badan amil zakat ditetapkan dengan keputusan menteri.

BAB IV PENGUMPULAN ZAKAT

Pasal 11
1. Zakat terdiri atas zakat mal dan zakat fitrah.
2. Harta yang dikenai zakat adalah:
a. emas,perak, dan uang;
b. perdagangan dan perusahaan;
c. hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan;
d. hasil pertambangan;
e. hasil peternakan;
f. hasil pendapatan dan jasa;
g. rikaz
3. Penghitungan zakat mal menurut nishab, kadar, dan waktunya ditetapkan berdasarkan hukum agama.
Pasal 12
1. Pengumpulan zakat dilakukan oleh badan amil zakat dengan cara menerima atau mengambil dari muzzaki atas dasar pemberitahuan muzzaki.
2. Badan amil zakat dapat bekerja sama dengan bank dalam pengumpulan zakat harta muzzaki yang berada di bank atas permintaan muzzaki.
Pasal 13
Badan amil zakat dapat menerima harta selain zakat, seperti infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat.
Pasal 14
1. Muzzaki melakukan penghitungan sendiri hartanya dan kewajiban zakatnya berdasarkan hukum agama.
2. Dalam hal tidak dapat menghitung sendiri hartanya dan kewajiban zakatnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) muzzaki dapat meminta bantuan kepada badan amil zakat atau badan amil zakat memberikan bantuan kepada muzzaki untuk menghitungnya.
3. Zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat ata lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 15
Lingkup kewenangan pengumpulan zakat oleh badan amil zakat ditetapkan dengan keputusan menteri.

BAB V PENDAYAGUNAAN ZAKAT

Pasal 16
1. Hasil pengumpulan zakat didayagunakan untuk mustahiq sesuai dengan ketentuan agama.
2. Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat berdasarkan skala prioritas kebutuhan mustahiq dan dapat dimanfaatkan untuk usaha yang produktif.
3. Persyaratan dan prosedur pendayagunaan hasil pengumpulan zakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan keputusan menteri.
Pasal 17
Hasil penerimaan infaq, shadaqa, hibah, wasiat, waris, dan kafarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 didayagunakan terutama untuk usaha yang produktif .

BAB VI PENGAWASAN

Pasal 18
1. Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas badan amil zakat dilakukan oleh unsur pengawas sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 6 ayat (5).
2. Pimpinan unsur pengawas dipilih langsung oleh anggota.
3. Unsur pengawas berkedudukan di semua tingkatan badan amil zakat.
4. Dalam melakukan pemeriksaan keuangan badan amil zakat, unsur pengawas dapat emminta bantuan akuntan publik.
Pasal 19
Badan amil zakat memberikan laporan tahunan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia atau kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan tingkatannya.
Pasal 20
Masyarakat dapat berperan serta dalam pengawasan badan amil zakat dan lembaga amil zakat.

BAB VII SANKSI

Pasal 21
1. Setiap pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak mencatat atau mencatat dengan tidak benar harta zakat, infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat sabagimana dimaksudkan dalam Pasal 8, Pasal 12, dan Pasal 13 dalam undang-undang ini diancam dengan hukuman kurunngan selama-lamanya tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyanya Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah).
2. Tindak pidana yang dimaksud pada ayat (1) di atas merupakan pelanggaran.
3. Setiap petugas badan amil zakat dan petugas lembaga amil zakat yang melakukan tindak pidana kejahatan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB VIII KETENTUAN-KETENTUAN LAIN

Pasal 22
Dalam hal muzzaki berada atau menetap di luar negeri, pengumpulan zakatnya dilakukan oleh unit pengumpul zakat pada perwakilan Repulik Indonesia, yang selanjutnya diteruskan kepada badan amil zakat Nasional.
Pasal 23
Dalam menunjang pelaksanaan tugas badan amil zakat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 8, pemerintah wajib membantu biaya operasional badan amil zakat.

BAB IX KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 24
Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan zakat masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.
2. Selambat-lambatnya dua tahn sejak diundangkannya undang-undang ini, setiap organisasi pengelola zakat yang telah ada wajib menyesuaikan menurut ketentuan Undang-undang ini.

BAB X PENUTUP

Pasal 25
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundang Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar