Agama & Konsep Demokrasi
Dalam dua dasawarsaterakhir ini, sistem demokrasi berkembang pesat sejalan dengan prosesglobalisasi, sehingga hampir semua negara dan bangsa di dunia ini menyifatisistem politik mereka sebagai sistem yang demokratis.
Memang disadari bahwa demokrasitak terlepas dari kelemahan-kelemahan. Tetapi dalam sejarah modern ini, sistemini telah menunjukkan keunggulannya dibandingkan dengan sistem lain, yang dapatdilihat dari segi penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, pergantiankekuasaan secara damai, penyelesaian perbedaan-perbedaan atau konflik secaraberadab, kontrol terhadap penyelenggaraan negara, dan sebagainya. Meskidemikian, bentuk atau konsep demokrasi ini sangat bervariasi dan terdapatperbedaan antara satu negara dan negara lain.
Variasi konsep iniadakalanya dimaksudkan untuk menyesuaikan demokrasi dengan budaya ataunilai-nilai suatu bangsa sebagai upaya meminimalisasi ekses-ekses demokrasi;dan adakalanya dimaksudkan untuk menjustifikasi sistem politik yang dibangunsuatu rezim tertentu untuk kelangsungan kekuasaannya. Penyesuaian (adjustment) konsep demokrasi denganalasan pertama dapat dibenarkan asalkan tidak menghilangkan substansidemokrasi, tetapi alasan kedua harus ditolak, karena hal ini justrumenghilangkan substansi demokrasi itu sendiri.
Dalam konteks Indonesia,yang memiliki ideologi Pancasila, adalah sah bahkan menjadi keniscayaan jikakonsep demokrasi yang dibangun di atas sekularisme itu disesuaikan denganbudaya bangsa Indonesia, terutama dalam hal posisi penting agama dalamkehidupan berbangsa dan negara. Hal ini terjadi karena bangsa Indonesia tetapmemperhatikan faktor agama dan budaya lokal dalam kehidupan berbangsa danbernegara, meski negara ini telah melakukan modernisasi dan sekularisasipolitik bersamaan dengan proses globalisasi.
Sejak dasawarsa 1980-an, kecenderungankembali kepada agama cukup tampak di negara ini sebagai perimbangan terhadapproses sekularisasi politik tersebut. Orientasi keagamaan ini bahkan semakintampak pada era reformasi ini, terutama dengan pemasukan aspek keagamaan/ketakwaan dalam amendemen UUD 1945. Memang usulan sejumlah partai danorganisasi Islam untuk memberlakukan syariat Islam tidak diterima. Namun, dalamtingkat tertentu, amendemen telah mengakomodasi orientasi keagamaan ini,misalnya Pasal 31 ayat 3 yang menyebutkan tujuan pendidikan nasional untukmeningkatkan keimanan dan ketakwaan, dan ayat 5 yang menyebutkan arahpengembangan ilmu pengetahuan dengan menjunjung nilai-nilai agama.
Pencarian Konsep Demokrasi
Walaupun era reformasi inisudah berjalan selama kurang lebih sembilan tahun, perumusan kembali tentangfilosofi dan konsep demokrasi yang sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Indonesiabelum mendapatkan perhatian khusus. Memang, konsep operasionalnya sebagiansudah dirumuskan, misalnya dengan UUD 1945 yang telah diamendemen, UU PartaiPolitik, dan UU Pemilu. Perumusan konsep filosofis ini diperlukan karena sistemsosial budaya masyarakat Indonesiatidak sama dengan masyarakat Barat, yang merupakan tempat asal dan praktikdemokrasi, sementara kedua konsep yang pernah ada tersebut tidak sesuai dengansubstansi demokrasi.
Rumusan konsep demokrasiyang akan kita bangun itu semestinya berdasarkan ideologi negara sertakeyakinan dan budaya masyarakat Indonesia,di samping ide-ide demokrasi Barat tentu saja. Perumusan semacam ini memangsudah pernah dilakukan Mohammad Hatta yang mengemukakan ada tiga sumberdemokrasi di Indonesia, yakni sosialisme Barat, ajaran-ajaran Islam, dan gayahidup kolektivisme masyarakat Indonesia. Demikian pula, Mohammad Natsir pernahmengemukakan konsep demokrasi teistis. Namun, istilah dan rumusan ini masihperlu dikaji kembali, mengingat persoalan yang muncul semakin kompleks, termasuktuntutan yang kuat untuk terwujudnya demokrasi yang substantif.
Demokrasi yang Religius
Dengan mengkaji filosofinegara dan budaya masyarakat Indonesiatersebut, saya cenderung berpendapat bahwa konsep demokrasi di Indonesiayang tepat adalah demokrasi yang religius. Saya tidak menggunakan istilahdemokrasi religius, tetapi yang religius, karena saya ingin menghindaripemberian kata sifat dalam demokrasi secara permanen untuk menghindarkankemungkinan hilangnya substansi demokrasi itu sendiri. Penggunaan kata yangdalam judul ini dimaksudkan hanya untuk memberikan penjelasan tantang konsepdemokrasi ideal yang seyogianya dibangun di negara ini.
Ideal yang dimaksudkan disini adalah bahwa konsep itu di satu sisi tetap mempertahankan substansidemokrasi, dan di sisi lain tetap menghormati nilai-nilai agama dan budayalokal di Indonesia.Adapun religius yang dimaksud di sini mencakup semua agama yang mendapatkanpengakuan formal di Indonesia, yakni Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu,dan Buddha. Konsep demokrasi yang religius itu idealnya memiliki kriteriasebagai berikut: (1) kehendak rakyat semestinya atau sebisa mungkin tidakbertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) putusan-putusan publiksemestinya dapat dipertanggungjawabkan baik di hadapan manusia maupun Tuhan;(3) orientasi setiap individu semestinya tidak hanya menekankan hak-hak, tetapijuga kewajiban-kewajiban; (4) pemeliharaan keseimbangan antara hak-hakindividual dan kolektif serta antara nilai-nilai material dan spiritual.
Tentu saja, upayapenyesuaian tersebut tidak mudah karena secara filosofis demokrasi itu lahirdari sekularisme, yang berarti pemisahan antara agama dan negara, meski dalampraktiknya di negara-negara Barat saat ini agama dalam tingkat tertentu masihtetap eksis dalam kehidupan bernegara. Memang didasari, pelibatan agama dalamsistem demokrasi beberapa hal bisa mengurangi arti demokrasi itu sendiri, danhal ini oleh pendukung sekularisme dianggap sebagai demokrasi minus. Namunbagi orang-orang yang masih memiliki orientasi keagamaan, pelibatan agamajustru menjadikan demokrasi sebagai demokrasi plus, karena hal ini akanmemberikan kesempatan lebih luas kepada warga negara untuk tetap (atau sebisamungkin) melaksanakan ajaran agamanya.
Untuk memperoleh solusiyang baik bagi upaya tersebut, diperlukan rumusan yang moderat: agama itudilibatkan dalam negara atau proses politik dan agama tidak boleh dilibatkan.Agama merupakan sumber etika-moral serta menjadi subideologi bagi kehidupannegara Indonesia.Adalah tidak realistis bahwa kita berupaya untuk melakukan pemisahan antaraagama dan negara (sekularisme), atau sebaliknya pengintegrasian sepenuhnyaantara agama dan negara. Dengan posisi tersebut, ajaran-ajaran agama tidaksepenuhnya diformalisasikan, tetapi sebagian saja, terutama ajaran yangberbentuk hukum privat. Sedangkan sebagian lainnya, ajaran agama dapatdijadikan sebagai input dalam proses pembuatan kebijakan publik.
Sementara dalam prosespolitik, seseorang atau suatu organisasi dibenarkan melakukan legitimasikeagamaan bagi pandangan dan sikap politiknya. Namun, ia tidak dibenarkanmelakukan politisasi agama, dalam arti menggunakan agama untuk menjustifikasipandangan dan sikap politiknya atau kelompoknya untuk menyerang orang/ kelompoklain. (*)
http://news.okezone.com/read/2007/06/22/58/28472/agama-konsep-demokrasi
Pembatalan UU BHP
Rektor ITB Berharap Mendiknas Segera Ambil Sikap
Kamis, 8 April 2010 - 16:11 wib
Gin Gin Tigin Ginulur - Okezone

Prof. Dr. Akhmaloka. (Foto : dok ITB)
BANDUNG - Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Akhmaloka berharap Mendiknas segera mengeluarkan kata akhir terkait pembatalan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Dari laporan perwakilan ITB yang mengikuti rapat bersama Mendiknas, kata Akhmaloka, hingga hari ini rapat masih terus berlangsung dan belum menghasilkan keputusan.
"Ya dari pak menteri mengatakan, Jumat besok, semua pendapatnya difinalkan dan dirumuskan. Baru Senin, Mendiknas mau ada rapat kabinet terbatas. Salah satunya mendiskusikan itu. Mudah-mudahan Senin sudah punya sesuatu yang lebih pas. Yang pasti, kita inginkan yang terbaik," kata Akhmaloka saat ditemui okezone di ruang kerjanya, Kamis (8/4/2010).
Akhmaloka mengatakan, pembahasan di tingkat menteri tersebut juga mencakup pembatalan penjelasan ayat 1 pasal 53 UU Sisdiknas. Pasal 1 menyebutkan, pendidikan tinggi agar dikelola oleh suatu badan hukum. Sementara penjelasan badan hukum yang dimaksud dalam pasal 1, antara lain badan hukum milik negara (BHMN).
"Nah penjelasan itu dihapus. Pertanyaannya apakah BHMN-nya ikut terhapus atau tidak. Itu yang kemudian jadi diskusi yang memunculkan dua pendapat. Pendapat pertama, karena induknya dihapus, BHMN jadi ikut terhapus. Ada juga yang bilang, BHMN tidak terpengaruh dengan penghapusan UU BHP karena BHMN mengekornya pada zaman belanda," kata Akhmaloka.
Sebelumnya, pada Minggu 4 April lalu, tujuh rektor inti Badan Hukum Milik Negara (BHMN), yaitu Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Airlangga (Unair), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan Universitas Sumatera Utara (USU) bertemu dengan Mendiknas.
Pertemuan tersebut membahas konsekuensi pembatalan UU BHP serta perkembangan-perkembangannya. Kemudian Senin pertemuan diteruskan sekira pukul 16.30 WIB dengan seluruh rektor-rektor PTN. Ada sekira 70 rektor yang hadir berdiskusi dengan Mendiknas.
"Di sana, ada silang pendapat, terutama para rektor dari tujuh Perguruan Tinggi BHMN. Sampai saat ini, Diknas belum memberikan kata akhir," kata Akhmaloka.(rhs)
Dari laporan perwakilan ITB yang mengikuti rapat bersama Mendiknas, kata Akhmaloka, hingga hari ini rapat masih terus berlangsung dan belum menghasilkan keputusan.
"Ya dari pak menteri mengatakan, Jumat besok, semua pendapatnya difinalkan dan dirumuskan. Baru Senin, Mendiknas mau ada rapat kabinet terbatas. Salah satunya mendiskusikan itu. Mudah-mudahan Senin sudah punya sesuatu yang lebih pas. Yang pasti, kita inginkan yang terbaik," kata Akhmaloka saat ditemui okezone di ruang kerjanya, Kamis (8/4/2010).
Akhmaloka mengatakan, pembahasan di tingkat menteri tersebut juga mencakup pembatalan penjelasan ayat 1 pasal 53 UU Sisdiknas. Pasal 1 menyebutkan, pendidikan tinggi agar dikelola oleh suatu badan hukum. Sementara penjelasan badan hukum yang dimaksud dalam pasal 1, antara lain badan hukum milik negara (BHMN).
"Nah penjelasan itu dihapus. Pertanyaannya apakah BHMN-nya ikut terhapus atau tidak. Itu yang kemudian jadi diskusi yang memunculkan dua pendapat. Pendapat pertama, karena induknya dihapus, BHMN jadi ikut terhapus. Ada juga yang bilang, BHMN tidak terpengaruh dengan penghapusan UU BHP karena BHMN mengekornya pada zaman belanda," kata Akhmaloka.
Sebelumnya, pada Minggu 4 April lalu, tujuh rektor inti Badan Hukum Milik Negara (BHMN), yaitu Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Airlangga (Unair), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan Universitas Sumatera Utara (USU) bertemu dengan Mendiknas.
Pertemuan tersebut membahas konsekuensi pembatalan UU BHP serta perkembangan-perkembangannya. Kemudian Senin pertemuan diteruskan sekira pukul 16.30 WIB dengan seluruh rektor-rektor PTN. Ada sekira 70 rektor yang hadir berdiskusi dengan Mendiknas.
"Di sana, ada silang pendapat, terutama para rektor dari tujuh Perguruan Tinggi BHMN. Sampai saat ini, Diknas belum memberikan kata akhir," kata Akhmaloka.(rhs)
http://news.okezone.com/read/2007/12/16/1/68599/indonesia-perlu-konstitusi-berbasis-lokal
Indonesia Perlu Konstitusi Berbasis Lokal
Minggu, 16 Desember 2007 - 13:17 wib
MAGELANG - Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengemukakan pentingnya konstitusi berbasis masyarakat lokal. Sebab, selama ini, semua teori konstitusi yang ada, berupa produk impor, termasuk Undang-Undang Dasar (UUD).
Sebagai bukti, dalam UUD masih banyak kutipan yang berbahasa Jerman, lantaran referensinya Barat. "Sementara, bahasa Jawa tidak ditemukan sama sekali," ungkapnya, saat temu wicara launching pusat kajian hukum dan MoU Mahkamah Konstitusi dengan Universitas Muhammadiyah Magelang (UMM), Minggu (16/12/2007).
Dia menambahkan, memasuki era globalisasi, bangsa ini membutuhkan jati diri yang jelas, termasuk konstitusi. Caranya, dengan membangkitkan dan merevitalisasi kearifan lokal bangsa ini.
Menurutnya, kesalahan masyarakat Indonesia adalah tidak mengilmiahkan sejarah masa lalu, sehingga tidak masuk dunia pengetahuan saat ini.
"Atas dasar itu, kita perlu mempelajari tradisi lokal, sehingga tidak terseret dalam arus global tersebut," terangnya.
Jimly menyontohkan, di Gowa Sulawesi Selatan pernah mengenal sistem negara federal, di mana ada raja-raja kecil yang kemudian memilih salah satu raja tersebut menjadi kordinator raja. Konsep itu, kata Jimly, sudah lebih baik dari Eropa.
Contoh lain, di Sumatera Selatan pada abad ke 6 dan 7, ada sejumlah marga yang dipilih menjalankan tugas-tugas, sebagaimana konsep triaspolitika saat ini. Yakni, telah terbentuk adanya pemimpin pemerintahan, pemimpin dewan, maupun pemimpin adat yang membawahi masalah hukum.
"Ini kan menunjukkan bahwa sebenarnya Eropa sudah ketinggalan dari bangsa kita dahulu," tandasnya.
Menurutnya, melalui domestikasi konstitusi tersebut, penjabaran konstitusi lebih membumi dan mampu menjembatani arus liberalisasi sebagai dampak globalisasi.
Jimly juga menyebutkan, pentingnya lembaga pendidikan konstitusi. Melalui lembaga tersebut, kata Jimly, semua warga negara dapat memeroleh pemahaman akan konstitusi. Sebab, selama ini konstitusi dipahami sebagai milik para penyelenggara negara saja, sementara rakyat tingkat rendah tidak, sehingga masih terkesan elitis.
"Padahal konstitusi itu janji tertinggi bangsa. Sehingga semuanya terikat, dan berhak mendapatkan pemahamannya," katanya.
Demokrasi Indonesia Masih Prosedural
Jum'at, 26 Desember 2008 - 16:35 wib
Yudis Thea Marga Tuasamu - Okezone
JAKARTA- Ketua DPP Pergerakan Perempuan Kebangkitan Bangsa Saidah Sakwan mengatakan, demokrasi di Indonesia masih bersifat prosedural dan belum menyentuh subtansi demokrasi itu sendiri.
"Contohnya pemilihan kepala daerah yang diwarnai praktik money politic dalam bentuk jual beli suara dan politik dagang sapi yang selalu terjadi di tingkat elit," kata Saidah di kantor DPP PKB Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (26/12/2008).
Menurut Saidah, kondisi seperti ini diangap bisa mengarah kepada politik transaksional, di mana calon yang memiliki modal besar akan menjadi pemenangnya meski kualitasnya rendah.
Untuk itu, pihaknya mendorong pemerintah segera menindak lanjuti segala hal yang bisa menodai proses demokrasi.
"Contohnya pemilihan kepala daerah yang diwarnai praktik money politic dalam bentuk jual beli suara dan politik dagang sapi yang selalu terjadi di tingkat elit," kata Saidah di kantor DPP PKB Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (26/12/2008).
Menurut Saidah, kondisi seperti ini diangap bisa mengarah kepada politik transaksional, di mana calon yang memiliki modal besar akan menjadi pemenangnya meski kualitasnya rendah.
Untuk itu, pihaknya mendorong pemerintah segera menindak lanjuti segala hal yang bisa menodai proses demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar