Selamat datang di duniaku

Sabtu, 08 Desember 2012

Kaidah Fiqhiyah pada usul fiqih


BAB I
PENDAHULUAN

 

Jika dikaitkan dengan kaidah-kaidah ushuliyah yang merupakan pedoman dalam menggali hukum islam yang berasal dari sumbernya, Al-Qur’an dan Hadits, kaidah FIQHIYAH merupakan kelanjutannya, yaitu sebagai petunjuk operasional dalam peng-istinbath-an hukum islam. Kaidah Fiqhiyah disebut juga sebaagai Kaidah Syari’iyah.
Adapun tujuannya adalah untuk memudahkan Mujtahid dalam meng-istinbath-kan hukum yang sesuai dengan tujuan syara dan kemaslahatan manusia. Sementara Imam Abu Muhammad Izzuddin Ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jalan untuk mendapat kemashalatan dan menolak kerusakan serta bagaimana cara mensikapi kedua hal tersebut.
Adapun pengertian Kaidah Fiqhiyah, dapat diurai dari kaidah dan Fiqih. Kaidah menurut Dr. Ahmad Muhammad Asy- Syafi’i dalam buku Ushul Fiqh Islami adalah: “Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan satuan hukum juz’i yang banyak”. Sementara arti fiqih dari beberapa definisi yang dikemukakan fuqaha’ berkisar pada rumusan berikut:2)
  1. Fiqh merupakan bagian dari Syaria’ah
  2. Hukum yang dibahas mencakup hukum amali
  3. Obyek hukum pada orang-orang mukallaf
  4. Sumber hukum berdasarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah atau dalil lain yang bersumber pada kedua sumber utama tersebut
  5. Dilakukan dengan jalan istimbath atau ijtihad sehingga kebenarannya kondisional dan temporer adanya.
DengandemikianpengertianKaidahFiqhiyahdapatdiartikandiantaranyasebagai, “Hukum–hukum yang berkaitan dengan asas hukum yang dibangun oleh Syari’ serta tujuan-tujuan yang dimaksud dalam pensyariatannya“ (Ahmad Muhammad Asy- Syafi’i 1983:5), atau “Sebagai suatu jalan untuk mendapatkan kemaslahatan dan menolak kerusakan” (Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam).
BAB II
PEMBAHASAN



I.       Pengertian
Kata “kaidah” diambil dari bahasa Arab qa’idah, yang bentuk jamaknya adalah qawa’id. Kaidah berarti al bait (fondasi – fondasi rumah) atau abstrak, seperti kalimat qawa’id ad-din (fondasi-fondasi agama).
Dalam al Qur’an disebutkan :

 ....إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ وَإِذْ يَرْفَعُ


Artinya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan fondasi Baitullah bersama Ismail....(Q.S. al-baqoroh (2): 127)

....فَأَتَى اللَّهُ بُنْيَانَهُمْ مِنَ الْقَوَاعِدِ ....
Artinya: .... maka Allah menghancurkan fondasi-fondasi rumah mereka....(Q.S. an-Nahl [16]: 26).
Dalam dua ayat tersebut, kata qawa’id berarti dasar-dasar atau fondasi-fondasi yang dijadikan tempat untuk meninggikan bangunan. Adapun kata “fiqih” (fiqh), secara bahasa, berarti pemahaman, sedangkan menurut istilah diartikan sebagai sebuah pengetahuan tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat praktis (‘amaliyah) yang diperoleh melalui proses ijtihad. Dengan demikian, kaidah fiqih (Qowa’id fiqhiyyah) dapat diartikan sebagai dasar-dasar hukum mengenai perbuatan manusia yang diperoleh melalui proses ijtihad.[1]



Kaidah Fiqih Terperinci
Dalam kaidah ini yang menjelaskan secara umum lima kaidah dasar, jadi bisa dikatakan lebih banyak pembagian lagi. Dalam kaidah ini berisi tentang:
        
a. Tentang ijtihad

Artinya: sebuah ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad yang lain.

Penjelasan : pengertian ijtihad dalam kaidah ini adalah suatu keputusan hukum yang ditetapkan oleh seseorang, baik sebagai hakim yang memutuskan suatu perkara, sebagai mukallaf yang hendak melaksanakannya sendiri, atau sebagai seorang mujtahid. Sebuah ijtihad yang telah ditetapkan memiliki kekuatan hukum pasti, sehingga tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad yang lain. Contoh, ada seseorang sedang bingung mengenai arah kiblat ketika hendak melaksanakan shalat, dan ia berijtihad pada satu arah tertentu. Namun pada rakaat kedua, keyakinannya berubah pada arah yang lain, dan iapun menghadap ke arah yang sesuai dengan keyakinan barunya itu. Dalam hal ini, keyakinan yang kedua tidak bisa membatalkan keyakinan yang pertama. Artinya shalatnya tetap sah dan bisa dilanjutkan ijtihad yang berbeda tersebut.[2]        
b. Tentang Ketentuan Hukum Haram
Kaidah Pertama

Artinya: Apabila berkumpul (bercampur) antara suatu yang halal dan haram, maka pada umumnya yang dimenangkan adalah yang haram.
Penjelasan:
Kaidah ini ditetapkan atas dasar kehati-hatian dalam agama terkait dengan persoalan halal dan haram: yang haram harus ditinggalkan dan yang halal boleh dilakukan. Tetapi, syara’ lebih menganjurkan untuk meninggalkan larangan daripada melaksanakan perintah. Karenanya, jika dalam perbuatan bercampur dengan dua hukum halal dan haram, maka perbuatan tersebut berarti diharamkan.[3]    
Pengecualian :
Merupakan pengecualian dari kaidah tersebut adalah apabila ada beberapa hal yang di dalamnya terdapat unsur haram dan unsur halal. Namun, sisi kehalalannya dijadikan pegangan, karena ada tujuan kemaslahatan. Bahkan, perkara itu wajib dilakukan.[4]    

Kaidah Kedua

Artinya: Sesuatu yang haram diambil, haram pula diberikan (kepada orang lain).
Penjelasan: bila suatu barang hukumnya haram diambil atau dikuasai, maka hukumnya juga haram diberikan orang lain. Sebab, tindakan memberi berarti mengajak, membantu, atau memberikan dorongan kepada orang lain untuk melakukan sesuatu yang dilarang. Dalam firman Allah dijelaskan:
....وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ....   
Artinya: ...dan janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.(Q.S. al-Ma’idah [5] 02)

Kaidah Ketiga

Artinya: Apa saja yang haram dilakukan, maka haram pula memintanya.
Kaidah Keempat

Artinya: apa yang haram digunakan, haram pula mendapatkannya.

c. Tentang Ibadah
Kaidah Pertama

Artinya: Mendahulukan orang lain dalam beberapa bentuk pendekatan diri kepada Allah adalah dimakruhkan.
Kaidah Kedua

Artinya: apapun pekerjaannya lebih banyak, berarti lebih banyak pula nilai keutamaannya.
Kaidah Ketiga

Artinya: suatu perbuatan yang manfaatnya juga untuk orang lain adalah lebih utama daripada perbuatan yang manfaatnya hanya untuk diri sendiri.
Kaidah Keempat

Artinya: perbuatan wajib lebih utama daripada perbuatan sunnah.
Kaidah Kelima

Artinya: Keutamaan yang berkaitan dengan bentuk suatu ibadah lebih utama daripada keutamaan yang berhubungan dengan tempat atau waktu ibadah tersebut.
Kaidah Keenam

Artinya: Ibadah sunnah lebih leluasa daripada ibadah fardu.
d. Makna Sebuah Pernyataan
Kaidah Pertama

Artinya: Ketentuan asal sebuah perkataan adalah untuk makna hakikinya, dan apabila makna hakiki sulit diterapkan, maka dialihkan kepada makna majazi.
Kaidah Kedua

Artinya: Memberlakukan sebuah pernyataan lebih utama daripada mengabaikannya.
Kaidah Ketiga

Artinya: jika suatu ungkapan sukar ditentukan maknanya, ungkapan tersebut harus diabaikan.
Kaidah Keempat

Artinya: Suatu perkataan tidak bisa disandarkan kepada orang yang diam.
Kaidah Kelima

Artinya: Sebuah pertanyaan dikembalikan pada jawabannya.
e. Hubungan Hukum antara Sesuatu yang Mengikuti dan yang Diikuti

Artinya: Sesuatu yang ikut adalah mengikuti (kepada yang diikuti).
Kaidah Pertama

Artinya: sesuatu yang ikut tidak bisa memiliki hukum sendiri di luar yang diikuti.
Kaidah Kedua

Artinya: sesuatu yang ikut tidak boleh mendahului sesuatu yang diikuti.
Kaidah Ketiga

Artinya: sesuatu yang ikut menjadi gugur dengan gugurnya sesuatu yang diikuti.

Kaidah Keempat

Artinya: sesuatu yang dibolehkan bagi sesuatu yang mengikuti, tidak dibolehkan untuk lainnya (yang diikuti).[5]
Kaidah Kelima

Artinya: sesuatu yang mendekati sesuatu yang lain memiliki hukum yang sama dengan sesuatu yang didekati  
f. Tentang Politik Hukum
Kaidah Pertama

Artinya: kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus berdasarkan kemaslahatan mereka.
Kaidah Kedua

Artinya: hukuman – hukuman menjadi gugur sebab adanya kesangsian.
Kaidah Ketiga

Artinya: Barangsiapa yang tergesa-gesa untuk mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka ia dihukum dengan terhalangnya hak tersebut.
Kaidah Keempat

Artinya: Perwalian khusus lebih kuat daripada perwalian umum.
g. Ketentuan Hukum untuk Perbuatan Sejenis
Kaidah Pertama

Artinya: apabila dua hal yang sejenis berkumpul dan tujuannya tidak berbeda, maka umumnya salah satunya digabungkan dengan yang lainnya.
Kaidah Kedua

Artinya: sesuatu yang mewajibkan satu dari dua hal yang secara khusus lebih besar ketentuan hukumnya, secara umum tidak mewajibkan yang lebih rendah dari keduanya.[6]
Kaidah Ketiga

Artinya: sesuatu yang kuat bisa masuk kepada sesuatu yang lemah, dan tidak sebaliknya.
h. Kebebasan Orang Merdeka

Artinya: orang merdeka tidak berada dalam kekuasaan orang lain.
i. Kemampuan dalam Menunaikan Kewajiban

Artinya: sesuatu yang mudah dikerjakan tidak menjadi gugur karena sesuatu yang sulit dikerjakan.
j. Dugaan keliru dalam bertindak

artinya: dugaan yang ternyata keliru tidak diperhitungkan hukumnya.
k. Ketentuan Satu Obyek Hukum

Artinya: Apa yang sudah terisi tidak boleh diisi dengan yang lain.
l. Ketentuan Hukum Berlipat Ganda

artinya: Apa yang ketentuan hukumnya sudah berat tidak boleh diperberat lagi.
m. Keluar dari Perbedaan Pendapat

artinya: Keluar dari perbedaan pendapat adalah disunatkan.
n. Manfaat dan Tanggung Jawab Kepemilikan

artinya: Manfaat suatu barang adalah sebagai imbalan dari adanya tanggung jawab atas pemeliharaannya.
o. Mencegah Terjadinya Perbuatan

artinya: menolak sesuatu lebih kuat daripada menghilangkannya.[7]
p. Syarat Melakukan Keringanan Hukum
Kaidah Pertama

Artinya: Keringanan-keringanan hukum tidak bisa dihubungkan dengan kemaksiatan.
Kaidah Kedua

Artinya: Keringanan-keringanan hukum tidak dikaitkan dengan keraguan.
q. Dampak Hukum dari Perbuatan yang Diizinkan

Artinya: Rela terhadap sesuatu berarti rela terhadap apapun yang akan ditimbulkan dari sesuatu tersebut.
r. Ketentuan Melaksanakan Kewajiban

artinya: suatu kewajiban tidak boleb ditinggalkan kecuali karena kewajiban yang lain.
s. Ketentuan hukum syar’i dan hukum syarat

Artinya: sesuatu yang telah ditetapkan dalam aturan syara’ harus didahulukan daripada sesuatu yang telah ditetapkan dalam syarat.
 t. mengingkari hukum ijmak dan bukan ijmak

artinya: Pendapat yang memperselisihkan tidak boleh diingkari, yang boleh diingkari adalah pendapat yang telah disepakati.
u. Ketentuan hukum yang tidak bisa terbagi  



artinya: Apa saja yang tidak bisa dibagi, maka memilih sebagiannya berarti memilih kesemuanya, dan menggugurkan sebagiannya berarti menggugurkan semuanya.[8]
v. Berpaling dari tujuan perbuatan

artinya: melakukan sesuatu yang bukan pada maksudnya berarti berpaling dari apa yang dimaksudkannya.
w. Pelaku tindak pidana langsung dan tidak langsung

artinya: apabila terhimpun antara seseorang yang menjadi penyebab dan yang melakukan secara langsung, maka yang didahulukan adalah orang yang melakukan secara langsung.[9]  
































BAB III
PENUTUP


A.    KESIMPULAN

1.      Kaidah-kaidah fiqh itu terdiri dari banyak pengertian, karena kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyatnya (bagian-bagiannya).
2.      Banyak kaidah fiqh yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit dan isi kandungan lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku dalam cabang fiqh tertentu.



















[1]Fadal, Moh. Kurdi, 2008,“Kaidah-kaidah fikih”, Jakarta, CV Artha Rivera, hal 1-2.
[2]Fadal, Moh. Kurdi, 2008,“Kaidah-kaidah fikih”, Jakarta, CV Artha Rivera, hal 81-83.
[3] Fadal, Moh. Kurdi, 2008,“Kaidah-kaidah fikih”, Jakarta, CV Artha Rivera, hal 84
[4] Fadal, Moh. Kurdi, 2008,“Kaidah-kaidah fikih”, Jakarta, CV Artha Rivera, hal 88
[5]Fadal, Moh. Kurdi, 2008,“Kaidah-kaidah fikih”, Jakarta, CV Artha Rivera, hal 94-115
[6]Fadal, Moh. Kurdi, 2008,“Kaidah-kaidah fikih”, Jakarta, CV Artha Rivera, hal 116-126
[7]Fadal, Moh. Kurdi, 2008,“Kaidah-kaidah fikih”, Jakarta, CV Artha Rivera, hal 129-143
[8]Fadal, Moh. Kurdi, 2008,“Kaidah-kaidah fikih”, Jakarta, CV Artha Rivera, hal 149-159
[9]Fadal, Moh. Kurdi, 2008,“Kaidah-kaidah fikih”, Jakarta, CV Artha Rivera, hal 161-162

Tidak ada komentar:

Posting Komentar