Selamat datang di duniaku

Senin, 02 Januari 2012

Kemiskinan Dalam Pandangan Islam


Kemiskinan Dalam Pandangan Islam
Pendahuluan
Kemiskinan adalah fenomena yang begitu mudah dijumpai di mana-mana. Tak hanya di desa-desa, tapi juga di kota-kota. Di balik kemegahan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta, misalnya, tidak terlalu sulit kita jumpai rumah-rumah kumuh berderet di bantaran sungai, atau para pengemis yang berkeliaran di perempatan-perempatan jalan. Harus diakui, Kapitalisme memang telah gagal menyelesaikan problem kemiskinan. Alih-alih dapat menyelesaikan, yang terjadi justru menciptakan kemiskinan.
Pengertian Kemiskinan Menurut Islam
Menurut bahasa, miskin berasal dari bahasa Arab yang sebenarnya menyatakan kefakiran yang sangat. Allah Swt. menggunakan istilah itu dalam firman-Nya:
أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ
“..atau orang miskin yang sangat fakir” (QS al-Balad [90]: 16)
Adapun kata fakir yang berasal dari bahasa Arab: al-faqru, berarti membutuhkan (al-ihtiyaaj). Allah Swt. berfirman:
فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ
“…lalu dia berdoa, “Ya Rabbi, sesungguhnya aku sangat membutuhkan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku” (QS al-Qashash [28]:24).
Dalam pengertian yang lebih definitif, Syekh An-Nabhani mengategorikan yang punya harta (uang), tetapi tak mencukupi kebutuhan pembelanjaannya sebagai orang fakir. Sementara itu, orang miskin adalah orang yang tak punya harta (uang), sekaligus tak punya penghasilan. (Nidzamul Iqtishadi fil Islam, hlm. 236, Darul Ummah-Beirut). Pembedaan kategori ini tepat untuk menjelaskan pengertian dua pos mustahiq zakat, yakni al-fuqara (orang-orang faqir) dan al-masakiin (orang-orang miskin), sebagaimana firman-Nya dalam QS at-Taubah [9]: 60.
Kemiskinan atau kefakiran adalah suatu fakta, yang dilihat dari kacamata dan sudut mana pun seharusnya mendapat pengertian yang sesuai dengan realitasnya. Sayang peradaban Barat Kapitalis, pengemban sistem ekonomi Kapitalis, memiliki gambaran/fakta tentang kemiskinan yang berbeda-beda. Mereka menganggap bahwasannya kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan atas barang ataupun jasa secara mutlak. Karena kebutuhan berkembang seiring dengan berkembang dan majunya produk-produk barang ataupun jasa, maka –mereka menganggap–usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan atas barang dan jasa itu pun mengalami perkembangan dan perbedaan.
Akibatnya, standar kemiskinan/kefakiran di mata para Kapitalis tidak memiliki batasan-batasa yang fixed. Di AS atau di negara-negara Eropa Barat misalnya, seseorang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekundernya sudah dianggap miskin. Pada saat yang sama, di Irak, Sudan, Bangladesh misalnya, seseorang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan sekundernya, tidak dikelompokkan dalam kategori fakir/miskin. Perbedaan-perbedaan ini–meski fakta tentang kemiskinan itu sama saja di mana pun–akan mempengaruhi mekanisme dan cara-cara pemecahan masalah kemiskinan.
Berbeda halnya dengan pandangan Islam, yang melihat fakta kefakiran/kemiskinan sebagai perkara yang sama, baik di Eropa, AS maupun di negeri-negeri Islam. Bahkan, pada zaman kapan pun, kemiskinan itu sama saja hakikatnya. Oleh karena itu, mekanisme dan cara penyelesaian atas problem kemiskinan dalam pandangan Islam tetap sama, hukum-hukumnya fixed, tidak berubah dan tidak berbeda dari satu negeri ke negeri lainnya. Islam memandang bahwa kemiskinan adalah fakta yang dihadapi umat manusia, baik itu muslim maupun bukan muslim.
Islam memandang bahwa masalah kemiskinan adalah masalah tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer secara menyeluruh. Syariat Islam telah menentukan kebutuhan primer itu (yang menyangkut eksistensi manusia) berupa tiga hal, yaitu sandang, pangan, dan papan. Allah Swt. berfirman:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Kewajiban ayah adalah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf” (QS al-Baqarah [2]:233).
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan kemmpuanmu” (QS ath-Thalaaq [65]:6).
Rasulullah saw. bersabda:
“Ingatlah, bahwa hak mereka atas kalian adalah agar kalian berbuat baik kepada mereka dalam (memberikan) pakaian dan makanan” (HR Ibnu Majah).
Dari ayat dan hadis di atas dapat di pahami bahwa tiga perkara (yaitu sandang, pangan, dan papan) tergolong pada kebutuhan pokok (primer), yang berkait erat dengan kelangsungan eksistensi dan kehormatan manusia. Apabila kebutuhan pokok (primer) ini tidak terpenuhi, maka dapat berakibat pada kehancuran atau kemunduran (eksistensi) umat manusia. Karena itu, Islam menganggap kemiskinan itu sebagai ancaman yang biasa dihembuskan oleh setan, sebagaimana firman Allah Swt.“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan” (TQS al- Baqarah [2]:268).
Dengan demikian, siapa pun dan di mana pun berada, jika seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok (primer)nya, yaitu sandang, pangan, dan papan, dapat digolongkan pada kelompok orang-orang yang fakir ataupun miskin. Oleh karena itu, setiap program pemulihan ekonomi yang ditujukan mengentaskan fakir miskin, harus ditujukan kepada mereka yang tergolong pada kelompok tadi. Baik orang tersebut memiliki pekerjaan, tetapi tetap tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya dengan cara yang makruf, yakni fakir, maupun yang tidak memiliki pekerjaan karena PHK atau sebab lainnya, yakni miskin.
Jika tolok ukur kemiskinan Islam dibandingkan dengan tolok ukur lain, maka akan didapati perbedaan yang sangat mencolok. Tolok ukur kemiskinan dalam Islam memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dari tolok ukur lain. Sebab, tolok ukur kemisknan dalam Islam mencakup tiga aspek pemenuhan kebutuhan pokok bagi individu manusia, yaitu pangan, sandang, dan pangan. Adapun tolok ukur lain umumnya hanya menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan pangan semata. Tolok ukur kemiskinan dari berbagai versi dan perbandingannya dapat dilihat pada tabel berikut.
Penyebab Kemiskinan
Banyak ragam pendapat mengenai sebab-sebab kemiskinan. Namun, secara garis besar dapat dikatakan ada tiga sebab utama kemiskinan. Pertama, kemiskinan alamiah, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi alami seseorang; misalnya cacat mental atau fisik, usia lanjut sehingga tidak mampu bekerja, dan lain-lain. Kedua, kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM akibat kultur masyarakat tertentu; misalnya rasa malas, tidak produktif, bergantung pada harta warisan, dan lain-lain. Ketiga, kemiskinan stuktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kesalahan sistem yang digunakan negara dalam mengatur urusan rakyat.
Dari tiga sebab utama tersebut, yang paling besar pengaruhnya adalah kemiskinan stuktural. Sebab, dampak kemiskinan yang ditimbulkan bisa sangat luas dalam masyarakat. Kemiskinan jenis inilah yang menggejala di berbagai negara dewasa ini. Tidak hanya di negara-negara sedang berkembang, tetapi juga di negara-negara maju. Kesalahan negara dalam mengatur urusan rakyat, hingga menghasilkan kemiskinan struktural, disebabkan oleh penerapan sistem Kapitalisme yang memberikan kesalahan mendasar dalam beberapa hal, antara lain:
Peran Negara
Menurut pandangan kapitalis, peran negara secara langsung di bidang sosial dan ekonomi, harus diupayakan seminimal mungkin. Bahkan, diharapkan negara hanya berperan dalam fungsi pengawasan dan penegakan hukum semata. Lalu, siapa yang berperan secara langsung menangani masalah sosial dan ekonomi? Tidak lain adalah masyarakat itu sendiri atau swasta. Karena itulah, dalam masyarakat kapitalis kita jumpai banyak sekali yayasan-yayasan. Di antaranya ada yang bergerak dibidang sosial, pendidikan, dan sebagainya. Selain itu, kita jumpai pula banyak program swatanisasi badan usaha milik negara.
Peran negara semacam ini, jelas telah menjadikan negara kehilangan fungsi utamanya sebagai pemelihara urusan rakyat. Negara juga akan kehilangan kemampuannya dalam menjalankan fungsi pemelihara urusan rakyat. Akhirnya, rakyat dibiarkan berkompetisi secara bebas dalam masyarakat. Realitas adanya orang yang kuat dan yang lemah, yang sehat dan yang cacat, yang tua dan yang muda, dan sebagainya, diabaikan sama sekali. Yang berlaku kemudian adalah hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang dan berhak hidup.
Kesenjangan kaya miskin di dunia saat ini adalah buah dari diterapkannya sistem Kapitalisme yang sangat individualis itu. Dalam pandangan kapitalis, penanggulangan kemiskinan merupakan tanggung jawab si miskin itu sendiri, kemiskinan bukan merupakan beban bagi umat, negara, atau kaum hartawan. Sudah saatnya kita mencari dan menerapkan sistem alternatif selain Kapitalisme, tanpa perlu ada tawar-menawar lagi.
akibat
Pertama, pada tingkat individu, orang-orang yang hidup dalam budaya kemiskinan praktis mengalami masa kecil yang sangat singkat karena mereka sudah terpaksa bekerja terlalu dini untuk memenuhi kebutuhan dan harapan dari keluarganya.
Kedua, pada tingkat keluarga tidak mempunyai pola hidup yang tetap. Hal ini dipicu oleh kebutuhan, keinginan atau dorongan yang datang sewaktu-waktu (impulse determinated). Begitu pula dalam urusan nafkah, mayoritas kehidupan keluarga ini justru banyak mengandalkan peran wanita (female based), karena kaum laki-lakinya ditengarai mempunyai kecenderungan sangat kuat kepada tindakan kekerasan (action-seeking).

Ketiga, pada tingkat sosial dan lembaga-lembaga sosial, kelihatan bahwa orang-orang yang dihinggapi budaya kemiskinan mempunyai pola integrasi sosial yang sangat rendah. Akibatnya, rasa identitasnya pun semakin melemah, relasi sosial tumbuh dengan sikap penuh curiga, serta kemampuan yang rendah dalam menerima dan mentolerir kekecewaan.
Keempat, pada tingkat mentalitas, tampak ada beberapa sifat umum yang diasumsikan berciri psikologis. Bisa berupa kemampuan bahasa yang terlambat, kesulitan menunda kesenangan, dan ketidakmampuan berpikir konseptual. Selain itu ada kecenderungan sangat kuat untuk menggunakan reaksi motorik dalam mengatasi kekecewaan dan kegagalan.
BAHAYA "KEMISKINAN" TERHADAP AQIDAH.

Tidak diragukan lagi, bahwa "kemiskinan" merupakan bahaya besar terhadap kepercayaan Agama, khususnya "kemiskinan" yang sangat parah, yang berada di hadapan mata orang-orang kaya yang egoistis. Lebih mengkhawatirkan lagi, kalau orang-orang "miskin" itu tidak menentu pencahariannya, sedang pihak orang-orang yang kaya sama sekali tidak mau mengulurkan bantuannya.
Di saat itulah "kemiskinan" akan mengundang keraguan terhadap Sunnatullah (= peraturan Allah) di atas dunia ini, serta dapat menimbulkan kepercayaan terhadap adanya ketidak-adilan dalam pembagian rezki. Dan apabila yang demikian itu tidak sampai membawa kebobrokan separah ini, namun "kemiskinan" akan membawa kepada situasi frustasi.
Itulah bahaya kegoncangan aqidah yang ditimbulkan oleh "kemiskinan" dan kemelaratan; sebagaimana dijelaskan oleh Hadits Riwayat Bu Nu'airul, bahwa Rasulullah pernah bersabda: "Hampir-hampir "kemiskinan" itu menjadikan seseorang kufur."
Rasulullah SAW juga pernah memohon perlindungan kepada Allah SWT dari ancaman kemelaratan yang disejajarkan dengan permohonan perlindungan terhadap kekufuran, seperti yang dijelaskan oleh Hadits Riwayat Abu Daud dan lainnya, bahwa Rasulullah pernah berdo'a: "Ya Tuhanku, aku berlindung kepada-Mu, dari bahaya kekufuran dan kemelaratan."
Juga dalam do'anya seperti yang dijelaskan dalam Hadits Riwayat Abu Daud, Nasai, Ibnu Majah, Hakim dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah berdo'a: "Ya Tuhanku, aku berlindung kepada-Mu, dari "kemiskinan", kekurangan dan kehinaan, dan aku berlindung dari menganiaya dan dianiaya."

BAHAYA "KEMISKINAN" TERHADAP ETIKA DAN MORAL.

"Kemiskinan" berbahaya pula terhadap segi etika dan moral. Banyak orang "miskin" lebih-lebih yang hidup di tengah-tengah orang kaya ---- kekecewaan dan keputus-asaan mereka mendorong untuk bertindak dengan tindakan-tindakan yang tidak dapat dibenarkan oleh budi luhur dan akhlaq mulia. Maka dari itu kita sering mendengar suatu semboyan yang berbunyi: "Rintihan perut lebih hebat dari pada rintihan hati nurani." Dan akan lebih berbahaya lagi, apabila frustasi dan kekecewaan mereka sudah tidak dapat dikuasai lagi, maka akan timbul suatu sikap masa bodoh terhadap nilai-nilai etika dan kemantapan sendi-sendinya, dan pada gilirannya akan menjurus kepada mengabaikan nilai-nilai Agama.

Hadits Riwayat Abu Nu'aim menjelaskan, bahwa Rasulullah SAW menjelaskan kepada para sahabatnya, akan besarnya bahaya "kemiskinan" dan pengaruhnya terhadap nilai-nilai moral: "Ambillah (=terimalah) pemberian orang itu, selama masih merupakan pemberian yang wajar. Tetapi apabila sudah merupakan suapan guna mengharap suatu pinjaman (=hutang), maka janganlah kamu menerimanya. Dan kamu tidak bisa menghindarinya selama kamu masih diliputi oleh kebutuhan dan "kemiskinan".

Rasulullah SAW menjelaskan hubungan antara "kemiskinan" dan kekayaan, dan antara kehinaan dan kemuliaan, beliau membawakan ceritera, sebagaimana Hadits Riwayat Bukhari, Muslim dan Nasai dari Abu Hurairah: "Pada suatu malam seorang laki-laki bersedekah kepada laki-laki lain, yang ternyata ia seorang pencuri. Lalu kejadian ini diperbicangkan oleh umum. Kemudian di waktu lain, laki-laki tersebut bersedekah lagi kepada seorang perempuan, yang ternyata ia seorang pelacur. Lalu orang-orangpun membicarakan kejadian itu lagi. Kemudian laki-laki yang bersedekah itu pada malam harinya mimpi kedatangan seseorang yang berkata kepadanya: Adapun sedekah anda kepada pencuri itu, mudah-mudahan dapat menjadikan ia berhenti dari mencuri. Begitu pula, sedekah anda kepada perempuan lacur itu, dapat menjadikan ia berhenti dari perbuatan lacur (=zina)."
Kisah di atas menyatakan, betapa besar pengaruh kekayaan itu di dalam menjauhkan seseorang dari perbuatan a-moral, seperti mencuri dan melacur.

BAHAYA "KEMISKINAN" TERHADAP PIKIRAN MANUSIA.

"Kemiskinan" juga akan mengganggu dan mempengaruhi pikiran seseorang. Mengapa? --- Seseorang yang tidak sanggup menutupi kebutuhan hidupnya, keluarganya dan anak-anaknya, bagaimana ia dapat berpikir dengan cermat? Lebih-lebih, kalau tetangga kanan kirinya, mendemonstrasikan barang-barang serba lux di rumah-rumah mereka, dan dengan berbagai perhiasan emas di almari-almarinya.
Suatu riwayat menceriterakan, bahwa Imam Abu Hanifah pernah berkata: "Janganlah kalian minta fatwa kepada orang yang dalam rumahnya tidak ada gandum". Sebab orang tersebut pikirannya tidak menentu, bingung dengan urusan dapurnya, sehingga pendapatnya tidak lurus dan tidak tepat. Ini adalah akibat tidak adanya konsentrasi dan ketenangan berpikir, karena terpengaruh oleh faktor kekurangan tadi (="kemiskinan"). Ilmu Jiwapun telah mengakui kebenarannya.
Sebuah Hadits sahih, menyatakan: "Janganlah seorang hakim menjatuhkan vonis, padahal ia sedang marah."
Para Ahli Fiqih berpendapat bahwa keadaan "sangat lapar, sangat haus" dan sebagainya dapat dikategorikan dalam "keadaan marah."

BAHAYA "KEMISKINAN" TERHADAP RUMAH TANGGA.
            B ahaya "kemiskinan" dalam mengancam kehidupan keluarga dan rumah tangga, akan melanda beberapa segi, yaitu segi pembinaannya, segi kelangsungannya dan segi pemeliharaannya.
Dalam pembinaan rumah tangga kita akan menjumpai bahwa "kemiskinan" merupakan penghalang yang tidak kecil. Banyak jejaka terhalang menikah dan takut memikul tanggung jawab sesudah terlaksanya perkawinan, disebabkan karena faktor mas kawin, nafkah keluarga dan kemampuan berekonomi sendiri. Oleh karena itu Al-Qur'an memerintahkan supaya mereka mampu memelihara kehormatan dan menahan ketabahannya, sehingga mereka dapat mencapai kemampuan untuk mengelola ekonomi rumah tangga sendiri. Sebagaimana Firman Allah dalam Al-Qur'an Surat An-Nuur Ayat 33: "Dan hendaklah orang-orang yang belum mampu kawin, menjaga kehormatan mereka, sehingga Allah memberi kepadanya kekayaan dan karunia-Nya."
Sering kita jumpai beberapa gadis yang sudah saatnya menikah tetapi wali-wali mereka menghalangi jejaka yang hendak meminangnya, disebabkan jejaka itu dinilai masih lemah ekonominya dan sedikit hartanya. Sebenarnya kasus semacam ini telah ditentang oleh Al-Qur'an, sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nuur Ayat 32: "Dan kawinkanlah laki-laki dan perempuan-perempuan, yang janda di antara kamu, dan hamba-hamba lelaki dan hamba-hamba perempuan kamu yang sudah layak (berkawin), jika mereka "miskin", Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya, karena Allah itu maha luas (pemberian-Nya), lagi maha mengetahui."
Segi kelangsungan (stabilitas) --- Dalam kelangsungan berumahtangga, tekanan "kemiskinan" sering kali mengalahkan dorongan-dorongan untuk berbuat baik, bahkan tidak jarang memutuskan ikatan perkawinan antara suami dengan istri, karena ketidak sukaan istri kepada suami atau sebaliknya. Kasus semacam ini diakui oleh hukum Islam. Karenanya seorang hakim boleh menceraikan seorang istri dari suaminya, karena kesulitan dan ketidak mampuan suami untuk memberi nafkah istrinya, dengan latar belakang demi menghilangkan kesusahan perempuan, sesuai dengan qaidah yang dijelaskan oleh Hadits Riwayat Ibnu Majah dan Dazaquthnie: "Janganlah mengadakan bahaya dan membalas bahaya."
Segi pemeliharaan --- Dalam hubungan anggota rumah tangga, sering kita jumpai bahwa "kemiskinan" mengotori kejernihan udara rumah tangga bahkan kadang merobek-robek jalinan kasih sayang antara mereka. Dalam hal ini Al-Qur'an menentang adanya kekerasan dan mengutuk kekejaman yang terjadi dalam rumah tangga, sebagaimana yang difirmankan dalam Surat Al-An'am Ayat 15: "Janganlah kamu sekalian membunuh anak-anak kamu karena "kemiskinan". Kamilah yang akan memberikan rezki kepadamu dan kepada mereka."
Dan dalam Surat Al-Isra' Ayat 32: "Janganlah kamu sekalian membunuh anak-anak kamu, karena takut "miskin". Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan kepada kamu sekalian. Sesungguhnya membunuh mereka adalah satu dosa yang besar."

BAHAYA "KEMISKINAN" TERHADAP MASYARAKAT DAN KETENTRAMANNYA.

"Kemiskinan" merupakan bahaya vital terhadap keamanan, ketenteraman dan kesejahteraan masyarakat. Terkadang orang masih sanggup menahan kesabarannya, dengan "kemiskinan" yang disebabkan karena adanya ketidak-seimbangan antara penghasilan dengan banyaknya jumlah penduduk yang ada. Namun, apabila "kemiskinan" itu terjadi karena ketidak-adilan distribusi antara mereka, terjadinya perampasan hak antara sebagian terhadap sebagian yang lain, dan adanya kemewahan golongan minoritas karena meng-eksplotir golongan mayoritas, maka saat demikian itu, "kemiskinan" akan menggoncangkan ketenteraman masyarakat, menimbulkan fitnah dan mengacaukan keamanan. Runtuhlah sendi-sendi mahabbah (=rasa cinta) dan solidaritas antara sesama anggota masyarakat.

Selama dalam kehidupan masyarakat masih terdapat perbedaan sosial yang menyolok; gubuk-gubuk kecil berdampingan dengan gedung-gedung mewah, lantai-lantai tanah berhadapan dengan lantai-lantai permadani dan flat-flat yang menjulang tinggi, rintihan dan ratapan si "miskin" merindukan sesuap nasi di tengah-tengah kekayaan yang berlimpah ruah dan makanan yang serba lezat, kesemuanya ini akan mengundang timbulnya gejolak dada yang penuh dengki dan benci, yang akan meluas membakar semua jiwa, melanda golongan yang lemah dan "miskin". Dari kondisi ini dapat dijelaskan bahwa runtuhnya sendi-sendi kehidupan masyarakat adalah berpangkal karena membiarkan "kemiskinan", kemelaratan dan kepapaan.

Selain itu, "kemiskinan" juga mengancam kejayaan umat, kemerdekaan bangsa dan negara. Seorang yang senantiasa dicekam kelaparan, tidak mungkin terlintas dalam hatinya gairah untuk berjuang membela tanah airnya, mengusir penjajah yang menjadi musuh negaranya, dan mempertahankan kehormatan bangsanya. Karena ia merasa bahwa masyarakat dan negaranya tidak menaruh perhatian kepadanya, di saat lapar tidak diberi makan, di saat takut tidak diberi perlindungan, bahkan bangsanya tidak pernah mengulurkan pertolongan untuk melepaskan beban penderitaan hidup yang menimpanya.

Jadi tidak mengherankan apabila ia tidak mau mengorbankan darah dan jiwanya untuk membela tanah airnya. Bagaimana ia mau berjuang sedang yang mengenyam kenikmatannya adalah orang lain? Dan mungkinkah ia mau ikut menanggung kerugian-kerugian negaranya, padahal di saat pembagian rampasan perang ia dilupakan?

Itulah tadi ancaman bahaya "kemiskinan" dalam beberapa sektor kehidupan manusia. Selain ancaman-ancaman di atas sebenarnya masih ada bahaya-bahaya lain yang ditimbulkan akibat bencana "kemiskinan", misalnya kesehatan masyarakat--- makanan-makanan yang tidak sehat (tidak bergizi), udara yang pengap dan tempat-tempat yang kotor ---- yang diakibatkan minimnya pembiayaan hidup, yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat. Begitu huga terhadap kesehatan individu, karena kecerobohan, kelesuan, akibat lemahnya ekonomi. Begitu juga dalam bidang kehidupan yang lain. Jadi disini jelas bahwa tidak dapat kita pungkiri apabila lemahnya ekonomi (="kemiskinan") sangat berpengaruh terhadap bidang-bidang kehidupan yang lain.


Perhatian agama Islam terhadap masalah kemiskinan sangat besar. Dalam al-Qur’an kata miskin dan masakin disebut sampai 25 kali, sementara faqir dan fuqoro sampai 14 kali (Muhammad Abdul Baqi’). Allah SWT berfirman “berikanlah makan kepada orang yang lagi faqir” (QS. AL-Hajj, 22 : 8). Menurut Yusuf Al-Qardawy akibat negatif dari kefakiran dan kemiskinan itu bisa merusak aqidah, moral dan retaknya keluarga serta masyarakat dan negara.
Dalam Islam ada dua Madzhab dalam menjelaskan tentang siapa sebenarnya yang disebut miskin itu. Pertama, madzhab Hanafi dan Maliki yang berpendapat miskin itu adalah “orang yang tidak mempunyai sesuatupun juga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar