Kebudayaan Yunani purba berkembang pesat sebelum kontak dengan kebudayaan asing yang berasal dari Mesir, India dan lain-lainnya. Pada suatu titik masa, hal ini telah memicu perkembangan filsafat dan agama.
Artikel ini membahas perkembangan awal dari konsep keagamaan yang berkaitan dengan Tuhan, jiwa, akhlak dan masyarakat di Yunani purba serta peranan Socrates dan rekan-rekan kontemporernya.
Kata Pengantar
Budaya bangsa Yunani merupakan salah satu dari kebudayaan awal yang berjalan bersamaan dengan kebudayaan bangsa Mesir, Persia dan India, dimana manusia sudah mulai berfikir tentang kehidupan, perilaku, keyakinan, kehidupan setelah kematian dan tentang alam semesta dimana mereka eksis bersama dengan para pengisi alam lainnya.
Dalam periode beberapa abad sebelum Nabi Isa.a.s. bangsa Yunani sudah mencapai kemajuan luar biasa di bidang matematika, filsafat, kesenian, astronomi, kedokteran, musik dan politik. Hasil kinerja mereka diakui sampai sekarang ini, hanya saja semuanya kemungkinan telah sirna dari muka bumi jika tidak karena pertolongan budaya Islamiah yang telah memelihara dan menterjemahkan hasil karya mereka dan membawanya ke ufuk cakrawala baru.
Perkembangan Awal Pemikiran Yunani
Kebudayaan Yunani bermula sejak 7000 s.M. dengan mulai munculnya komunitas petani di kawasan tersebut. Sampai dengan sekitar 2000 s.M. kebudayaan Minos di pulau Kreta (sebuah pulau besar dekat Yunani) menjadi kekuatan dominan di kawanan ini. Setelah meletusnya gunung Thera sekitar 1500 s.M. bangsa Minos kehilangan kekuasaan dan bangsa Yunani mulai bangkit kekuatannya.
Dalam periode 1000 s.M. sampai dengan masa Nabi Isa a.s., bangsa Yunani mulai mengembangkan konsep filosofi yang berkaitan dengan sains, politik dan kesenian. Mungkin ada yang ingin bertanya apakah perkembangan itu bersifat acak dalam suatu kebudayaan yang sudah maju, ataukah kemajuan itu berjalan dalam kerangka konteks keagamaan, atau juga bahkan berkat bimbingan rahmat Wahyu Ilahi.
Maraknya Filosofi Yunani
Adalah dalam periode ini muncul beberapa aliran pemikiran awal. Pada dasarnya kebudayaan Yunani didasarkan pada paganisme yaitu mereka menyembah tidak terbilang dewa dan dewi, dimana hal ini nantinya berpengaruh juga pada agama Kristen beberapa abad kemudian. Dewa-dewa utama bangsa Yunani terdiri dari antara lain:
• Zeus – dewa langit
• Athena – dewi perawan
• Apollo – dewa yang cemerlang
• Artemis – dewi perburuan
• Poseidon – dewa lautan
• Hades – dewa bawah tanah
Masih banyak lagi lainnya namun daftar di atas cukup memberikan gambaran tentang agama kuno bangsa Yunani. Di sekitar diri dewa- dewi tersebut terdapat jaringan dongeng mithologi yang berputar di sekitar sosok mereka masing-masing. Adalah dari pandangan tentang agama dan sembahan yang rancu demikian itulah para ahli filsafat Yunani berusaha menyusun kerangka fikiran yang harmonis dan teratur.
Pythagoras
Pythagoras (580 – 500 s.M) dari Samos mulai mencoba menggali spiritualitas secara lebih mendalam. Ia lahir di abad ke 6 s.M., katanya dari seorang perawan dan didedikasikan kepada Apollo dengan tujuan agar ia mengkhidmati umat manusia. Ia banyak berkelana dan memperoleh pendidikan dalam bidang yang berkaitan dengan Orpheus, Ibrani, Mesir, Chaldea, Hindu dan Zoroaster. Menurut beberapa sumber, Pythagoras kemudian dikatakan sebagai ‘putra tuhan’ dan menjadi orang Yunani pertama yang menyebut dirinya seorang filosof (seseorang yang mencari tahu).
Pythagoras sudah menyadari keberadaan ruh atau jiwa dan menganggap ruh terperangkap dalam tubuh jasmani sebagai hukuman karena suatu dosa. Ruh tersebut terkutuk harus menjalani berbagai bentuk inkarnasi, baik sebagai manusia atau pun hewan. Pandangan itu menunjukkan adanya pengaruh keyakinan agama Hindu bangsa India, antara lain juga terlihat dari demikian banyaknya sesembahan dewa dan dewi bangsa Yunani yang memiliki kemiripan dengan kumpulan sebagaimana yang terdapat dalam kitab Veda dan tentang inkarnasi jiwa.
Ia berpendapat bahwa semua ilmu pengetahuan bersumber pada matematika khususnya keterkaitan musik, astronomi dan fenomena spiritual dengan bilangan-bilangan. Ia meninggal pada usia 60 tahun tetapi tatanan pengikutnya bertahan sampai 250 tahun.
Sosok kontemporer dari Pythagoras adalah Xenophanes (563 – 483 s.M) dari Colophon yang diberitakan pernah menyatakan bahwa:
‘Ada Tuhan yang satu, jauh lebih akbar dari segala dewa dan manusia, tidak memiliki bentuk atau fikiran seperti manusia yang fana. Dia itu maha melihat, maha berfikir, maha mendengar. Hanya saja manusia membayangkan dewa-dewa dilahirkan dan berpakaian serta memiliki suara dan tubuh seperti diri mereka sendiri.’
Ucapan Xenophanes itu sebagai sanggahan atas pendekatan bangsa Yunani tentang sesembahan mereka yang dirasanya kurang sofistikasi. Ia beranggapan bahwa semua mahluk bisa melihat Tuhan menurut citra mereka sendiri dan dengan cara itu manusia telah mencipta suatu mithologi yang kompleks dengan memfitratkan bentuk manusia dan kelemahan-kelemahannya kepada wujud Tuhan sebagaimana katanya:
‘Jika sapi, kuda atau pun singa memiliki tangan, atau mampu menggambar dengan kakinya serta menghasilkan imaji sebagaimana yang dilakukan manusia maka kuda akan menggambar dewa berbentuk kuda, sapi seperti sapi, dimana mereka akan menggambar bentuk tubuh dewanya sama dengan bentuk tubuh mereka sendiri.’ (ucapannya sebagaimana dikutip oleh Diogenes Laertius).
Sebenarnya Xenophanes sedang berusaha menunjukkan bahwa Tuhan adalah sosok maha kuasa yang tidak terikat pada bentuk dan fitrat yang bisa kita lihat atau bayangkan. Apakah Xenophanes bisa jadi merupakan penganut monotheis pertama di Eropah?
Xenophanes
Dari sini kita bisa melihat bahwa di Yunani pada masa itu pemikiran keagamaan sudah berkembang dan orang sudah membicarakannya dimana hal ini menjadi wahana subur untuk kemajuan ruhaniah. Mereka beranggapan bahwa semua anak muda harus mempelajari epik karangan Homer yaitu Iliad (kisah pengepungan Troya) dan Odyssei (perjalanan pulang pahlawan Ulysses setelah perang tersebut). Namun ironisnya tidak ada penjelasan tentang siapakah Homer tersebut, bahkan ada yang menganggapnya sebagai kumpulan riwayat atau tradisi saja. Bagi bangsa Yunani karya tersebut mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan aspek-aspek moral, praktikal, heroik dan puisi. Karena itulah semua angkatan muda Athena harus membaca Homer yang dianggap akan menjadi bekal bagi mereka dalam menghadapi segala kesulitan kehidupan nantinya.
Kehidupan Socrates.
Socrates lahir di Athena pada tahun 469 s.M. Ia segera mengembangkan fikiran di bidang filsafat seperti halnya Pythagoras sebelumnya. Sayangnya ia tidak ada meninggalkan tulisan langsung yang berisi pandangannya tentang keyakinannya namun kita memiliki catatan kehidupannya sebagaimana direkam oleh Plato dan juga ahli sejarah bangsa Yunani yang bernama Xenophon dari Athena. Dari catatan mereka itulah kita bisa merangkai beberapa informasi tentang kehidupan, keyakinan dan karakter dirinya.
.
Socrates
Di masa mudanya Socrates mendapat pendidikan normal di bidang sains, musik dan gimnastik. Semua ini merupakan subyek pelajaran yang berlaku umum dalam periode Yunani klasik. Ia dikenal juga sebagai pematung dan katanya beberapa karyanya pernah ditampilkan di salah satu tempat di jalan menuju ke Acropolis di Athena.
Tidak lama semua itu ditinggalkan ketika ia mulai menerima serangkaian mimpi, wahyu dan tanda-tanda yang menjurus kepada penugasannya sebagai utusan Ilahi bagi perbaikan bangsa Athena. Ia mencoba menunjukkan kepada mereka kesia-siaan keyakinan dan gaya hidup mereka dan mengajak mereka pada gaya hidup yang lebih intelektual dan bermoral. Sepanjang sisa kehidupannya ia dibimbing oleh ‘suara surgawi’ dan menggambarkan hubungannya dengan Tuhan secara demikian pribadi yang dikenali oleh orang-orang beragama yang hidup di zaman modern. Socrates meyakini ‘suara’ tersebut dan tidak pernah menentangnya karena beranggapan bahwa suara tersebut selalu menunjukkan kepadanya segala kebenaran dan kebaikan.
Socrates memiliki gaya mengajar yang unik yaitu dengan cara bertanya tentang suatu subyek dari berbagai sudut pendekatan, dan dari sana baru menarik kesimpulan. Gaya ini juga digunakan oleh Kong Hu Cu di antara bangsa Cina. Salah satu contoh menarik adalah percakapan Socrates dengan Laches, pensiunan jendral, mengenai makna atau pengertian keberanian:
Socrates: Aku ingin meminta pendapat anda tentang keberanian, tidak saja pada tingkatan infantri tetapi juga kavaleri dan pada semua bentuk pertempuran. Bukan hanya keberanian bertempur tetapi juga keberanian berlayar di laut, menghadapi penyakit dan kemiskinan serta masalah kemasyarakatan. Disamping itu juga keberanian menghadapi nafsu dan kenikmatan yang sama sulitnya dihadapi, baik dengan cara maju atau pun mundur, karena bukankah memang ada manusia yang dikatakan berani dalam segala bidang ini, wahai Laches?
Laches: Ya, benar.
Socrates: Jadi semua itu bisa dianggap sebagai keberanian, hanya saja ada manusia yang mengemukakannya dalam kenikmatan, ada yang dalam kepedihan, ada yang dengan nafsu, dan juga ada yang dalam mara bahaya. Begitu pula dengan adanya yang memperlihatkan kepengecutan dalam keadaan-keadaan yang sama.
Laches: Benar adanya.
Socrates: Sekarang, yang ingin aku ketahui ialah apa yang dimaksud dengan kedua sifat itu. Jadi tolong beritahukan kepadaku, apa yang menjadi ciri-ciri umum keberanian yang terdapat pada semuanya? Pahamkah anda apa yang aku maksud?
Dalam diskusi-diskusinya Socrates selalu mengajak orang untuk mencari pengertian yang lebih dalam serta mencari tahu mengapa mereka mengerjakannya dan apa yang mereka katakan. Ia selalu menggugah anak-anak muda untuk memikirkan tingkah laku dan ucapan mereka sendiri dan tidak sepenuh-nya mengandalkan pada pemahaman menurut Socrates saja.
Ia sebenarnya memiliki derajat dalam masyarakat meski ia menghindari politik karena dianggap akan mengganggu missi keruhaniannya. Dalam jabatan yang dipegangnya ia selalu bersikap berani dan terkadang berdiri sendiri mempertahankan apa yang dianggapnya sebagai tindakan yang benar. Contohnya antara lain saat ia menentang sendirian proposal terhadap para pemenang Arginusae pada tahun 406 s.M. Dua tahun kemudian ia menunjukkan pembangkangan terhadap Tirani Tigapuluh selama masa pemerintahan teror mereka.
Dakwah Socrates yang dilakukan secara ekstensif serta sikapnya yang berprinsip jadinya dianggap mengganggu oleh negara Yunani yang kemudian menangkapnya pada tahun 399 s.M. Yang menjadi pendakwanya adalah Meletus (seorang penyair), Anytus (politisi) dan Lycon (orator). Tuduhannya adalah:
‘Socrates telah bersalah karena tidak mengakui dewa-dewa kota, mengakui adanya sembahan lain dan mencoba memperkenalkan kekuasaan lain. Ia juga telah merusak generasi muda.’ (Freeman, h.267)
Menurut penuturan Plato, Socrates menolak memberikan argumentasi rhetorikal untuk membela dirinya dan menggunakan cara yang lebih santun. Menurut apologi Plato, ia mengawali pembelaan dirinya dengan kata-kata berikut:
‘Kalau begitu aku harus mengajukan pembelaan diri dan mencoba menjernihkan fitnah yang sudah berlangsung lama atas diriku. . . Dan dengan menyerahkan segala sesuatu kepada Tuhan, sesuai dengan kepatuhan kepada hukum, aku sekarang akan mengajukan pembelaan diriku.’ (Apology, 19a)
Sebenarnya ia mempunyai kesempatan untuk mendapatkan hukuman yang lebih ringan tetapi ia menolak dan lebih mempertahankan pendapatnya. Ia sepertinya mengabaikan kedatangan maut dan bahkan menyatakan bahwa ia akan pergi ke suatu tempat yang lebih baik. Ia kemudian divonis mati dan setelah beberapa hari di penjara, ia dipaksa meminum racun yang membawa kematiannya.
Socrates harus minum racun untuk membela kebenaran pendapatnya.
Karakter Socrates
Plato dalam karyanya Symposium mencoba merekam pemikiran-pemikiran Alcibiades, seorang politisi kaya di Athena, dan reaksi yang bersangkutan saat mendengar dakwah Socrates sebagai berikut:
‘Ketika aku mendengarkan dirinya, hatiku berdegup keras . . . sepertinya kalut . . . kesurupan . . . dan air mata meleleh mendengar apa yang dikatakannya. Aku bisa melihat bahwa orang-orang lain juga merasakan dampak yang sama. Aku pernah mendengar Pericles bicara. Aku pernah mendengar orator-orator yang baik lainnya tetapi mereka tidak ada yang menimbulkan efek seperti halnya ini. Mendengar mereka itu aku tidak merasa jiwaku kalut atau merasa bahwa aku ini hanyalah debu belaka.’ (Freeman, h.264)
Alcibiades disini sedang menceritakan interaksi dirinya dengan seseorang yang unik, bukan seorang politisi, bukan seorang egoist, tetapi seseorang yang memiliki keyakinan dan indra yang kuat tentang baik dan buruk, salah dan benar, dan ia mampu menggugah pendengarnya sebagaimana yang hanya bisa dilakukan oleh seorang nabi Tuhan. Bahkan Plato menyebut Socrates sebagai ‘orang yang paling adil di zamannya.’
Seorang sahabat lain menguraikan tentang dirinya sebagai berikut:
‘Sedemikian saleh orangnya sehingga ia tidak akan melakukan sesuatu sebelum berkonsultasi dengan dewanya. Sedemikian bersifat adil dimana ia tidak pernah menyakiti siapa pun, malah ia menjadi penolong bagi para kawannya. Sedemikian sederhana sehingga ia tidak lebih menyukai kenikmatan dibanding kebenaran, sedemikian bijaknya sehingga tidak pernah salah dalam menilai apa yang baik dan buruk. Singkat kata, seorang terbaik dan paling berbahagia dari antara manusia.’
Sifat-sifat demikian terdapat pada seorang yang memang saleh yang selalu memikirkan segala tindakan dan perkataannya, dimana ia selalu berhati-hati dalam melangkah agar tidak menimbulkan kemurkaan Tuhan dan ‘suara Tuhan’ yang telah biasa didengarnya. Ahli sejarah Xenophon mencatat tentang dirinya: ‘Tidak ada seorang pun yang bisa mengatakan bahwa ia pernah melakukan atau mengatakan sesuatu yang tidak pantas.’
Faset lain yang menarik dari karakter Socrates adalah kemampuannya membahas ide-ide dan keyakinannya dengan segala lapisan masyarakat dan dengan segala macam profesi.
Bahkan dalam kehidupan politik, bangsa Athena memilih Archon mereka serta bendaharawan Khazanah dari lingkungan kelas atas dan ke 400 anggota Dewan dipilih dari kedua kelas yang di atas. Kelas yang di bawah diizinkan mengikuti jalannya dewan dan peradilan. Namun bagi Socrates, Tuhan-nya adalah pencipta umat manusia dimana pesan-pesan dan upaya perbaikan diterapkan pada semua manusia Athena, lelaki atau wanita, karena itu ia santai saja berbicara dengan siapa pun apakah penyair, ahli sejarah dan tentara di satu sisi atau juga dengan pembuat sepatu atau tukang kayu (Ahmad, h.81). Hal ini juga menegaskan adanya sifat-sifat seperti yang terdapat pada diri nabi-nabi seperti Isa.a.s., Musa.a.s. dan Buddha.
Keyakinan Socrates.
Pada masa itu kalangan ilmiah Athena sedang giat-giatnya mempelajari sains dan alam luar, namun ia malah mulai mengarahkannya kepada tentang manusia, khususnya tentang pengaruh dari tingkah laku dan perbuatan. Ia berusaha menjelaskan kepada para pengikutnya pemahaman tentang makna kehidupan yang baik dan saleh. Socrates berusaha mengajarkan tentang makna kehidupan dan kematian, dimana ia terkejut atas reaksi mereka atas perkataannya:
‘Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang dinamakan maut, bisa jadi maut merupakan rahmat yang terbesar bagi umat manusia, namun manusia takut kepadanya seperti ketakutan kepada suatu hal yang amat buruk.’
Ia juga menentang konsep kuno bangsa Yunani tentang jiwa atau psyche. Kepercayaan kuno menyatakan bahwa jiwa atau ruh adalah cerminan dari orang yang mati yang bergerak dari dunia kehidupan dan kematian. Socrates menyatakan bahwa ruh adalah suatu yang berbeda dengan tubuh jasmani. Ia mengemukakan kalau ruh itu mempunyai kecenderungan alamiah kepada kebaikan, suatu konsep yang kemudian ditentang oleh Aristoteles (Freeman, h. 281)
Yang paling menarik ialah Socrates memiliki pandangan pribadi tentang Tuhan yang mengajak kita untuk berfikir bahwa ia adalah seorang penerima ru’ya dan wahyu, apalagi jika dikaitkan dengan dampaknya yang terasa seketika pada masyarakat Athena.
Ia berhasil mempertahankan keyakinannya pada Wujud Maha Kuasa dan Maha Pencipta alam semesta terhadap pandangan poytheisme di sekitarnya dengan menggunakan akidah-akidah hukum alam. Ia menentang pluralitas yang berkembang dalam agama bangsa Yunani sebagaimana yang tercermin dalam mithologi mereka. Ia menganjurkan bangsa Athena agar berdoa bagi kebajikan dan bukan untuk keuntungan material.
Pasca Socrates
Banyak sekali aliran pemikiran yang berkembang setelah Socrates. Bahwa kita banyak mengetahui tentang diri Socrates adalah melalui tulisan-tulisan pengagum dirinya yaitu Plato. Plato demikian tergugah oleh nasib Socrates sehingga ia menulis tentang kehidupan dan pengadilannya dalam buku-bukunya Dialogues, Apology dan Symposium. Ia pun berkeyakinan bahwa alam semesta diatur oleh kekuatan yang tidak kasat mata.
Pada saat yang sama terdapat banyak pengikut yang mendekat kepada Socrates sepanjang hidupnya yang menurut Xenophon adalah untuk:
‘menjadi orang yang baik dan lurus, mampu melaksanakan kewajiban terhadap rumah dan rumahtangganya, terhadap kerabat dan teman, terhadap kota dan penduduknya.’
Sebagian dari pengikutnya itu menjadi demikian dekat (dalam agama Kristen mereka tentunya disebut sebagai apostel) sehingga ketika ia meninggal maka mereka merasa berkewajiban meneruskan pesan-pesan yang dibawanya.
Plato
Plato berkeyakinan bahwa dunia nyata ini tidak mengandung semua ilmu pengetahuan secara lengkap dan bahkan sebenarnya hanya merupakan tampakmuka (fasad) dari suatu dunia ghaib dimana bermukim kebenaran dan pengetahuan hakiki.
Ketika kemudian muncul Aristoteles dari Stagira, konsep ketuhanan ini direduksi menjadi salah satu kausa awal alam semesta, tetapi dianggap tidak memainkan peran utama (Ahmad, h.77)
Kesimpulan
Agama Islam, Kristen dan Yahudi semuanya memiliki garis pewarisan sama yang berasal dari Ibrahim.a.s. Namun Al-Quran secara unik mengakui keberadaan nabi-nabi lain di luar daerah Timur Tengah sebagaimana kemudian kita ketahui atas dasar studi mengenai Krishna, Buddha, Kong Hu Cu dan lain-lain. Al-Quran menyinggung hal ini di beberapa tempat seperti:
‘Sesungguhnya telah Kami bangkitkan dalam setiap umat seorang rasul dengan ajaran “Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut (pelampauan batas).†Maka dari antara mereka itu ada sebagian yang diberi petunjuk oleh Allah dan dari antara mereka ada sebagian yang layak mendapat kebinasaan. . .’ (S.16 An-Nahl:37)
Dalam ayat lain dikemukakan:
‘Sesungguhnya Kami telah mewahyukan kepada engkau sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi yang sesudahnya, dan telah Kami wahyukan kepada Ibrahim dan Ismail dan Ishak dan Ya’kub dan anak-cucunya dan Isa dan Ayyub dan Yunus dan Harun dan Sulaiman dan telah Kami berikan Zabur kepada Daud. Dan ada beberapa rasul yang telah Kami kabarkan kepada engkau sebelum ini dan ada pula beberapa rasul yang tidak Kami kabarkan kepada engkau. . .’ (S.4 An-Nisa:164-165)
Tidak banyak karya-karya tertulis dari demikian banyak nabi-nabi Tuhan di masa lalu yang bisa menggambarkan keyakinan keimanan mereka, namun dari bukti yang mereka tinggalkan dalam masyarakat dan pengaruhnya atas sejarah dan generasi masa depan dari para pemikir keagamaan, kita memperoleh banyak bukti-bukti kuat tentang keberadaan mereka.
Khusus berkaitan dengan Socrates kita masih beruntung karena riwayat hidup, karya dan keyakinannya telah dicatat oleh salah seorang muridnya yaitu Plato. Walau akurasi karya ini mungkin bisa diperdebatkan namun kita masih mendapatkan gambaran umum tentang sosok bersangkutan. Kita juga harus mengandalkan bukti-bukti serupa dalam meneliti nabi-nabi yang terdapat pada berbagai bangsa seperti misalnya Mesir. Atas dasar telaah yang tersedia demikian, maka dari riwayat hidup, karya dan ucapan Socrates kita bisa menyimpulkan bahwa sosok ini adalah seorang nabi Tuhan.
Catatan tambahan : Filosof bangsa Yunani
Pythagoras (580-500 a.M) kelahiran Samos. Ia mengembangkan suatu kelompok yang meyakini bahwa kesatuan dan tatanan dunia bisa dilihat melalui sains, matematika dan musik.
Socrates (469-399 s.M) mengembangkan konsep tentang kebajikan dan dosa, dimana ia menganjurkan manusia untuk memikirkan kelakuan mereka.
Plato (427-347 s.M) mendirikan akademi di Athena pada tahun 387 s.M. Ia menekankan keagungan daripada kebijakan, keberanian, kesadaran dan keadilan.
Aristoteles (384-322 s.M) mendirikan Lyceum di Athena. Ia mengajarkan pemikiran analitis, eksprimentasi dan spekulasi.
Epicurus (342-271 s.M) membawa pandangan yang dibawanya dari tempat asalnya di Samos tentang konsep kehidupan menjauh dari dunia politik. Ia menganjurkan keberanian berlogika, menerimakan kepedihan dan tidak takut kepada kematian.
Zeno dari Citium (336-263 s.M) mengembangkan Stoicisme dan konsep humanist
Aristarchus (320-250 s.M) dari Samos yang mengembangkan konsep alam berpusat pada matahari dimana bumi berputar mengelilinginya.
Posidonius (130-50 s.M) dari Apamea yang mendirikan sekolah di Rhodes dan menggabungkan Stoicisme dengan mistisisme.Kebudayaan Yunani tertata amat rapih dan hirarkis sama halnya dengan masyarakat di India, Mesir dan lain-lain dimana para penyair, ilmuwan dan politisi biasa berdiskusi di antara sesama mereka sebagai intelegensia. Pada masa itu masyarakat Athena terdiri atas kelas-kelas sebagai berikut:
• pentakosiomedimnoi – kelas atas pemilik tanah luas
• hippeis – kelas menengah
• zeugitai – petani
• thetes – miskin, tanpa harta
SEJARAH FILSAFAT KLASIK
1. Filsafat Yunani
Para sarjana filsafat mengatakan bahwa mempelajari filsafat Yunani berarti menyaksikan kelahiran filsafat. Karena itu tidak ada pengantar filsafat yang lebih ideal dari pada study perkembangan pemikiran filsafat di negeri Yunani. Alfred Whitehead mengatakan tentang Plato: "All Western phylosophy is but a series of footnotes to Plato". Pada Plato dan filsafat Yunani umumnya dijumpai problem filsafat yang masih dipersoalkan sampai hari ini. Tema-tema filsafat Yunani seperti ada, menjadi, substansi, ruang, waktu, kebenaran, jiwa, pengenalan, Allah dan dunia merupakan tema-tema bagi filsafat seluruhnya.
Filsuf- Filsuf Pertama
Ada tiga filsuf dari kota Miletos yaitu Thales, Anaximandros dan Anaximenes. Ketiganya secara khusus menaruh perhatian pada alam dan kejadian-kejadian alamiah, terutama tertarik pada adanya perubahan yang terus menerus di alam. Mereka mencari suatu asas atau prinsip yang tetap tinggal sama di belakang perubahan-perubahan yang tak henti-hentinya itu. Thales mengatakan bahwa prinsip itu adalah air, Anaximandros berpendapat to apeiron atau yang tak terbatas sedangkan Anaximenes menunjuk udara.
Thales juga berpendapat bahwa bumi terletak di atas air. Tentang bumi, Anaximandros mengatakan bahwa bumi persis berada di pusat jagat raya dengan jarak yang sama terhadap semua badan yang lain. Sedangkan mengenai kehidupan bahwa semua makhluk hidup berasal dari air dan bentuk hidup yang pertama adalah ikan. Dan manusia pertama tumbuh dalam perut ikan. Sementara Anaximenes dapat dikatakan sebagai pemikir pertama yang mengemukakan persamaan antara tubuh manusia dan jagat raya. Udara di alam semesta ibarat jiwa yang dipupuk dengan pernapasan di dalam tubuh manusia.
Filosof berikutnya yang perlu diperkenalkan adalah Pythagoras. Ajaran-ajarannya yang pokok adalah pertama dikatakan bahwa jiwa tidak dapat mati. Sesudah kematian manusia, jiwa pindah ke dalam hewan, dan setelah hewan itu mati jiwa itu pindah lagi dan seterusnya. Tetapi dengan mensucikan dirinya, jiwa dapat selamat dari reinkarnasi itu. Kedua dari penemuannya terhadap interval-interval utama dari tangga nada yang diekspresikan dengan perbandingan dengan bilangan-bilangan, Pythagoras menyatakan bahwa suatu gejala fisis dikusai oleh hukum matematis. Bahkan katanya segala-galanya adalah bilangan. Ketiga mengenai kosmos, Pythagoras menyatakan untuk pertama kalinya, bahwa jagat raya bukanlah bumi melainkan Hestia (Api), sebagaimana perapian merupakan pusat dari sebuah rumah.
Pada jaman Pythagoras ada Herakleitos Di kota Ephesos dan menyatakan bahwa api sebagai dasar segala sesuatu. Api adalah lambang perubahan, karena api menyebabkan kayu atau bahan apa saja berubah menjadi abu sementara apinya sendiri tetap menjadi api. Herakleitos juga berpandangan bahwa di dalam dunia alamiah tidak sesuatupun yang tetap. Segala sesuatu yang ada sedang menjadi. Pernyataannya yang masyhur "Pantarhei kai uden menei" yang artinya semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap. Filosof pertama yang disebut sebagai peletak dasar metafisika adalah Parmenides. Parmenides berpendapat bahwa yang ada ada, yang tidak ada tidak ada. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah yang ada 1) satu dan tidak terbagi, 2) kekal, tidak mungkin ada perubahan, 3) sempurna, tidak bisa ditambah atau diambil darinya, 4) mengisi segala tempat, akibatnya tidak mungkin ada gerak sebagaimana klaim Herakleitos.
Para filsuf tersebut dikenal sebagai filsuf monisme yaitu pendirian bahwa realitas seluruhnya bersifat satu karena terdiri dari satu unsur saja. Para Filsuf berikut ini dikenal sebagai filsuf pluralis, karena pandangannya yang menyatakan bahwa realitas terdiri dari banyak unsur. Empedokles menyatakan bahwa realitas terdiri dari empat rizomata (akar) yaitu api, udara, tanah dan air. Perubahan-perubahan yang terjadi di alam dikendalikan oleh dua prinsip yaitu cinta (Philotes) dan benci (Neikos). Empedokles juga menerangkan bahwa pengenalan (manusia) berdasarkan prinsip yang sama mengenal yang sama. Pluralis yang berikutnya adalah Anaxagoras, yang mengatakan bahwa realitas adalah terdiri dari sejumlah tak terhingga spermata (benih). Berbeda dari Empedokles yang mengatakan bahwa setiap unsur hanya memiliki kualitasnya sendiri seperti api adalah panas dan air adalah basah, Anaxagoras mengatakan bahwa segalanya terdapat dalam segalanya. Karena itu rambut dan kuku bisa tumbuh dari daging.
Perubahan yang membuat benih-benih menjadi kosmos hanya berupa satu prinsip yaitu Nus yang berarti roh atau rasio. Nus tidak tercampur dalam benih-benih dan Nus mengenal serta mengusai segala sesuatu. Karena itu, Anaxagoras dikatakan sebagai filsuf pertama yang membedakan antara "yang ruhani" dan "yang jasmani". Pluralis Leukippos dan Demokritos juga disebut sebagai filsuf atomis. Atomisme mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak unsur yang tak dapat dibagi-bagi lagi, karenanya unsur-unsur terakhir ini disebut atomos. Lebih lanjut dikatakan bahwa atom-atom dibedakan melalui tiga cara: (seperti A dan N), urutannya (seperti AN dan NA) dan posisinya (seperti N dan Z). Jumlah atom tidak berhingga dan tidak mempunyai kualitas, sebagaimana pandangan Parmenides atom-atom tidak dijadikan dan kekal.
Tetapi Leukippos dan Demokritos menerima ruang kosong sehingga memungkinkan adanya gerak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa realitas seluruhnya terdiri dari dua hal: yang penuh yaitu atom-atom dan yang kosong. Menurut Demokritos jiwa juga terdiri dari atom-atom. Menurutnya proses pengenalan manusia tidak lain sebagai interaksi antar atom. Setiap benda mengeluarkan eidola (gambaran-gambaran kecil yang terdiri dari atom-atom dan berbentuk sama seperti benda itu). Eidola ini masuk ke dalam panca indra dan disalurkan kedalam jiwa yang juga terdiri dari atom-atom eidola. Kualitas-kualitas yang manis, panas, dingin dan sebagainya, semua hanya berkuantitatif belaka. Atom jiwa bersentuhan dengan atom licin menyebabkan rasa manis, persentuhan dengan atom kesat menimbulkan rasa pahit sedangkan sentuhan dengan atom berkecepatan tinggi menyebabkan rasa panas, dan seterusnya.
1. Filsafat Yunani
Para sarjana filsafat mengatakan bahwa mempelajari filsafat Yunani berarti menyaksikan kelahiran filsafat. Karena itu tidak ada pengantar filsafat yang lebih ideal dari pada study perkembangan pemikiran filsafat di negeri Yunani. Alfred Whitehead mengatakan tentang Plato: "All Western phylosophy is but a series of footnotes to Plato". Pada Plato dan filsafat Yunani umumnya dijumpai problem filsafat yang masih dipersoalkan sampai hari ini. Tema-tema filsafat Yunani seperti ada, menjadi, substansi, ruang, waktu, kebenaran, jiwa, pengenalan, Allah dan dunia merupakan tema-tema bagi filsafat seluruhnya.
Filsuf- Filsuf Pertama
Ada tiga filsuf dari kota Miletos yaitu Thales, Anaximandros dan Anaximenes. Ketiganya secara khusus menaruh perhatian pada alam dan kejadian-kejadian alamiah, terutama tertarik pada adanya perubahan yang terus menerus di alam. Mereka mencari suatu asas atau prinsip yang tetap tinggal sama di belakang perubahan-perubahan yang tak henti-hentinya itu. Thales mengatakan bahwa prinsip itu adalah air, Anaximandros berpendapat to apeiron atau yang tak terbatas sedangkan Anaximenes menunjuk udara.
Thales juga berpendapat bahwa bumi terletak di atas air. Tentang bumi, Anaximandros mengatakan bahwa bumi persis berada di pusat jagat raya dengan jarak yang sama terhadap semua badan yang lain. Sedangkan mengenai kehidupan bahwa semua makhluk hidup berasal dari air dan bentuk hidup yang pertama adalah ikan. Dan manusia pertama tumbuh dalam perut ikan. Sementara Anaximenes dapat dikatakan sebagai pemikir pertama yang mengemukakan persamaan antara tubuh manusia dan jagat raya. Udara di alam semesta ibarat jiwa yang dipupuk dengan pernapasan di dalam tubuh manusia.
Filosof berikutnya yang perlu diperkenalkan adalah Pythagoras. Ajaran-ajarannya yang pokok adalah pertama dikatakan bahwa jiwa tidak dapat mati. Sesudah kematian manusia, jiwa pindah ke dalam hewan, dan setelah hewan itu mati jiwa itu pindah lagi dan seterusnya. Tetapi dengan mensucikan dirinya, jiwa dapat selamat dari reinkarnasi itu. Kedua dari penemuannya terhadap interval-interval utama dari tangga nada yang diekspresikan dengan perbandingan dengan bilangan-bilangan, Pythagoras menyatakan bahwa suatu gejala fisis dikusai oleh hukum matematis. Bahkan katanya segala-galanya adalah bilangan. Ketiga mengenai kosmos, Pythagoras menyatakan untuk pertama kalinya, bahwa jagat raya bukanlah bumi melainkan Hestia (Api), sebagaimana perapian merupakan pusat dari sebuah rumah.
Pada jaman Pythagoras ada Herakleitos Di kota Ephesos dan menyatakan bahwa api sebagai dasar segala sesuatu. Api adalah lambang perubahan, karena api menyebabkan kayu atau bahan apa saja berubah menjadi abu sementara apinya sendiri tetap menjadi api. Herakleitos juga berpandangan bahwa di dalam dunia alamiah tidak sesuatupun yang tetap. Segala sesuatu yang ada sedang menjadi. Pernyataannya yang masyhur "Pantarhei kai uden menei" yang artinya semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap. Filosof pertama yang disebut sebagai peletak dasar metafisika adalah Parmenides. Parmenides berpendapat bahwa yang ada ada, yang tidak ada tidak ada. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah yang ada 1) satu dan tidak terbagi, 2) kekal, tidak mungkin ada perubahan, 3) sempurna, tidak bisa ditambah atau diambil darinya, 4) mengisi segala tempat, akibatnya tidak mungkin ada gerak sebagaimana klaim Herakleitos.
Para filsuf tersebut dikenal sebagai filsuf monisme yaitu pendirian bahwa realitas seluruhnya bersifat satu karena terdiri dari satu unsur saja. Para Filsuf berikut ini dikenal sebagai filsuf pluralis, karena pandangannya yang menyatakan bahwa realitas terdiri dari banyak unsur. Empedokles menyatakan bahwa realitas terdiri dari empat rizomata (akar) yaitu api, udara, tanah dan air. Perubahan-perubahan yang terjadi di alam dikendalikan oleh dua prinsip yaitu cinta (Philotes) dan benci (Neikos). Empedokles juga menerangkan bahwa pengenalan (manusia) berdasarkan prinsip yang sama mengenal yang sama. Pluralis yang berikutnya adalah Anaxagoras, yang mengatakan bahwa realitas adalah terdiri dari sejumlah tak terhingga spermata (benih). Berbeda dari Empedokles yang mengatakan bahwa setiap unsur hanya memiliki kualitasnya sendiri seperti api adalah panas dan air adalah basah, Anaxagoras mengatakan bahwa segalanya terdapat dalam segalanya. Karena itu rambut dan kuku bisa tumbuh dari daging.
Perubahan yang membuat benih-benih menjadi kosmos hanya berupa satu prinsip yaitu Nus yang berarti roh atau rasio. Nus tidak tercampur dalam benih-benih dan Nus mengenal serta mengusai segala sesuatu. Karena itu, Anaxagoras dikatakan sebagai filsuf pertama yang membedakan antara "yang ruhani" dan "yang jasmani". Pluralis Leukippos dan Demokritos juga disebut sebagai filsuf atomis. Atomisme mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak unsur yang tak dapat dibagi-bagi lagi, karenanya unsur-unsur terakhir ini disebut atomos. Lebih lanjut dikatakan bahwa atom-atom dibedakan melalui tiga cara: (seperti A dan N), urutannya (seperti AN dan NA) dan posisinya (seperti N dan Z). Jumlah atom tidak berhingga dan tidak mempunyai kualitas, sebagaimana pandangan Parmenides atom-atom tidak dijadikan dan kekal.
Tetapi Leukippos dan Demokritos menerima ruang kosong sehingga memungkinkan adanya gerak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa realitas seluruhnya terdiri dari dua hal: yang penuh yaitu atom-atom dan yang kosong. Menurut Demokritos jiwa juga terdiri dari atom-atom. Menurutnya proses pengenalan manusia tidak lain sebagai interaksi antar atom. Setiap benda mengeluarkan eidola (gambaran-gambaran kecil yang terdiri dari atom-atom dan berbentuk sama seperti benda itu). Eidola ini masuk ke dalam panca indra dan disalurkan kedalam jiwa yang juga terdiri dari atom-atom eidola. Kualitas-kualitas yang manis, panas, dingin dan sebagainya, semua hanya berkuantitatif belaka. Atom jiwa bersentuhan dengan atom licin menyebabkan rasa manis, persentuhan dengan atom kesat menimbulkan rasa pahit sedangkan sentuhan dengan atom berkecepatan tinggi menyebabkan rasa panas, dan seterusnya.
http://kuliahfilsafat.blogspot.com/2009/04/sejarah-filsafat-klasik-filsafat-yunani.html
Mengenai Bangsa Yunani Kuno
Yunani, sebuah embodiment dari konsep ideal. Ideal dalam arti dandalam kontek hidup manusia yang dimanifestasikan dalam berbagai ragam
form dan gesture. Mitologinya adalah salah satu contoh, dimana, dunia
ini dengan para dewa adalah sebuah tata cara pandang yang paling ideal
dalam hidup manusia. Tetapi mungkin lebih tepatnya, mitologinya
tersebut adalah sebuah ensiklopedia tentang keseluruhan pandangan
hidup bangsa Yunani kuno terhadap kehidupan ini dan terhadap manusia
pada umumnya, yaitu:
1. konsep kingship dalam order dan power
2. konsep procreation, dan yang kemudian love, dan dalam bentuk yang
paling buruk adalah pemerkosaan
3. kebencian dan sifat pengecut
4. asap yang selalu mengepul dari perapian dan selalu tersedianya sup
dan roti adalah dua hal yang menjadi pondasi dasar kehidupan manusia,
yaitu kehangatan fisik dan perut
5. pengetahuan dengan hubungannya dalam ketentaraan
6. pengetahuan dalam hubungannya dengan kemudaan
7. dll
Agama Yunani kuno adalah sebuah agama yang sangat sederhana sekaligus
sangat komplek. Para dewa tidak lebih daripada manusia yang mempunyai
hubungan dengan dunia alam dan terikat kepada nasib, ruang, dan waktu,
dan tentunya juga kebutuhan-kebutuhan.
Ketika kita meninggalkan agama dan menuju kehidupan nyata, tampaklah,
bahwa pendidikan adalah sebuah sumber dari pembentukan manusia ideal.
Pendidikan tersebut, pada dasarnya didasarkan kepada:
1. pendidikan militer dan pendidikan olahraga untuk melatih raga
Tubuh seorang pria yang sangat sportif adalah tubuh ideal seorang pria
muda dan oleh karena itulah ketelanjangan pria adalah sebuah hal yang
sangat indah karena itu adalah representasi dari idealisme seorang
pria yang mana hal itu lahir dari pendidikan militer dan pendidikan
olahraganya.
2. pendidikan musik untuk melatih jiwa
Ini adalah yang tidak begitu aku mengerti, karena para muses dalam
bangsa Yunani kuno tidak begitu menempati tempat yang tinggi dalam
konstelasi sosial, tetapi kenapa bisa ada sebuah konsep pendidikan
musik untuk jiwa?
3. pendidikan geometri untuk melatih ketrampilan berpikir
seluruh konstelasi filsafat Yunani pada awal mula yang paling dasar
tampak dalam bentuk mathematics, dan dalam konteks Yunani kuno,
geometry adalah mathematics itu sendiri. Sedangkan kemudian kita
mengenal filsafat alam dan kemudian filsafat dialog. Kedua bentuk
filsafat ini sendiri lahir karena pengaruh dari kebudayaan mesir, atau
lebih tepatnya yaitu karena pengaruh Hermeticum, Corpus Hermeticum,
Hermes Trismegistus(tetapi ini adalah opini dan asumsiku pribadi).
Sebagaimana bangsa Eropa sangat menghormati bangsa Yunani kuno, begitu
juga bangsa Yunani kuno ini menghormati bangsa Mesir kuno dengan
keajaiban filsafat, alchemy, geometry, ilmu perbintangan, dan
magus-nya.
4. pendidikan rhetoric untuk melatih ketrampilan berpolitik dan hidup
bermasyarakat
Bahkan, apa yang disebut sebagai seorang master of politic adalah
seseorang yang mempunyai kemampuan rhetoric yang paling excellent,
karena dengan kemampuan ini seseorang tersebut mampu mewujudkan
pemikirannya menjadi kenyataan dalam assembly
http://blog.kongtai.org/2010/06/mengenai-bangsa-yunani-kuno/
SISTEMATIKA FILSAFAT
A. Ontologi
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu, bagaimana wujud hakikinya, serta bagaimana hubungannya dengan daya tangkap manusia yang berupa berpikir, merasa, dan meng-indera yang membuahkan pengetahuan.
Objek telaah Ontologi tersebut adalah yang tidak terlihat pada satu perwujudan tertentu, yang membahas tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya. Adanya segala sesuatu merupakan suatu segi dari kenyataan yang mengatasi semua perbedaan antara benda-benda dan makhluk hidup, antara jenis-jenis dan individu-individu.
Dari pembahasannya memunculkan beberapa pandangan yang dikelompokkan dalam beberapa aliran berpikir, yaitu:
1. Materialisme;
Aliran yang mengatakan bahwa hakikat dari segala sesuatu yang ada itu adalah materi. Sesuatu yang ada (yaitu materi) hanya mungkin lahir dari yang ada.
2. Idealisme (Spiritualisme);
Aliran ini menjawab kelemahan dari materialisme, yang mengatakan bahwa hakikat pengada itu justru rohani (spiritual). Rohani adalah dunia ide yang lebih hakiki dibanding materi.
3. Dualisme;
Aliran ini ingin mempersatukan antara materi dan ide, yang berpendapat bahwa hakikat pengada (kenyataan) dalam alam semesta ini terdiri dari dua sumber tersebut, yaitu materi dan rohani.
4. Agnotisisme.
Aliran ini merupakan pendapat para filsuf yang mengambil sikap skeptis, yaitu ragu atas setiap jawaban yang mungkin benar dan mungkin pula tidak.
B. Epistemologi
Objek telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang dan bagaimana mengetahuinya, bagaimana membedakan dengan yang lain. Jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu tentang sesuatu hal. Landasan epistemologi adalah proses apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, serta apa definisinya. Epistemologi moral menelaah evaluasi epistemik tentang keputusan moral dan teori-teori moral.
Dalam epistemologi muncul beberapa aliran berpikir, yaitu:
1. Empirisme;
Yang berarti pengalaman (empeiria), dimana pengetahuan manusia diperoleh dari pengalaman inderawi.
2. Rasionalisme;
Tanpa menolak besarnya manfaat pengalaman indera dalam kehidupan manusia, namun persepsi inderawi hanya digunakan untuk merangsang kerja akal. Jadi akal berada diatas pengalaman inderawi dan menekankan pada metode deduktif.
3. Positivisme;
Merupakan sistesis dari empirisme dan rasionalisme. Dengan mengambil titik tolak dari empirisme, namun harus dipertajam dengan eksperimen, yang mampu secara objektif menentukan validitas dan reliabilitas pengetahuan.
4. Intuisionisme.
Intuisi tidak sama dengan perasaan, namun merupakan hasil evolusi pemahaman yang tinggi yang hanya dimiliki manusia. Kemampuan ini yang dapat memahami kebenaran yang utuh, yang tetap dan unik.
C. Aksiologi
Aksiologi adalah filsafat nilai. Aspek nilai ini ada kaitannya dengan kategori: (1) baik dan buruk; serta (2) indah dan jelek. Kategori nilai yang pertama di bawah kajian filsafat tingkah laku atau disebut etika, sedang kategori kedua merupakan objek kajian filsafat keindahan atau estetika.
1. Etika
Etika disebut juga filsafat moral (moral philosophy), yang berasal dari kata ethos (Yunani) yang berarti watak. Moral berasal dari kata mos atau mores (Latin) yang artinya kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia istilah moral atau etika diartikan kesusilaan. Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia, sedang objek formal etika adalah kebaikan atau keburukan, bermoral atau tidak bermoral.
Moralitas manusia adalah objek kajian etika yang telah berusia sangat lama. Sejak masyarakat manusia terbentuk, persoalan perilaku yang sesuai dengan moralitas telah menjadi bahasan. Berkaitan dengan hal itu, kemudian muncul dua teori yang menjelaskan bagaimana suatu perilaku itu dapat diukur secara etis. Teori yang dimaksud adalah Deontologis dan Teologis.
a. Deontologis.
Teori Deontologis diilhami oleh pemikiran Immanuel Kant, yang terkesan kaku, konservatif dan melestarikan status quo, yaitu menyatakan bahwa baik buruknya suatu perilaku dinilai dari sudut tindakan itu sendiri, dan bukan akibatnya. Suatu perilaku baik apabila perilaku itu sesuai norma-norma yang ada.
b. Teologis
Teori Teologis lebih menekankan pada unsur hasil. Suatu perilaku baik jika buah dari perilaku itu lebih banyak untung daripada ruginya, dimana untung dan rugi ini dilihat dari indikator kepentingan manusia. Teori ini memunculkan dua pandangan, yaitu egoisme dan utilitarianisme (utilisme). Tokoh yang mengajarkan adalah Jeremy Bentham (1742 – 1832), yang kemudian diperbaiki oleh john Stuart Mill (1806 – 1873).
2. Estetika
Estetika disebut juga dengan filsafat keindahan (philosophy of beauty), yang berasal dari kata aisthetika atau aisthesis (Yunani) yang artinya hal-hal yang dapat dicerap dengan indera atau cerapan indera. Estetika membahas hal yang berkaitan dengan refleksi kritis terhadap nilai-nilai atas sesuatu yang disebut indak atau tidak indah.
Dalam perjalanan filsafat dari era Yunani kuno hingga sekarang muncul persoalan tentang estetika, yaitu: pertanyaan apa keindahan itu, keindahan yang bersifat objektif dan subjektif, ukuran keindahan, peranan keindahan dalam kehidupan manusia dan hubungan keindahan dengan kebenaran. Sehingga dari pertanyaan itu menjadi polemik menarik terutama jika dikaitkan dengan agama dan nilai-nilai kesusilaan, kepatutan, dan hukum.
A. Ontologi
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu, bagaimana wujud hakikinya, serta bagaimana hubungannya dengan daya tangkap manusia yang berupa berpikir, merasa, dan meng-indera yang membuahkan pengetahuan.
Objek telaah Ontologi tersebut adalah yang tidak terlihat pada satu perwujudan tertentu, yang membahas tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya. Adanya segala sesuatu merupakan suatu segi dari kenyataan yang mengatasi semua perbedaan antara benda-benda dan makhluk hidup, antara jenis-jenis dan individu-individu.
Dari pembahasannya memunculkan beberapa pandangan yang dikelompokkan dalam beberapa aliran berpikir, yaitu:
1. Materialisme;
Aliran yang mengatakan bahwa hakikat dari segala sesuatu yang ada itu adalah materi. Sesuatu yang ada (yaitu materi) hanya mungkin lahir dari yang ada.
2. Idealisme (Spiritualisme);
Aliran ini menjawab kelemahan dari materialisme, yang mengatakan bahwa hakikat pengada itu justru rohani (spiritual). Rohani adalah dunia ide yang lebih hakiki dibanding materi.
3. Dualisme;
Aliran ini ingin mempersatukan antara materi dan ide, yang berpendapat bahwa hakikat pengada (kenyataan) dalam alam semesta ini terdiri dari dua sumber tersebut, yaitu materi dan rohani.
4. Agnotisisme.
Aliran ini merupakan pendapat para filsuf yang mengambil sikap skeptis, yaitu ragu atas setiap jawaban yang mungkin benar dan mungkin pula tidak.
B. Epistemologi
Objek telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang dan bagaimana mengetahuinya, bagaimana membedakan dengan yang lain. Jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu tentang sesuatu hal. Landasan epistemologi adalah proses apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, serta apa definisinya. Epistemologi moral menelaah evaluasi epistemik tentang keputusan moral dan teori-teori moral.
Dalam epistemologi muncul beberapa aliran berpikir, yaitu:
1. Empirisme;
Yang berarti pengalaman (empeiria), dimana pengetahuan manusia diperoleh dari pengalaman inderawi.
2. Rasionalisme;
Tanpa menolak besarnya manfaat pengalaman indera dalam kehidupan manusia, namun persepsi inderawi hanya digunakan untuk merangsang kerja akal. Jadi akal berada diatas pengalaman inderawi dan menekankan pada metode deduktif.
3. Positivisme;
Merupakan sistesis dari empirisme dan rasionalisme. Dengan mengambil titik tolak dari empirisme, namun harus dipertajam dengan eksperimen, yang mampu secara objektif menentukan validitas dan reliabilitas pengetahuan.
4. Intuisionisme.
Intuisi tidak sama dengan perasaan, namun merupakan hasil evolusi pemahaman yang tinggi yang hanya dimiliki manusia. Kemampuan ini yang dapat memahami kebenaran yang utuh, yang tetap dan unik.
C. Aksiologi
Aksiologi adalah filsafat nilai. Aspek nilai ini ada kaitannya dengan kategori: (1) baik dan buruk; serta (2) indah dan jelek. Kategori nilai yang pertama di bawah kajian filsafat tingkah laku atau disebut etika, sedang kategori kedua merupakan objek kajian filsafat keindahan atau estetika.
1. Etika
Etika disebut juga filsafat moral (moral philosophy), yang berasal dari kata ethos (Yunani) yang berarti watak. Moral berasal dari kata mos atau mores (Latin) yang artinya kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia istilah moral atau etika diartikan kesusilaan. Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia, sedang objek formal etika adalah kebaikan atau keburukan, bermoral atau tidak bermoral.
Moralitas manusia adalah objek kajian etika yang telah berusia sangat lama. Sejak masyarakat manusia terbentuk, persoalan perilaku yang sesuai dengan moralitas telah menjadi bahasan. Berkaitan dengan hal itu, kemudian muncul dua teori yang menjelaskan bagaimana suatu perilaku itu dapat diukur secara etis. Teori yang dimaksud adalah Deontologis dan Teologis.
a. Deontologis.
Teori Deontologis diilhami oleh pemikiran Immanuel Kant, yang terkesan kaku, konservatif dan melestarikan status quo, yaitu menyatakan bahwa baik buruknya suatu perilaku dinilai dari sudut tindakan itu sendiri, dan bukan akibatnya. Suatu perilaku baik apabila perilaku itu sesuai norma-norma yang ada.
b. Teologis
Teori Teologis lebih menekankan pada unsur hasil. Suatu perilaku baik jika buah dari perilaku itu lebih banyak untung daripada ruginya, dimana untung dan rugi ini dilihat dari indikator kepentingan manusia. Teori ini memunculkan dua pandangan, yaitu egoisme dan utilitarianisme (utilisme). Tokoh yang mengajarkan adalah Jeremy Bentham (1742 – 1832), yang kemudian diperbaiki oleh john Stuart Mill (1806 – 1873).
2. Estetika
Estetika disebut juga dengan filsafat keindahan (philosophy of beauty), yang berasal dari kata aisthetika atau aisthesis (Yunani) yang artinya hal-hal yang dapat dicerap dengan indera atau cerapan indera. Estetika membahas hal yang berkaitan dengan refleksi kritis terhadap nilai-nilai atas sesuatu yang disebut indak atau tidak indah.
Dalam perjalanan filsafat dari era Yunani kuno hingga sekarang muncul persoalan tentang estetika, yaitu: pertanyaan apa keindahan itu, keindahan yang bersifat objektif dan subjektif, ukuran keindahan, peranan keindahan dalam kehidupan manusia dan hubungan keindahan dengan kebenaran. Sehingga dari pertanyaan itu menjadi polemik menarik terutama jika dikaitkan dengan agama dan nilai-nilai kesusilaan, kepatutan, dan hukum.
http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/1871556-pengantar-filsafat/
Filsafat Zaman Yunani Kuno
Filsafat Zaman Yunani Kuno1.1 Filsafat pra-sokrates ditandai oleh usaha mencari asal (asas) segala sesuatu ("arche" = ). Tidakkah di balik keanekaragaman realitas di alam semesta itu hanya ada satu azas? Thales mengusulkan: air, Anaximandros: yang tak terbatas, Empedokles: api-udara-tanah-air. Herakleitos mengajar bahwa segala sesuatu mengalir ("panta rei" = selalu berubah), sedang Parmenides mengatakan bahwa kenyataan justru sama sekali tak berubah. Namun tetap menjadi pertanyaan: bagaimana yang satu itu muncul dalam bentuk yang banyak, dan bagaimana yang banyak itu sebenarnya hanya satu? Pythagoras (580-500 sM) dikenal oleh sekolah yang didirikannya untuk merenungkan hal itu. Democritus (460-370 sM) dikenal oleh konsepnya tentang atom sebagai basis untuk menerangkannya juga. Zeno (lahir 490 sM) berhasil mengembangkan metode reductio ad absurdum untuk meraih kesimpulan yang benar.
1.2 Puncak zaman Yunani dicapai pada pemikiran filsafati Sokrates (470-399 sM), Plato (428-348 sM) dan Aristoteles (384-322 sM).
1.2.1 Sokrates menyumbangkan teknik kebidanan (maieutika tekhne) dalam berfilsafat. Bertolak dari pengalaman konkrit, melalui dialog seseorang diajak Sokrates (sebagai sang bidan) untuk "melahirkan" pengetahuan akan kebenaran yang dikandung dalam batin orang itu. Dengan demikian Sokrates meletakkan dasar bagi pendekatan deduktif. -- Pemikiran Sokrates dibukukan oleh Plato, muridnya.
Hidup pada masa yang sama dengan mereka yang menamakan diri sebagai "sophis" ("yang bijaksana dan berapengetahuan"), Sokrates lebih berminat pada masalah manusia dan tempatnya dalam masyarakat, dan bukan pada kekuatan-kekuatan yang ada dibalik alam raya ini (para dewa-dewi mitologi Yunani). Seperti diungkapkan oleh Cicero kemudian, Sokrates "menurunkan filsafat dari langit, mengantarkannya ke kota-kota, memperkenalkannya ke rumah-rumah". Karena itu dia didakwa "memperkenalkan dewa-dewi baru, dan merusak kaum muda" dan dibawa ke pengadilan kota Athena.
Dengan mayoritas tipis, juri 500 orang menyatakan ia bersalah. Ia sesungguhnya dapat menyelamatkan nyawanya dengan meninggalkan kota Athena, namun setia pada hati nuraninya ia memilih meminum racun cemara di hadapan banyak orang untuk mengakhiri hidupnya.
1.2.2 Plato menyumbangkan ajaran tentang "idea". Menurut Plato, hanya idea-lah realitas sejati. Semua fenomena alam hanya bayang-bayang dari bentuknya (idea) yang kekal. Dalam wawasan Plato, pada awal mula ada idea-kuda, nun disana di dunia idea. Dunia idea mengatasi realitas yang tampak, bersifat matematis, dan keberadaannya terlepas dari dunia inderawi. Dari idea-kuda itu muncul semua kuda yang kasat-mata. Karena itu keberadaan bunga, pohon, burung, ... bisa berubah dan berakhir, tetapi idea bunga, pohon, burung, ... kekal adanya. Itulah sebabnya yang Satu dapat menjadi yang Banyak.
Plato ada pada pendapat, bahwa pengalaman hanya merupakan ingatan (bersifat intuitif, bawaan, dalam diri) seseorang terhadap apa yang sebenarnya telah diketahuinya dari dunia idea, -- konon sebelum manusia itu masuk dalam dunia inderawi ini. Menurut Plato, tanpa melalui pengalaman (pengamatan), apabila manusia sudah terlatih dalam hal intuisi, maka ia pasti sanggup menatap ke dunia idea dan karenanya lalu memiliki sejumlah gagasan tentang semua hal, termasuk tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, dan sebagainya.
Plato mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional-deduktif sebagaimana mudah dijumpai dalam matematika. Problem filsafati yang digarap oleh Plato adalah keterlemparan jiwa manusia kedalam penjara dunia inderawi, yaitu tubuh. Itu persoalan ada ("being") dan mengada (menjadi, "becoming").
1.2.3 Aristoteles menganggap Plato (gurunya) telah menjungkir-balikkan segalanya. Dia setuju dengan gurunya bahwa kuda tertentu "berubah" (menjadi besar dan tegap, misalnya), dan bahwa tidak ada kuda yang hidup selamanya. Dia juga setuju bahwa bentuk nyata dari kuda itu kekal abadi. Tetapi idea-kuda adalah konsep yang dibentuk manusia sesudah melihat (mengamati, mengalami) sejumlah kuda. Idea-kuda tidak memiliki eksistensinya sendiri: idea-kuda tercipta dari ciri-ciri yang ada pada (sekurang-kurangnya) sejumlah kuda. Bagi Aristoteles, idea ada dalam benda-benda.
Pola pemikiran Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal. Menurut Plato, realitas tertinggi adalah yang kita pikirkan dengan akal kita, sedang menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indera-mata kita. Aristoteles tidak menyangkal bahwa bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya bawaan, dan bukan sekedar akal yang masuk dalam kesadarannya oleh pendengaran dan penglihatannya. Namun justru akal itulah yang merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia kosong sampai ia mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak ada idea-bawaan.
Aristoteles menegaskan bahwa ada dua cara untuk mendapatkan kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru, yaitu metode rasional-deduktif dan metode empiris-induktif. Dalam metode rasional-deduktif dari premis dua pernyataan yang benar, dibuat konklusi yang berupa pernyataan ketiga yang mengandung unsur-unsur dalam kedua premis itu. Inilah silogisme, yang merupakan fondasi penting dalam logika, yaitu cabang filsafat yang secara khusus menguji zogol, dan zokigolkeabsahan cara berfikir. Logika dibentuk dari kata berarti sesuatu yang diutarakan. Daripadanya logika berarti pertimbangan pikiran atau akal yang dinyatakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa.
Dalam metode empiris-induktif pengamatan-pengamatan indrawi yang sifatnya partikular dipakai sebagai basis untuk berabstraksi menyusun pernyataan yang berlaku universal.
Aristoteles mengandalkan pengamatan inderawi sebagai basis untuk mencapai pengetahuan yang sempurna. Itu berbeda dari Plato. Berbeda dari Plato pula, Aristoteles menolak dualisme tentang manusia dan memilih "hylemorfisme": apa saja yang dijumpai di dunia secara terpadu merupakan pengejawantahan material ("hyle") sana-sini dari bentuk ("morphe") yang sama. Bentuk memberi aktualitas atas materi (atau substansi) dalam individu yang bersangkutan. Materi (substansi) memberi kemungkinan ("dynamis", Latin: "potentia") untuk pengejawantahan (aktualitas) bentuk dalam setiap individu dengan cara berbeda-beda. Maka ada banyak individu yang berbeda-beda dalam jenis yang sama. Pertentangan Herakleitos dan Parmendides diatasi dengan menekankan kesatuan dasar antara kedua gejala yang "tetap" dan yang "berubah".
Dalam konteks ini dapat dimengerti bila Aristoteles ada pada pandangan bahwa wanita adalah "pria yang belum lengkap". Dalam reproduksi, wanita bersifat pasif dan reseptif, sedang pria aktif dan produktif. Semua sifat yang aktual ada pada anak potensial terkumpul lengkap dalam sperma pria. Wanita adalah "ladang", yang menerima dan menumbuhkan benih, sementara pria adalah "yang menanam". Dalam bahasa filsafat Aristoteles, pria menyediakan "bentuk", sedang wanita menyumbangkan "substansi".
Dalam makluk hidup (tumbuhan, binatang, manusia), bentuk diberi nama "jiwa" ("psyche", Latin: anima). Tetapi jiwa pada manusia memiliki sifat istimewa: berkat jiwanya, manusia dapat "mengamati" dunia secara inderawi, tetapi juga sanggup "mengerti" dunia dalam dirinya. Jiwa manusia dilengkapi dengan "nous" (Latin: "ratio" atau "intellectus") yang membuat manusia mampu mengucapkan dan menerima "logoz". Itu membuat manusia memiliki bahasa.
Pemikiran Aristoteles merupakan hartakarun umat manusia yang berbudaya. Pengaruhnya terasa sampai kini, -- itu berkat kekuatan sintesis dan konsistensi argumentasi filsafatinya, dan cara kerjanya yang berpangkal pada pengamatan dan pengumpulan data. Singkatnya, ia berhasil dengan gemilang menggabungkan (melakukan sintesis) metode empiris-induktif dan rasional-deduktif tersebut diatas.
Aristoteles adalah guru Iskandar Agung, raja yang berhasil membangun kekaisaran dalam wilayah yang sangat besar dari Yunani-Mesir sampai ke India-Himalaya. Dengan itu, Helenisme (Hellas = Yunani) menjadi salah satu faktor penting bagi perkembangan pemikiran filsafati dan kebudayaan di wilayah Timur Tengah juga. -- (Catatan kecil saja dari FSP: Maka jangan terkejut jika pandangan berat-sebelah tentang pria-wanita sangat dominan sampai kini. Legitimasi filsafati agaknya telah diberikan oleh Arsitoteles atas praktek yanh umum di dalam masyarakat Timur Tengah, Eropa abad pertengahan dan dimana saja. Gereja Katolik pun selama berabad-abad mengikuti pendirian yang sama, sekalipun landasan biblisnya sama sekali tidak ada. Yesus, sebagaimana tampak dalam Injil, memiliki pandangan yang sama sekali tidak berat-sebelah tentang gender.)
Aristoteles menempatkan filsafat dalam suatu skema yang utuh untuk mempelajari realitas. Studi tentang logika atau pengetahuan tentang penalaran, berperan sebagai organon ("alat") untuk sampai kepada pengetahuan yang lebih mendalam, untuk selanjutnya diolah dalam theoria yang membawa kepada praxis. Aristoteles mengawali, atau sekurang-kurangnya secara tidak langsung mendorong, kelahiran banyak ilmu empiris seperti botani, zoologi, ilmu kedokteran, dan tentu saja fisika. Ada benang merah yang nyata, antara sumbangan pemikiran dalam Physica (yang ditulisnya), dengan Almagest (oleh Ptolemeus), Principia dan Opticks (dari Newton), serta Experiments on Electricity (oleh Franklin), Chemistry (dari Lavoisier), Geology (ditulis oleh Lyell), dan The Origin of Species (hasil pemikiran Darwin). Masing-masing merupakan produk refleksi para pemikir itu dalam situasi dan tradisi yang tersedia dalam zamannya masing-masing.
1.3 Zaman Yunani pasca-aristoteles ditandai oleh tiga aliran pemikiran filsafat, yaitu Stoisisme, Epikurisme dan Neo-platonisme. Stoisisme (Zeno, 333-262 sM) terkenal karena etikanya: manusia berbahagia jika ia bertindak rasional. Epikurisme (Epikuros, 341-270 sM) juga terkenal dalam etika: "kita harus memiliki kesenangan, tetapi kesenangan tidak boleh memiliki kita".
Neo-platonisme (Plotinos, 205-270 M). Idea kebaikan (idea tertinggi dalam Plato) = "to hen", yang esa, "the one". Yang esane otdisebut oleh Plotinos adalah awal, yang pertama, yang paling baik, paling tinggi, dan yang kekal. Yang esa tidak dapat dikenal oleh manusia karena tidak dapat dibandingkan atau disamakan dengan apa pun juga. Yang esa adalah pusat daya, -- seluruh realitas berasal dari pusat itu lewat proses pancaran (emanasi), bagai matahari yang memancarkan sinarnya. Kendati proses emanasi, yang esa tak berkurang atau terpengaruh sama sekali.
Dari = "nous", budi, akal, bahkan roh (?). "Nous"zuon mengalir ne ot =hcnymerupakan "bayang-bayang" dari "to hen". Dari "nous" mengalir = "me uo hm"psykhe", jiwa, yang merupakan perbatasan "nous" dengan on", materi, yang merupakan kemungkinan atau potensi bagi keberadaan suatu bentuk, yang pada manusia adalah tubuh. "Psykhe" merupakan penghubung antara "nous" yang terang, yang berlawanan dengan materi yang gelap, yang rohani berlawanan dengan yang jasmani. -- Menurut neo-platonisme, perlawanan itu merupakan penyimpangan dari kebenaran. Untuk mencapai kebenaran, manusia harus kembali kepada "to hen", dan itulah tujuan hidup manusia. "To hen" kiranya identik dengan konsep "Sang Sangkan Paraning Dumadi" dalam tradisi Jawa.
Kesatuan mistis dengan "to hen" merupakan kebenaran sejati. Manusia harus berkontemplasi untuk mengatasi hal-hal yang inderawi, yang merupakan penghambat besar bagi pembebasannya dari hidup dalam dimensi materi yang bersifat gelap (dan berakhir kepada kematian) menuju kepada hidup dalam dimensi roh yang membawa kepada terang (serta awal dari kekekalan).
Jejak pemikiran neoplatonisme dapat diamati dalam pengalaman mistik, yaitu pengalaman menyatu dengan Tuhan atau "jiwa kosmik". Banyak agama menekankan keterpisahan antara Tuhan dan Ciptaan, tetapi para ahli mistik tidak menemui pemisahan seperti itu. Mereka jutru mengalami rasa "penyatuan dengan Tuhan". Ketika penyatuan itu terjadi, ahli mistik merasa dia "kehilangan dirinya", dia lenyap ke dalam diri Tuhan atau hilang dalam diri Tuhan, sebagaimana setitik atau sepercik air kehilangan dirinya ketika telah menyatu dalam samudera raya.
Tetapi pengalaman mistik itu tidak selalu datang sendiri. Ahli mistik harus mencari jalan "pencucian dan pencerahan" untuk bisa bertemu dengan Tuhan, melalui hidup sederhana dan berbagai teknik meditasi. Kecenderungan mistik tu diketemukan dalam semua agama besar di dunia. Dalam "agama" Jawa dikenallah konsep "manunggaling kawula lan Gusti", yang jejaknya dalam sastra suluk Jawa digali dan diungkapkan bagi generasi masa kini dalam konteks filsafat dan pandangan keagamaan.
http://kuliahfilsafat.blogspot.com/2009/08/filsafat-zaman-yunani-kuno.html
Pengantar Filsafat
Laili Nurafriyanti
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = “kebijaksanaan”). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan” atau “ilmu”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut “filsuf”.Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problema falsafi pula. Tetapi paling tidak bisa dikatakan bahwa “falsafah” itu kira-kira merupakan studi daripada arti dan berlakunya kepercayaan manusia pada sisi yang paling dasar dan universal. Studi ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk ini, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu dan akhirnya dari proses-proses sebelumnya ini dimasukkan ke dalam sebuah dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk daripada dialog.
Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal ini membuat filasafat sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu bisa dikatakan banyak menunjukkan segi eksakta, tidak seperti yang diduga banyak orang.
- Klasifikasi filsafat
‘‘‘Filsafat Barat’’’ adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno.
Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Réne Descartes, Immanuel Kant, Georg Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.
‘‘‘Filsafat Timur’’’ adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India, Tiongkok dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas Filsafat Timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk Filsafat Barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama. Nama-nama beberapa filsuf: Siddharta Gautama/Buddha, Bodhidharma, Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao Zedong.
‘‘‘Filsafat Timur Tengah’’’ ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab dilihat dari sejarah, para filsuf dari tradisi ini sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Barat. Sebab para filsuf Timur Tengah yang pertama-tama adalah orang-orang Arab atau orang-orang Islam (dan juga beberapa orang Yahudi!), yang menaklukkan daerah-daerah di sekitar Laut Tengah dan menjumpai kebudayaan Yunani dengan tradisi falsafi mereka. Lalu mereka menterjemahkan dan memberikan komentar terhadap karya-karya Yunani. Bahkan ketika Eropa setalah runtuhnya Kekaisaran Romawi masuk ke Abad Pertengahan dan melupakan karya-karya klasik Yunani, para filsuf Timur Tengah ini mempelajari karya-karya yang sama dan bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh orang-orang Eropa. Nama-nama beberapa filsuf Timur Tengah: Avicenna(Ibnu Sina), Ibnu Tufail, dan Averroes.
- Munculnya Filsafat
Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.
Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filsuf-filsuf Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Sokrates, Plato dan Aristoteles. Sokrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “Komentar-komentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat.
Sejarah Filsafat Barat bisa dibagi menurut pembagian berikut: Filsafat Klasik, Abad Pertengahan, Modern dan Kontemporer.
Klasik
“Pra Sokrates”: Thales – Anaximander – Anaximenes – Pythagoras – Xenophanes – Parmenides – Zeno – Herakleitos – Empedocles – Democritus – Anaxagoras
“Zaman Keemasan”: Sokrates – Plato – Aristoteles
Abad Pertengahan
“Skolastik”: Thomas Aquino
Moderen
Rene Descartes – Baruch de Spinoza- Blaise Pascal – Leibniz – Thomas Hobbes – John Locke – Georg Hegel – Immanuel Kant – Søren Kierkegaard – Karl Marx- Friedrich Nietzsche – Schopenhauer – Edmund Husserl
Kontemporer
Michel Foucault – Martin Heidegger – Karl Popper -Bertrand Russell – Jean-Paul Sartre – Albert Camus – Jurgen Habermas – Richard Rotry- Feyerabend- Jacques Derrida – Mahzab Frankfurt
Tidak ada komentar:
Posting Komentar