BAB I
PENDAHULUAN
Jika dikaitkan dengan
kaidah-kaidah ushuliyah yang merupakan pedoman dalam menggali hukum islam yang
berasal dari sumbernya, Al-Qur’an dan Hadits, kaidah FIQHIYAH merupakan
kelanjutannya, yaitu sebagai petunjuk operasional dalam peng-istinbath-an
hukum islam. Kaidah Fiqhiyah disebut juga sebaagai Kaidah Syari’iyah.
Adapun tujuannya adalah
untuk memudahkan Mujtahid dalam meng-istinbath-kan hukum yang sesuai
dengan tujuan syara dan kemaslahatan manusia. Sementara Imam Abu Muhammad
Izzuddin Ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah fiqhiyah adalah sebagai
suatu jalan untuk mendapat kemashalatan dan menolak kerusakan serta bagaimana
cara mensikapi kedua hal tersebut.
Adapun pengertian Kaidah
Fiqhiyah, dapat diurai dari kaidah dan Fiqih. Kaidah menurut Dr. Ahmad Muhammad
Asy- Syafi’i dalam buku Ushul Fiqh Islami adalah: “Hukum yang bersifat
universal (kulli) yang diikuti oleh satuan satuan hukum juz’i
yang banyak”. Sementara arti fiqih dari beberapa definisi
yang dikemukakan fuqaha’ berkisar pada rumusan berikut:2)
- Fiqh merupakan bagian dari Syaria’ah
- Hukum yang dibahas mencakup hukum amali
- Obyek hukum pada orang-orang
mukallaf
- Sumber hukum berdasarkan Al-Qur’an
dan as-Sunnah atau dalil lain yang bersumber pada kedua sumber utama tersebut
- Dilakukan dengan jalan istimbath atau
ijtihad sehingga kebenarannya kondisional dan temporer adanya.
DengandemikianpengertianKaidahFiqhiyahdapatdiartikandiantaranyasebagai,
“Hukum–hukum yang berkaitan dengan asas hukum yang dibangun oleh Syari’
serta tujuan-tujuan yang dimaksud dalam pensyariatannya“ (Ahmad Muhammad
Asy- Syafi’i 1983:5), atau “Sebagai suatu jalan untuk mendapatkan kemaslahatan
dan menolak kerusakan” (Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam).
BAB II
PEMBAHASAN
I. Pengertian
Kata “kaidah” diambil dari bahasa
Arab qa’idah, yang bentuk jamaknya adalah qawa’id. Kaidah berarti al bait
(fondasi – fondasi rumah) atau abstrak, seperti kalimat qawa’id ad-din (fondasi-fondasi
agama).
Dalam al Qur’an disebutkan :
....إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ
وَإِذْ يَرْفَعُ
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan
fondasi Baitullah bersama Ismail....(Q.S. al-baqoroh (2): 127)
....فَأَتَى اللَّهُ بُنْيَانَهُمْ مِنَ
الْقَوَاعِدِ ....
Artinya: .... maka Allah menghancurkan
fondasi-fondasi rumah mereka....(Q.S. an-Nahl [16]: 26).
Dalam dua ayat
tersebut, kata qawa’id berarti dasar-dasar atau fondasi-fondasi yang dijadikan
tempat untuk meninggikan bangunan. Adapun kata “fiqih” (fiqh), secara bahasa,
berarti pemahaman, sedangkan menurut istilah diartikan sebagai sebuah
pengetahuan tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat praktis (‘amaliyah) yang
diperoleh melalui proses ijtihad. Dengan demikian, kaidah fiqih (Qowa’id
fiqhiyyah) dapat diartikan sebagai dasar-dasar hukum mengenai perbuatan manusia
yang diperoleh melalui proses ijtihad.[1]
Kaidah Fiqih
Terperinci
Dalam kaidah ini
yang menjelaskan secara umum lima kaidah dasar, jadi bisa dikatakan lebih
banyak pembagian lagi. Dalam kaidah ini berisi tentang:
a. Tentang ijtihad
Artinya: sebuah
ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad yang lain.
Penjelasan : pengertian ijtihad dalam kaidah ini
adalah suatu keputusan hukum yang ditetapkan oleh seseorang, baik sebagai hakim
yang memutuskan suatu perkara, sebagai mukallaf yang hendak melaksanakannya
sendiri, atau sebagai seorang mujtahid. Sebuah ijtihad yang telah ditetapkan
memiliki kekuatan hukum pasti, sehingga tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad
yang lain. Contoh, ada seseorang sedang bingung mengenai arah kiblat ketika
hendak melaksanakan shalat, dan ia berijtihad pada satu arah tertentu. Namun pada
rakaat kedua, keyakinannya berubah pada arah yang lain, dan iapun menghadap ke
arah yang sesuai dengan keyakinan barunya itu. Dalam hal ini, keyakinan yang
kedua tidak bisa membatalkan keyakinan yang pertama. Artinya shalatnya tetap
sah dan bisa dilanjutkan ijtihad yang berbeda tersebut.[2]
b. Tentang Ketentuan Hukum Haram
Kaidah Pertama
Artinya: Apabila berkumpul (bercampur) antara
suatu yang halal dan haram, maka pada umumnya yang dimenangkan adalah yang
haram.
Penjelasan:
Kaidah ini ditetapkan
atas dasar kehati-hatian dalam agama terkait dengan persoalan halal dan haram:
yang haram harus ditinggalkan dan yang halal boleh dilakukan. Tetapi, syara’
lebih menganjurkan untuk meninggalkan larangan daripada melaksanakan perintah.
Karenanya, jika dalam perbuatan bercampur dengan dua hukum halal dan haram,
maka perbuatan tersebut berarti diharamkan.[3]
Pengecualian :
Merupakan pengecualian dari kaidah tersebut adalah
apabila ada beberapa hal yang di dalamnya terdapat unsur haram dan unsur halal.
Namun, sisi kehalalannya dijadikan pegangan, karena ada tujuan kemaslahatan.
Bahkan, perkara itu wajib dilakukan.[4]
Kaidah Kedua
Artinya: Sesuatu yang haram diambil, haram pula
diberikan (kepada orang lain).
Penjelasan: bila suatu barang hukumnya haram
diambil atau dikuasai, maka hukumnya juga haram diberikan orang lain. Sebab,
tindakan memberi berarti mengajak, membantu, atau memberikan dorongan kepada
orang lain untuk melakukan sesuatu yang dilarang. Dalam firman Allah
dijelaskan:
....وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ....
Artinya: ...dan janganlah
kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.(Q.S. al-Ma’idah [5]
02)
Kaidah Ketiga
Artinya: Apa saja yang haram dilakukan, maka haram
pula memintanya.
Kaidah Keempat
Artinya: apa yang haram digunakan, haram pula
mendapatkannya.
c. Tentang Ibadah
Kaidah Pertama
Artinya: Mendahulukan orang lain dalam beberapa
bentuk pendekatan diri kepada Allah adalah dimakruhkan.
Kaidah Kedua
Artinya: apapun pekerjaannya lebih banyak, berarti
lebih banyak pula nilai keutamaannya.
Kaidah Ketiga
Artinya: suatu perbuatan yang manfaatnya juga
untuk orang lain adalah lebih utama daripada perbuatan yang manfaatnya hanya
untuk diri sendiri.
Kaidah Keempat
Artinya: perbuatan wajib lebih utama daripada
perbuatan sunnah.
Kaidah Kelima
Artinya: Keutamaan yang berkaitan dengan bentuk
suatu ibadah lebih utama daripada keutamaan yang berhubungan dengan tempat atau
waktu ibadah tersebut.
Kaidah Keenam
Artinya: Ibadah sunnah lebih leluasa daripada ibadah
fardu.
d. Makna Sebuah Pernyataan
Kaidah Pertama
Artinya: Ketentuan asal sebuah perkataan adalah
untuk makna hakikinya, dan apabila makna hakiki sulit diterapkan, maka
dialihkan kepada makna majazi.
Kaidah Kedua
Artinya: Memberlakukan sebuah pernyataan lebih
utama daripada mengabaikannya.
Kaidah Ketiga
Artinya: jika suatu ungkapan sukar ditentukan
maknanya, ungkapan tersebut harus diabaikan.
Kaidah Keempat
Artinya: Suatu perkataan tidak bisa disandarkan
kepada orang yang diam.
Kaidah Kelima
Artinya: Sebuah pertanyaan dikembalikan pada
jawabannya.
e. Hubungan Hukum antara Sesuatu yang Mengikuti
dan yang Diikuti
Artinya: Sesuatu yang ikut adalah mengikuti
(kepada yang diikuti).
Kaidah Pertama
Artinya: sesuatu yang ikut tidak bisa memiliki
hukum sendiri di luar yang diikuti.
Kaidah Kedua
Artinya: sesuatu yang ikut tidak boleh mendahului
sesuatu yang diikuti.
Kaidah Ketiga
Artinya: sesuatu yang ikut menjadi gugur dengan
gugurnya sesuatu yang diikuti.
Kaidah Keempat
Artinya: sesuatu yang dibolehkan bagi sesuatu yang
mengikuti, tidak dibolehkan untuk lainnya (yang diikuti).[5]
Kaidah Kelima
Artinya: sesuatu yang mendekati sesuatu yang lain
memiliki hukum yang sama dengan sesuatu yang didekati
f. Tentang Politik Hukum
Kaidah Pertama
Artinya: kebijakan seorang pemimpin terhadap
rakyatnya harus berdasarkan kemaslahatan mereka.
Kaidah Kedua
Artinya: hukuman – hukuman menjadi gugur sebab
adanya kesangsian.
Kaidah Ketiga
Artinya: Barangsiapa yang tergesa-gesa untuk
mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka ia dihukum dengan terhalangnya hak
tersebut.
Kaidah Keempat
Artinya: Perwalian khusus lebih kuat daripada
perwalian umum.
g. Ketentuan Hukum untuk Perbuatan Sejenis
Kaidah Pertama
Artinya: apabila dua hal yang sejenis berkumpul
dan tujuannya tidak berbeda, maka umumnya salah satunya digabungkan dengan yang
lainnya.
Kaidah Kedua
Artinya: sesuatu yang mewajibkan satu dari dua hal
yang secara khusus lebih besar ketentuan hukumnya, secara umum tidak mewajibkan
yang lebih rendah dari keduanya.[6]
Kaidah Ketiga
Artinya: sesuatu yang kuat bisa masuk kepada
sesuatu yang lemah, dan tidak sebaliknya.
h. Kebebasan Orang Merdeka
Artinya: orang merdeka tidak berada dalam
kekuasaan orang lain.
i. Kemampuan dalam Menunaikan Kewajiban
Artinya: sesuatu yang mudah dikerjakan tidak
menjadi gugur karena sesuatu yang sulit dikerjakan.
j. Dugaan keliru dalam bertindak
artinya: dugaan yang ternyata keliru tidak
diperhitungkan hukumnya.
k. Ketentuan Satu Obyek Hukum
Artinya: Apa yang sudah terisi tidak boleh diisi
dengan yang lain.
l. Ketentuan Hukum Berlipat Ganda
artinya: Apa yang ketentuan hukumnya sudah berat
tidak boleh diperberat lagi.
m. Keluar dari Perbedaan Pendapat
artinya: Keluar dari perbedaan pendapat adalah
disunatkan.
n. Manfaat dan Tanggung Jawab Kepemilikan
artinya: Manfaat suatu barang adalah sebagai
imbalan dari adanya tanggung jawab atas pemeliharaannya.
o. Mencegah Terjadinya Perbuatan
artinya: menolak sesuatu lebih kuat daripada
menghilangkannya.[7]
p. Syarat Melakukan Keringanan Hukum
Kaidah Pertama
Artinya: Keringanan-keringanan hukum tidak bisa
dihubungkan dengan kemaksiatan.
Kaidah Kedua
Artinya: Keringanan-keringanan hukum tidak
dikaitkan dengan keraguan.
q. Dampak Hukum dari Perbuatan yang Diizinkan
Artinya: Rela terhadap sesuatu berarti rela
terhadap apapun yang akan ditimbulkan dari sesuatu tersebut.
r. Ketentuan Melaksanakan Kewajiban
artinya: suatu kewajiban tidak boleb ditinggalkan
kecuali karena kewajiban yang lain.
s. Ketentuan hukum syar’i dan hukum syarat
Artinya: sesuatu yang telah ditetapkan dalam
aturan syara’ harus didahulukan daripada sesuatu yang telah ditetapkan dalam
syarat.
t.
mengingkari hukum ijmak dan bukan ijmak
artinya: Pendapat yang memperselisihkan tidak
boleh diingkari, yang boleh diingkari adalah pendapat yang telah disepakati.
u. Ketentuan hukum yang tidak bisa terbagi
artinya: Apa saja yang tidak bisa dibagi, maka
memilih sebagiannya berarti memilih kesemuanya, dan menggugurkan sebagiannya
berarti menggugurkan semuanya.[8]
v. Berpaling dari tujuan perbuatan
artinya: melakukan sesuatu yang bukan pada
maksudnya berarti berpaling dari apa yang dimaksudkannya.
w. Pelaku tindak pidana langsung dan tidak
langsung
artinya: apabila terhimpun antara seseorang yang
menjadi penyebab dan yang melakukan secara langsung, maka yang didahulukan
adalah orang yang melakukan secara langsung.[9]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Kaidah-kaidah fiqh itu terdiri dari banyak pengertian, karena kaidah itu
bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan
kepada juz’iyatnya (bagian-bagiannya).
2.
Banyak kaidah fiqh yang ruang lingkup dan
cakupannya lebih sempit dan isi kandungan lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini
hanya berlaku dalam cabang fiqh tertentu.
[1]Fadal, Moh. Kurdi, 2008,“Kaidah-kaidah fikih”,
Jakarta, CV Artha Rivera, hal 1-2.
[2]Fadal, Moh. Kurdi, 2008,“Kaidah-kaidah fikih”,
Jakarta, CV Artha Rivera, hal 81-83.
[5]Fadal, Moh. Kurdi, 2008,“Kaidah-kaidah fikih”,
Jakarta, CV Artha Rivera, hal 94-115
[6]Fadal, Moh. Kurdi, 2008,“Kaidah-kaidah fikih”,
Jakarta, CV Artha Rivera, hal 116-126
[7]Fadal, Moh. Kurdi, 2008,“Kaidah-kaidah fikih”,
Jakarta, CV Artha Rivera, hal 129-143
[8]Fadal, Moh. Kurdi, 2008,“Kaidah-kaidah fikih”,
Jakarta, CV Artha Rivera, hal 149-159
[9]Fadal, Moh. Kurdi, 2008,“Kaidah-kaidah fikih”,
Jakarta, CV Artha Rivera, hal 161-162
Tidak ada komentar:
Posting Komentar