Modul
Ilmu Mantiq/Logika
Dosen:
Ahmad Taufiq MA
A.
ILMU MANTIQ DAN PERKEMBANGANNYA
Bagi
bangsa Yunani -dan bahkan bangsa di seluruh
dunia-,
Aristoteles adalah ikon rasionalitas. Dia adalah
peletak
dasar cara berpikir yang tersusun dalam premis-
premis,
dan kemudian ditarik sebuah konklusi. Apa yang
dilakukan
Aristoteles ini disebut logika. Bangsa Yunani
yang
dahulu diliputi dengan dunia mitos, seakan tercengang
dan
terhipnotis
dengan
karya
Aristoteles.
Posisi
Aristoteles
sebagai guru Alexander (putra raja Macedonia,
Philip)
dan guru filsafat di sekolah yang didirikannya di
Athena,
the Lyceum, menjadikan pemikirannya banyak dikenal
di
tengah-tengah masyarakat Yunani.
Sampai
pada tingkatan tertentu, logika Aristoteles
mendapatkan
tempat yang sangat prestis khususnya dalam
dunia
pengetahuan. Logika Aristoteles telah mampu merapikan
‘muntahan
ide’ Plato yang terabadikan dalam “dialog”nya.
Pemikiran-pemikirannya
mampu menghegemoni rasionalitas
bangsa
Yunani, bahkan seolah-olah menutup bayang-banyang
dua
filsuf besar sebelumya, Socrates dan Plato. Maka, tak
berlebihan
jika orang Yunani menganggap Aristoteles sebagai
Tuhan
dan Dewa rasionalitas. Jargon rasionalitasnya mampu
meluluhkan
ilmuwan pada zamannya demi mengungkap hakekat
sebuah
kebenaran.Rasionalitas dalam ilmu akan selalu
diagungkan
seperti halnya demokrasi dalam politik.
Logika
akan terus berkembang dan mengambil peran yang
sangat
relevan terhadap segala perkembangan yang ‘tidak
mutlak’,
terlebih ketika menemukan hal baru yang butuh
penalaran.
Dalam teorinya, Aristoteles selalu melakukan
pendekatan
rasional. Hal ini tercermin dari setiap
karyanya.
Bahkan
alam
semesta,
menurutnya,
tidak
dikendalikan
oleh hal-hal yang serba kebetulan. Gerakan
alam
semesta ini tunduk pada hukum-hukum rasional.
Pengamatan
empiris dan landasan-landasan logis harus
dimanfaatkan
dalam mempertanyakan setiap aspek dunia secara
sistematis.
Dengan ‘dogma’ inilah budaya Eropa mulai
bergerak
dari hal-hal yang beraromakan mistik dan takhayul
menuju
rasio.
Perumusan
logika oleh Aristoteles dan dijadikannya
sebagai
dasar ilmu pengetahuan secara epistemologi
bertujuan
untuk mengetahui dan mengenal cara manusia
mencapai
pengetahuan tentang kenyataan alam semesta -baik
sepenuhnya
atau tidak- serta mengungkap kebenaran. Akal
menjadi
sebuah neraca, karena akallah yang paling relevan
untuk
membedakan antara manusia dengan segala potensi yang
dimilikinya
dari makhluk lain. “ Wa Ja’ala Lakum al-Sam’a
wa
al-Abshār wa al-Af`idah” ( QS: 67 Ayat 23).
Oleh
Ibnu Khaldun kata “af`idah” bermakna akal untuk
berfikir
yang terbagi dalam tiga tingkatan. Pertama, akal
yang
memahami esensi di luar diri manusia secara alami.
Mayoritas
aktifitas akal di sini adalah konsepsi
(tashawwur),
yaitu yang membedakan apa yang bermanfaat dan
apa
yang membawa petaka. Kedua, akal yang menelorkan
gagasan
dan karya dalam konteks interaksi sosial. Aktvitas
akal
di sini adalah sebagai legalitas (tashdiq) yang
dihasilkan
dari eksperimen. Sehingga akal di sini disebut
sebagai
akal empirik. Dan ketiga, akal yang menelorkan ilmu
dan
asumsi di luar indera, lepas dari eksperimen empirik
atau
yang biasa disebut “akal nazhari”. Di sini konsepsi
(tashawwur)
dan legalitas (tashdiq) berkolaborasi untuk
menghasilkan
konklusi.
Definisi
logika sebagai ilmu untuk meneliti hukum-
hukum
berpikir dengan tepat harus mempunyai titik
pembenaran
tentang kebenaran itu sendiri. Maka ahli mantik
dalam
hal ini mencapai sebuah konklusi, yaitu ketika sebuah
pernyataan
sesuai dengan kenyataannya maka itu benar dan
pernyataan
yang didasarkan pada koherensi logis adalah
benar,
karena kekuatan pikir kita sebatas kebenaran yang
kita
ketahui. Pikiran yang tidak didasarkan pada kebenaran
tidak
memiliki kekuatan. Jika aklamasi mengarah kepada
logika
adalah
representasi
dari
segala
kebenaran
pengetahuan,
maka
akan
timbul
pertanyaan
‘ke-
independensian’
logika, apakah termasuk dari bagian sebuah
pengetahuan
atau hanya sebagai ‘kacung’ ilmu pengetahuan?
Stoicisme
mengklasifikasikan ilmu menjadi tiga tema
besar,
yaitu metafisika, dialektika dan etika. Dan
dialektika
adalah logika. Maka mereka lebih cenderung
memasukkan
logika sebagai bagian dari Filsafat. Berbeda
dengan
Ibnu Sina (1037 M.) dalam bukunya al-Isyārāt wa al-
Tanbīhāt
yang memisahkan logika sebagai ilmu independen
sekaligus
sebagai pengantar. Dalam hal ini, Al-Farabi (950
M.)
juga berpendapat bahwa mantik adalah Ra’īs al-‘Ulum
yang
independen. Keterpengaruhan mantik arab dengan neo-
platonisme
dan Aristoteles sangat jelas jika dilihat dalam
hal
ini, karena essensi dari pada logika itu sendiri adalah
ketetapan
hukum untuk mengetahui sesuatu yang belum
diketahui.
Dan sejatinya tidak ditemukan perbedaan yang
mendalam,
hanya dari sisi pandangnya saja yang membuat
seakan
berbeda.
Ibnu
Khaldun mengklasifikasikan ilmu menjadi dua;
pertama
ilmu murni-independen (’ulūm maqshūdah bi al-dzāt)
seperti
ilmu syari’at yang mencakup ilmu tafsir, hadits,
fikih
dan kalam, dan ilmu filsafat yang mencakup fisika dan
ketuhanan.
Kedua, ilmu pengantar (āliyah-wasīlah) bagi
ilmu-ilmu
murni-independen, seperti ilmu bahasa Arab dan
ilmu
hitung sebagai pengantar ilmu-ilmu syari’ah, dan
mantik
sebagai pengantar filsafat. Pengkajian terhadap ilmu
pengantar
hendaknya hanya sebatas kapasitasnya sebagai
sebuah
alat bagi ilmu independen. Karena jika tidak
demikian,
ilmu alat atau pengantar tersebut akan keluar
dari
arah dan tujuan awal, dan bisa mengaburkan pengkajian
ilmu-ilmu
independen. Pembahasan panjang lebar terhadap
ilmu
pengantar inilah yang banyak dilakukan oleh ulama
khalaf.
Dalam perkembangan selanjutnya, hanya ilmu
independenlah
yang dapat disebut sebagai ilmu. Sedangkan
ilmu
perantara bukan disebut ilmu. Terlepas dari ilmu atau
bukan,
bisa dikatakan tujuan sebenarnya mantik atau logika
bukanlah
sebagai peletak hukum berpikir melainkan berpikir
untuk
memperoleh kebenaran, yang salah atau yang benar.
Logika
dan Perkembangannya
Dalam
dunia ilmu, argumen dipakai sebagai penguat
gagasan.
Setiap argumen dapat diuji keabsahannya dengan
logika.
Maka, untuk mewujudkan argumen yang baik dan benar
perlu
menguasai logika. Dalam pembacaan ini, penulis
sedikitnya
telah menggunakan perumusan logika yang diusung
Aristoteles
sebagai pencipta bentuk-bentuk pengungkapan dan
penjelasan
baru yang berupa dialektita atau logika. Karena
korelasi
sebuah pernyataan dan jawaban yang logis akan
dapat
dibuktikan dengan rumusan tersebut. Kesalahan
penyimpulan
ditemukan ketika tidak menggunakan hukum,
prinsip
dan metode berpikir. Berangkat dari upaya pencarian
kebenaran
tersebut ilmuwan Yunani seperti Socrates, Plato
dan
Aristoteles semakin gencar untuk merumuskan perangkat
metode
berpikir yang rasional.
Logika
dalam perkembangannya mengalami berbagai fase.
Bentuk
logika formal yang ada dewasa ini adalah perwujudan
kolaborasi
antara pakar klasik dan modern. Tapi pionir
logika
formal yang sebenarnya adalah Aristoteles, meskipun
dalam
pengertian yang berbeda dengan logika formal modern.
Pada
hakekatnya logika tidak terpisah dari materi, yang
pada
awalnya merupakan sebuah pemahaman sehingga akan
mewujudkan
‘thing’ (sesuatu). Tetapi pakar modern mengawali
dari
sesuatu sehingga akan muncul pemahaman. Makna awal
logika
Yunani adalah kalam yang kemudian dimaknai sebagai
akal,
pikiran dan burhan.
Baru
sekitar abad ke-2 M bangsa Arab mengadopsinya dan
diterjemahkan
sebatas segi bahasa yaitu kalam dan talaffud
tanpa
menghubungkannya dengan makna sebenarnya yang
digunakan
di Yunani ketika itu. Susunan logika Aristoteles
yang
sudah tertata rapi disertai peninggalan karya-karyanya
dalam
jumlah yang banyak dapat dikatakan sebagai salah satu
faktor
berkembangnya logika Aristoteles ke dunia Arab.
Sejarahpun
mencatat, banyak karya Aristoteles telah
diterjemahkan
ke berbagai bahasa seperti Syria, Arab,
Persia
dan India. Maka tak heran jika metode Aristoteles
sangat
‘heboh’ merasuki hampir di segala cabang ilmu
pengetahuan.
Ada
enam tema besar dalam mantik Aristoteles yaitu,
“Categoria
Seu
Praediecamenta”
(al-Maqqūlāt),
“Perihermenias
Seu de Interpretatione” (al-‘Ibārah),
“Analytica
Priora” (al-Tahlīlāt al-Ulā), “Analytica
Posteriora”
(al- Tahlīlāt al-Tsāniyyah), “Topica, Seu De
Locis
Communis” (al-Jadal), “De Sophisticis Elenchis” (al-
Safsathā’i).
Seiring dengan perkembangan mantik di dunia
Arab,
logika banyak mengalami perubahan, yaitu dari yang
enam
menjadi sembilan; ‘Isagog’ (madkhal), ‘Retorika’ (al-
Khithābah),
‘Potikia’ (al- Syi’r). Sembilan tema besar
itulah
yang banyak berkembang di dunia Arab. Bahkan al-
Khawarizmi
dalam bukunya ” Mafātīh al-‘Ulūm” juga
mengklasifikasikan
mantik ke dalam sembilan tema tersebut.
Lain
halnya dengan al-Farabi dalam “Ihshā` al-‘Ulūm” yang
tidak
mengkategorikan ‘isagog’ (madkhal) sebagai bagian
dari
mantik.
Sejarah
mengisahkan tentang perkembangan ilmu berawal
dari
penerjemahan gede-gedean yang diprakarsai Khalifah Al-
Ma’mun
(masa penerjemahan terhadap karya pemikir Yunani
dimulai
pada masa Khalifah al-Mansur) dari Dinasti
Abbasiyah.
Ketika itu, Al-Ma’mun bermimpi bertemu dengan
Aristoteles.
Perbincangan mereka mengarah bahwa sumber
kebenaran
adalah akal. Segera Al-Ma’mun mengirim delegasi
ke
Roma guna mempelajari ilmu yang banyak berkembang dan
tersimpan,
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Yahya
bin Khalid bin Barmak adalah ‘Sang Hero’ pada masa
itu,
karena dia telah berhasil membujuk bahkan membebaskan
karya
para intelektual Yunani dari genggaman Romawi. Hal
yang
ditakutkan oleh Raja Romawi dari karya para
intelektual
Yunani adalah ketika buku-buku tersebut
dikonsumsi
oleh rakyatnya dan mulai tersebar maka agama
Nasrani
kemungkinan besar akan ditinggalkan, dan kembali
pada
agama Yunani. Ilmu asing yang diadopsi Arab
diklasifikasikan
oleh Khawarizmi berjumlah sembilan cabang
ilmu,
dan mantik adalah salah satu di antaranya. Adalah
Ayyub
bin al-Qasim al-Raqi yang menerjemahkan Isagog dari
bahasa
Suryani ke Arab yang pada awalnya telah diadopsi
dari
Madrasah Iskandaria.
Pindahnya
Madrasah Alexandria ke Syria membawa banyak
pengaruh
dalam dunia pengetahuan. Penertiban dan penyusunan
ketika
itu menjadikan logika sebagai pedoman dan ilmu dasar
dalam
bidang astronomi, kedokteran dan kalam yang
berkembang
pesat di Arab sekitar abad IX-XI M. Sarjana
Islam
mulai proaktif dalam mengembangkan ilmu yang
bernafaskan
sains, termasuk Ibnu Sina (1037 M.), seorang
filsuf
muslim yang juga dokter dan Abu Bakar al-Razi yang
mengawali
pembukuan ilmu kedokteran dan farmasi. Ibnu Rusyd
(1198
M.) kemudian ikut andil dalam mengkolaborasikan
logika
Aristoteles dengan ilmu Islam termasuk filsafat dan
nahwu.
Al-Ghazali juga mulai mengkolaborasikan mantik
dengan
ilmu kalam pada periode selanjutnya. Maka jika kita
telisik
kembali dalam perjalanan sejarah, lewat orang-orang
muslimlah
dunia modern sekarang ini mendapatkan cahaya dan
kekuatannya.
Pengembangan metode eksperimen dari Timur
mempunyai
pengaruh penting dalam pola berpikir manusia
sehingga
mengembangkan metode ilmiah yang menggabungkan
cara
berpikir baik secara deduktif dan induktif.
Rasionalitas
Eropa Klasik-Modern
Perkembangan
logika Barat berawal dari masalah
teosentris
yang sangat berbalik arah dengan perkembangan
mantik
di Arab-Islam. Pertemuan pemikiran Aristoteles
dengan
iman kristiani menghasilkan banyak pemikir dan
filsuf
penting. Mereka sebagian besar berasal dari dua ordo
baru
yang lahir dalam abad pertengahan, yaitu Dominikan dan
Fransiskan.
Aliran ini dinamai sebagai filsafat Skolastik
(dari
kata Latin “scholasticus” yang berarti “guru”). Tema-
tema
pokok dari ajaran mereka antara lain hubungan iman-
akal
budi, eksistensi dan hakekat Tuhan, antropologi, etika
dan
politik. Mereka berusaha untuk memperlihatkan bahwa
iman
sesuai dengan pikiran-pikiran paling dalam dari
manusia.
Dan pada masa ini filsafat diajarkan di sekolah-
sekolah
biara serta universitas mengikuti kurikulum tetap
yang
bersifat internasional.
Berbeda
dengan apa yang ditawarkan dunia Islam,
sebagaimana
pendapat Ibnu Rusyd (1198 M.) bahwa filsafat
dan
agama mempunyai persamaan, yaitu sama-sama melaporkan
prinsip-prinsip
wujud tertinggi dan mempunyai tujuan puncak
yaitu
kebahagiaan manusia. Dalam tataran ini Siger de
Brabant
menyatakan bahwa agama lebih benar dari pada akal,
karena
betapapun itu, akal hanyalah akal, yang tidak dapat
melampaui
posisi agama. Adapun filsafat, laporannya lebih
bersifat
persuatif sedangkan agama lebih ke imajinatif.
Pengaruh
rasionalitas Aristoteles terhadap peradaban
Eropa
secara periodik terbagi tiga, yaitu pada permulaan
abad
Masehi (sekitar abad ke-2 dan ke-3 M.), kemudian pada
pertengahan
abad (sekitar abad ke-13 hingga abad ke-16 M.)
dan
akhir abad ke-19 M. Yang perlu ditekankan di sini,
bahwa
otoritas gereja pada pertengahan abad sangat
menghegemoni
hampir semua wilayah Eropa dengan mengusung
etika
rasional sebagai titik tolak pemikiran. Sehingga
wahyu
Tuhan seakan dipaksakan untuk memasuki wilayah akal.
Nah,
hal inilah yang menimbulkan perpecahan dalam
gereja.
Mulai abad ke-12 M, gereja mulai menerjemahkan
karya
sarjana Muslim yang berpusat di Spanyol dan Napoli.
Orang
Yahudi ketika itu banyak mempelopori penerjemahan
kitab
kedokteran, logika, matematika, astronomi dan
filsafat.
Buku filsafat pertama yang diterjemahkan adalah
al-Syifa’
karya Ibnu Sina (1037 M.) yang sangat melegenda
kemudian
mulai melebarkan sayap terhadap karya Al-Farabi
dan
Al- Kindi. Pengadopsian karya-karya tersebut didukung
dengan
hadirnya Madrasah Paris yang sedang naik daun
sekaligus
mendapat ‘restu’ dari Raja Philip dan Agustus.
Penyelaman
terhadap karya sarjana muslim tidak berjalan
mulus
bahkan mendapatkan penyangkalan dan pembantahan dari
pihak
gereja yang masih fundamentalis.
Karena
banyak berlawanan dengan hasil konsensus
gereja,
maka secara resmi gereja mengeluarkan pelarangan
dan
pemboikotan terhadap karya Aristoteles pada tahun 1210
M.
Maka, langkah selanjutnya yang diambil adalah
menerjemahkan
karya Aristoteles langsung dari buku Yunani,
dan
hal itulah yang banyak membantu Thomas Aquinas dalam
pembaruan
gereja. Di sinilah awal permulaan terbaginya
madrasah
Eropa menjadi empat pusat keilmuwan, yaitu
madrasah
Agustine, Dominika, Rasional Latin dan Oxford.
Pada
hakekatnya relasi mantik dan filsafat tidak akan
terpisahkan,
karena ‘berfilsafat’ harus menggunakan akal
sehat
dengan melepas subjektifitas. Sedangkan agama dasar
utamannya
adalah kekuatan iman, bukan akal. Pergolakan iman
Kristiani
banyak tercabik-cabik dalam pertengahan abad
pertama,
yaitu dengan munculnya asumsi gereja yang
menyatakan
tidak adanya filsafat dalam agama karena itu
sangat
mustahil. Melihat tujuan utama agama nasrani adalah
“fikratul
khallash”, yang menurut sebagian tokoh gereja
tidak
ada sangkut-pautnya dengan filsafat.
Dalam
tataran ini, Ludwig Feurbach sependapat dengan
keputusan
gereja. Berbeda dengan pemikiran Agustine yang
banyak
menghubungkan wilayah agama dan rasionalitas. Dalam
bukunya
“De Civitate Dei” dikatakan bahwa filsafat Kristen
adalah
cinta akan kebenaran, dan kebenaran merupakan
‘kalimah’
yang menyatu dalam tubuh al-Masih. Maka dalam
argumen
selanjutnya, Agustine tidak mengakui otoritas
wahyu,
karena nasrani adalah agama yang rasional. Agustine
sedikit
menjelaskan korelasi antara rasionalitas dan iman,
bahwa
fungsi akal mendahului iman (Ratio antecedit fidem)
guna
menjelaskan nilai-nilai kebenaran dalam akidah,
sedangkan
tujuan iman mendahului akal (Credo ut intelligam)
hukumnya
wajib agar akal digunakan untuk memikirkan akidah.
Dan
dari sini dapat ditarik benang merah bahwa tujuan
hakiki
filsafat adalah bukan berpikir untuk berakidah,
melainkan
berakidah untuk berpikir.
Hal
ini sangat berlawanan dengan pernyataan Thomas
Aquinas
(1274 M.), bahwa berpikir merupakan titik
pemberangkatan
untuk berakidah. Pemisahan rasionalitas
dengan
agama juga menjadi bahasan utama oleh Dr. Zaki Najib
Mahmud,
sejatinya agama berangkat dari wahyu disertai nash-
nash
ilahiyah yang terjaga, maka ketika membahas
‘rasionalitas
agama’ lebih ditujukan kepada proses
penalaran
yang berangkat dari agama. Nash agama selalu
bersifat
tunggal, tetapi nash yang berangkat dari penalaran
agama
akan bervarian selaras dengan perbedaan segi
pandangan
akal terhadap agama.
Pergulatan
sejarah mengisahkan zaman Renaissance
adalah
yang menjembatani perkembangan rasionalitas dari
abad
pertengahan ke era modern sekitar tahun 1400-1600 M.
dengan
tokoh utama Francis Bacon (1562-1626 M.), Nicollo
Machiavelli
(1469-1527 M.). Mereka mulai menguak kebudayaan
klasik
Yunani-Romawi kuno yang dihidupkan kembali dalam
kesusastraan,
seni dan filsafat. Jargon utamanya adalah
“Antroposentris”
ala mereka, pusat perhatian pemikiran
tidak
lagi wilayah kosmos, melainkan manusia. Mulai
sekarang
manusialah yang dianggap sebagai titik fokus dari
kenyataan.
Descartes
sebagai filsuf, matematikawan dan ilmuwan
Prancis
abad pertengahan (1596-1650 M.) memberikan sebuah
elaborasi
pernyataan yang berlawanan filsafat klasik tetapi
justru
mengembangkan. Sebuah pertanyaan klasik “apakah
asal-muasal
pengetahuan manusia itu?” diselaraskan dengan
pertanyaan
“bagaimana saya tahu?” adalah hepotesa aktif
yang
menuntut akal untuk proaktif dalam melihat sesuatu.
Pengaruh
besar yang dicetuskan Descartes adalah pemahaman
tentang
fisik alam semesta, bahwa seluruh alam -selain
Tuhan
dan jiwa manusia- bekerja secara mekanis. Oleh karena
itu
semua peristiwa alami dapat dijelaskan dari sebab
musabab
mekanis. Atas dasar inilah dia menolak pandangan
astrologi,
magis dan takhayul, yang berarti juga menolak
penjelasan
teologis. Dia berpendapat seharusnya para
ilmuwan
menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat semu dan
harus
menjabarkan dunia secara matematis. Dia menyusun
suatu
sistem filsafat dengan metode matematika.
Perkembangan
baru muncul lagi di abad ke-18 M., yang
biasa
disebut masa enlightment atau Aufklarung, yang mulai
menciptakan
suatu sintesis dari rasionalisme dan empirisme.
Tokoh
utamanya adalah John Locke (1632-1704 M.), di Prancis
Jean
Jacque Rousseau (1712-1778 M.) dan di Jerman ada
Immanuel
Kant (1724-1804 M.). Atas dasar rasionalisme,
empirisme
dan idealisme, Barat sampai saat ini mempunyai
banyak
aliran filsafat, yang kebanyakan hanya berkutat pada
satu
negara dan kebudayaan.
Nalar
Arab-Islam
Terdapat
banyak versi kapan mulainya penerjemahan dari
Yunani
ke Arab. Ada yang mengatakan bahwa penerjemahan itu
terjadi
pada masa kekuasaan Daulah Bani Umayah, ada juga
yang
berpendapat pada awal Daulah Abbasiyah. Al-Syahrastani
sepakat
bahwa mantik lebih dulu memasuki wilayah Arab
sebelum
zaman penerjemahan, yang berarti sebelum abad ke-8
M.
Proses penerjemahan terhadap karya filsuf Yunani
didukung
oleh upaya ekspansi umat Islam ke beberapa wilayah
asing.
Namun, mantik dalam masa ini belum menemukan
perkembangan
pesat, bisa jadi keadaan sosial masyarakatnya
memang
belum butuh atau aksi pencekalan oleh ulama salaf
yang
begitu menghegemoni. Sebagian dari ahli sejarah
mengatakan,
bahwa ilmu mantik mulai masuk ke dalam
pemikiran
Arab pada abad ke-7 M ketika masa penerjemahan
Khalifah
Ma’mun.
Menurut
Deboura, belum tersebarnya mantik secara
meluas
disebabkan karena hilangnya beberapa dokumentasi
terjemahan
buku-buku mantik sebelum abad ke-8 M. Tetapi
pendapat
ini banyak disangkal oleh sejarawan lain, karena
justru
pada masa sebelumnya telah muncul ilmu nahwu yang
banyak
berdialog dengan mantik. Bahkan ulama nahwu dari
Basrah
ketika itu mendapatkan julukan ahli mantik, karena
dalam
metodenya banyak menggunakan rasio. Hal tersebut
sangat
didukung oleh kondisi sosial politik Basrah yang
terus
berkecamuk, sehingga aksi perlawanan dan pertentangan
dari
tiap kelompok tak dapat dihindari. Akibatnya, mantik
digunakan
sebagai senjata perlawanan untuk adu argumentasi.
Nah,
hal ini sangat berbeda dengan ulama Nahwu Kufah yang
cenderung
kurang rasionalistik.
Dalam
riwayat al-Qadli al-Sha’id al-Andalusi (1070
M./462
H.) dijelaskan, bahwa Ibnu Muqaffa’ (760 M./142 H.)
diyakini
sebagai penerjemah awal ilmu mantik. Ia telah
menerjemahkan
tiga
buku
karya
Aristoteles
yaitu,
Categorias,
Pario Hermenais, Analytica, serta Eisagoge
karya
Porphyry. Hunain bin Ishaq, salah satu ahli bahasa,
juga
berpartisipasi dalam menerjemahkan berbagai disiplin
ilmu
Yunani ke dalam bahasa Arab. Bahkan Ishaq juga ikut
menerjemahkan
dari bahasa Suryani. Dalam buku Thatawwur
Mantiq
al-Araby dijelaskan, sekitar tahun 800 M. adalah
awal
penerjemahan buku-buku Yunani, hingga wafatnya murid
dan
kerabat Hunain bin Ishaq, karena mereka banyak membantu
proses
penerjemahan.
Organon
adalah kitab pertama yang diterjemahkan ke
Arab.
Orang-orang Nasrani ketika itu juga banyak membantu
dalam
proses penerjemahan, yang secara tidak langsung
pemikiran
Aristoteles berkembang biak tidak hanya dalam
kedokteran,
astronomi dan matematika melainkan mulai
menyentuh
wilayah teologi Kristen. Maka, dari sini mulai
terjadi
perbedaan dalam penertiban ilmu antara filsafat
Suryani
dan Nasrani. Sejak saat itu, mantik menjadi pemeran
utama
dalam ilmu kedokteran dan mulai berkembang dalam
bahasa
Arab sekitar abad ke-9 hingga abad ke-11 M. yang
diprakarsai
oleh Yahya bin Musawiyah, spesialis penerjemah
ilmu
kedokteran dari Yunani ke Arab. Apalagi didukung
dengan
hadirnya madrasah di Jundisapur (Persia) yang
mengawali
pelatihan penerjemahan dari teks Yunani pada awal
abad
pertama yang akhirnya berpindah ke Bagdad. Maka tak
bisa
dipungkiri lagi, bahwa dari sinilah lahir sarjana
muslim
yang berkompetensi tinggi untuk mengenalkan mantik
dalam
ilmu keislaman, sebut saja Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu
Sina,
Al-Razi, Al-Ghazali dst.
Berawal
dari ilmu kedokteran, astronomi serta kimia,
Al-Kindi
mulai memberanikan diri untuk menerjemahkan
filsafat
Yunani yang sekaligus mendapat persetujuan dari
Khalifah
al-Ma’mun (850-873 M). Kemudian mantik mulai
berdialektika
dan mempengaruhi disiplin ilmu Islam lainnya,
termasuk
nahwu. Mantik dalam hal ini digunakan sebagai
rumusan
metode dalam pengambilan hukum gramatikal bahasa,
terlebih
lagi dalam hal silogisme. Pada saat yang
bersamaan,
ilmu kalam juga mulai merayap dan terus
berkembang
di tangan Qadariyah, baru diwariskan ke
Mu’tazilah
sebagai titisan golongan rasionalis. Pertemuan
umat
Kristen dengan logika menuntut cendekiawan muslim
untuk
lebih giat mempelajari mantik sebagai upaya dalam
menjaga
teologi Islam.
Pada
dasarnya logika Aristoteles telah hidup dalam
budaya
Arab kurang lebih satu setengah abad. Penolakan
terhadap
filsafat termasuk logika Yunani baru terjadi pada
masa
Imam al-Asy’ari abad keempat Hijriah. Menurut beberapa
penulis,
penolakan yang sesungguhnya baru terjadi pada masa
al-Ghazali
yang menulis bukunya Tahāfut al-Falāsifah pada
pertengahan
kedua abad kelima Hijriah. Penolakan tersebut
didasarkan
atas pertimbangan-pertimbangan teologis. Tetapi
ada
faktor-faktor positif yang terdapat pada logika Yunani
sehingga
dapat diterima di dunia Islam, di antaranya
akurasi
logika dan ilmu-ilmu matematika yang memberikan
kontribusi
luar biasa dalam peradaban Islam. Akibatnya,
filsuf
dan teolog muslim mempercayai akurasi dan kebenaran
logika,
bahkan
sampai
memasuki
wilayah
ketuhanan
(metafisika).
Kekaguman akan logika terjadi karena,
dulunya,
Islam yang hanya mengenal segi-segi intuisi dan
perasaan
dalam mempertahankan akidah, kemudian mulai
beranjak
menggunakan mantik dalam menguatkan sendi-sendi
akidah
Islam sebagaimana disinggung al-Ghazali dalam
bukunya,
Al-Munqidz min al-Dhalāl.
Logika
Aristoteles memberikan perubahan besar dalam
dinamika
sosial masyarakat Arab, terlebih dalam urusan
administrasi
negara serta dalam sistem politik sekalipun.
Mantik,
pada masa itu juga digunakan sebagai piranti tata
letak
kota, karena Islam sebagai negara sangat membutuhkan
sistem
baru untuk maju. Tak hanya itu, ide-ide materialisme
yang
diusung Aristoteles juga berperan dalam problematika
pimikiran
Arab-Islam, meskipun kontradiksi dalam hal ini
tidak
dapat dinafikan. Peran logika Aristoteles dapat
disimpulkan
dalam tiga hal; yaitu sebagai perangkat praktis
dan
media berargumen yang marak dalam berbagai perdebatan
ideologi.
Selanjutnya, mantik digunakan sebagai salah satu
langkah
kesuksesan pola pikir Arab-Islam, sehingga dengan
mantik
peran akal menjadi primer demi mencapai tingkat
keyakinan.
Dan terakhir, bahwa logika dijadikan sebagai
media
(wasīlah) untuk menyatukan berbagai ideologi dan
pimikiran
menuju hakekat Satu Yang Mutlak, yaitu sumber
kebenaran
dan pengetahuan.
Perjalanan
mantik Arab mengalami sedikit goncangan
dari
ulama klasik. Bantahan dan sanggahan terhadap al-Kindi
kala
itu tak dapat dihindari. Karena menurut mereka belajar
filsafat
sama halnya belajar sesuatu yang menyesatkan.
Parahnya,
mereka mengklaim bahwa mempelajari filsafat dan
mantik
adalah bagian dari perbuatan setan. Imam al-Syafi’i
banyak
mengeluarkan hadist-hadist larangan terhadap
pembacaan
logika dan filsafat. Salah satunya berbunyi “akan
dianggap
bodoh lagi diperdebatkan bagi mereka yang mulai
meninggalkan
bahasa Arab dan berganti mempelajari filsafat
Aristoteles”.
Padahal dalam fikih, Imam Syafi’i banyak
menggunakan
metode eksplorasi (istiqrā`) untuk mengambil
istinbath
hukum. Ada pula riwayat yang berbunyi “barang
siapa
yang mempelajari logika, maka disamakan dengan kaum
zindiq”.
Sejatinya, masih banyak lagi nash- nash hadist
lainnya
yang menyatakan pelarangan terhadap mantik dan
filsafat,
seperti yang sudah dikemas oleh Syeikh Islam
Ismail
Harawi dalam periwayatannya.
Kecaman
dan penolakan terhadap mantik berawal ketika
Al-Mutawakkil
mulai menduduki kekhalifahan Abbasiyah (846
M/232
H). Penentang terbesar terhadap pemikiran Yunani
adalah
golongan teolog Asy’ariyah terutama Al-Ghazali
(1059-1111
M). Perlawanan tersebut meluas dari wilayah
timur
hingga barat. Namun barat Islam lebih terpengaruh
akan
hal ini karena mayoritas bermadzhab Maliki yang tidak
lain
adalah salafi. Mantik dan filsafat terus dikecam oleh
doktrin
ke-salafan, sampai pada akhirnya muncul Ibnu Rusyd
pemikir
besar Islam yang berani melawan mainstream tersebut
dengan
bukunya Tahāfut al-Tahāfut. Yang juga menjadi
komentator
atas aliran Aristoteles –selain Ibnu Sina dan
Ibn
Rusyd- adalah Suhrawardi dengan magnum opusnya “Hikmat
al-Isyraq”,
yang berisikan kritikan terhadap aliran
Paripatetik
dan filsafat materialisme yang dianut oleh
aliran
Stoicisme.
Meski
demikian, perlawanan terus berlanjut bahkan
sampai
puncaknya pada abad ke-13 dan ke-14 M. Apalagi
setelah
terbunuhnya filsuf muslim Sahruwardi pada akhir
abad
ke-12 M., muncul dua penentang papan atas yaitu, Ibnu
Sholah
(1244 M.) dan Ibnu Taimiyah (1328 M.). Adapun Ibnu
Taimiyah
melakukan pemboikotan terhadap buku-buku filsafat
dan
mantik, serta melontarkan predikat ‘kafir’ terhadap
Ibnu
Sina dalam bukunya “Majmu’ah Rasā`il al-Kubrā”
(terbitan
Kairo, hal 138). Pada masa inilah, pengikisan
mantik
mulai terlihat. Muncul setelahnya, abad ke-14 M.
Imam
Al-Dzahabi yang juga melakukan perlawanan terhadap
perjalanan
filsafat dan mantik Yunani. Hal-hal seperti
itulah
yang dilakukan ulama salaf guna membendung fitnah
dalam
pentakwilan teks-teks suci al-Qur’an dan Hadist.
Dalam
tataran praktis, asal-muasal masuknya mantik ke
dunia
Arab melalui jalur kedokteran, dan berakhir ketika
mencapai
puncak relasinya dengan ilmu kalam oleh Ghazali
(al-Iqtishād
fi al-I’tiqād). Menurut Ibnu Taimiyah, sarjana
muslim
pertama yang banyak berbicara logika serta
menghubungkannya
dengan ilmu Islam lain adalah al-Ghazali,
maka
tak heran jika ketika masuk abad ke-10 M., mantik
sudah
tidak dalam bentuknya yang dulu (ala Yunani),
melainkan
mulai disusupi nilai-nilai keislaman. Dialektika
mantik
dengan disiplin ilmu Islam lainnya semakin tampak,
bahkan
ketika nahwu dikatakan sebagai ‘mantiknya’ bahasa,
maka
mantik juga merupakan ‘bahasanya’ akal. Singkatnya,
logika
berperan sebagai timbangan untuk memutuskan yang
baik
dan buruk.
Setelah
runtuhnya Baghdad abad ke-11 M., Andalusia
dijadikan
sebagai pusat peradaban keilmuwan kedua. Demikian
pula
yang terjadi dalam mantik, berakhirnya madrasah Bagdad
menjadikan
mantik lebih dewasa, artinya yang dipakai saat
itu
bukan lagi metode Aristoteles melainkan diktat khusus
karya
Ibnu Sina. Terlihat dari abad-abad selanjutnya
sekitar
ke-13 dan ke-14 M., karya Ibnu Sina lebih membumi
dari
pada karya Aristoteles. Di sisi lain, sekitar 970-1030
M.
muncul jamaah Ikhawan al-Shafa dengan basis terbesarnya
di
Basrah. Dalam logika, mereka mengikuti metode
Aristoteles
tetapi lebih condong kepada Neoplatonisme,
terlebih
dalam pengertian tentang pitagoras. Banyak buku
mantik
yang telah dihasilkan oleh para pendahulu mereka,
khususnya
al-Farabi dalam mengkolaborasikan mantik Yunani
dengan
pemikiran Arab Islam.
Perjalanan
mantik mulai tersebar di Andalusia dan
Persia
dari abad ke-12 hingga abad ke-13 M. dengan style
baru
yang mulai terbebaskan dari filsafat. Ketika mantik
dianggap
hanya dibutuhkan dalam filsafat, Al-Ghazali
memberikan
inovasi baru yaitu membawa mantik secara
perlahan
memasuki wilayah kalam, nahwu, fiqh, ushul fiqh
dan
ilmu sosial. Karena logika adalah perantara dalam
segala
hal, tidak hanya problem-problem teologis dan
filsafat
saja. Sejak itu Al-Ghazali melegitimasi umat
muslim
untuk mempelajari logika dalam kapasitasnya sebagai
kewajiban
komunal (fardhu kifāyah). Terlebih lagi, buku-
buku
mantik karya Ibnu Rusyd dan karya Fakhruddin al-Razi
menjadi
pedoman penting dalam kajian mantik sekaligus
menjadi
rujukan bagi para sarjana muslim abad ini. Upaya
Ibnu
Rusyd dalam mengeleminasi logika Yunani ternyata
menuai
hasil yang tidak mengecewakan.
Relasi
Mantik dengan Disiplin Ilmu Islam Lainnya
Al-Ghazali
menyatakan bahwa teologi retoris sangat
kering
jika hanya berkutat dengan logika tanpa menyentuh
epistem
demonstratif, sehingga butuh sebuah upaya
harmonisasi
demi mencapai teologi yang mampu menghilangkan
skeptisisme.
Mantik dalam pandangan al-Ghazali terbagi dua,
yaitu
mantik Aristoteles yang mencakup segala pengetahuan
kecuali
teologis, dan mantik “kasyfi” yang hanya mencakup
masalah
ketuhanan. Tapi menurut Ibnu Khaldun, logika
empirik
(mantiq hissi) juga dapat diklasifikasikan sebagai
bagian
dari
mantik,
yang
mendasari
problematika
kemasyarakatan.
Dalam relasinya dengan ilmu kalam, al-
Ghazali
lebih mengunggulkan metode analogi (qiyās) daripada
eksplorasi
(istiqrā’) karena dianggap tidak dapat
membenarkan
teori ketuhanan, terwujud dari ketidakseragaman
antara
dunia metafisis dan realita. Syahdan, ilmu Kalam
yang
diusung al-Ghazali bukan dalam artian harfiahnya
(yaitu:
pembicaraan),
melainkan
dalam
pengertian
pembicaraan
yang bernalar dan menggunakan logika. Maka ciri
khas
ilmu kalam adalah rasionalitas atau logika.
Ekspansi
ilmu mantik dalam tataran teoritis tidak
mengalami
perkembangan signifikan pada abad ke-13 hingga
abad
ke-14 M. Masa setelah hadirnya Ibnu Rusyd dapat
dikatakan
sebagai masa melangsungkan kembali kritikan-
kritikan
beserta ulasannya dari golongan rasionalis sebut
saja
Al-Iji, Al-Thusi dan Sa’aduddin Al-Taftazani. Dalam
beberapa
kurun waktu selanjutnya merupakan masa kritikan
terhadap
pemakaian metode pikiran dalam memahami soal-soal
akidah,
salah satunya adalah Ibnu Taymiyah, Ibnu Sholah,
Ibnu
Hazm, dan Ibnu Al- Qaym. Nah, baru ketika beranjak ke
abad
selanjutnya perkembangan mantik berupa penertiban
materi
yang sengaja diselaraskan oleh al-Tustari di kedua
madrasah
abad pertengahan. Al-Taftazani dan Al-Jurjani juga
turut
andil dalam memperjelas mantik. Maka standarisasi
mantik
telah sempurna sekitar abad ke-15 M. sampai
sekarang.
Laju
perkembangan rasionalitas dalam kancah keilmuwan
terlebih
di Arab Islam sangat pesat. Pola pikir tiap sekte
dan
aliran selalu mengatasnamakan akal. Model penalaran al-
Asy’ari
dapat dikategorikan sebagai ‘orthodox style’,
karena
lebih setia dengan teks suci agama dibandingkan
dengan
mu’tazilah dan filsuf. Meskipun masih dalam
lingkaran
Islam, tapi penalaran yang dipakai mu’tazilah dan
filsuf
kebanyakan produk Yunani, sehingga mulai melakukan
pendekatan
ta’wil atau interpretasi metaforis terhadap
kalam
Tuhan, yang mereka anggap “mutasyabihāt”. Nah, hal
ini
disebabkan kuatnya peranan unsur mantik serta
dialektika.
Maka sistem ini dinamakan ilmu kalam atau
teologi
rasional. Sebenarnya tidak hanya mu’tazilah dan
filsuf
saja yang mengedepankan nalar, tapi al-Asy’ari pun
menggunakan
argumen dan dialektika logis meskipun dalam
tataran
sekunder. Metodologi alAsy’ari yang aristotelian
dengan
ciri rasional-deduktif rupanya paling mendapatkan
simpatisan,
terutama sekali ketika dua abad kemudian Al-
Ghazali
muncul dengan membawa kekuatan argumennya yang luar
biasa.
Bisa disebut bahwa madzhab ini sebagai jalan tengah
dari
berbagai ekstremitas. Praktis, semua titik-titik
penting
keagamaaan mereka dukung dengan argumen dan
dialektik
yang logis, bahkan menjadi inspirator orisinil
bagi
pemikiran keislaman. Sebagaimana pembahasan dalam
teologi,
pusat argumentasi kalam al-Asy’ari berada pada
upayanya
untuk membuktikan adanya Tuhan yang menciptakan
seluruh
jagad raya dari ketiadaan (ex nihilo) serta
pembuktian
adanya hari akhir dan malaikat. Konsep ‘kasb’
termasuk
salah satu teori yang diyakini pengikut al-
Asy’ari,
karena pengolahan argumentasinya dinilai sangat
logis.
Kajian
fikih berkembang pada saat peralihan zaman
Umawiyah
ke zaman Abbasiah, yaitu berdirinya “school of
thought”
oleh Abu Hanifah (699-767 M.) yang terbentuk dalam
lingkungan
Irak. Kekuatan politik untuk menjabarkan
penalaran
ajaran Islam sangatlah riil, terlihat dari
ekspansi
yang berimbas juga pada kodifikasi penalaran dalam
setiap
ilmu. Analogi yang banyak digunakan madzhab ini
adalah
qiyas dan pertimbangan kebaikan umum (istihsan).
Kemudian
Syafi’i meneruskan tema aliran pemikiran gurunya
Anas
Ibnu Malik dan mulai mengembangkannya. Dalam tataran
ini,
Syafi’i
sangat
berjasa
dengan
teori
yang
dirumuskannya,
sebagai
dasar
teoritis
Sunnah
dan
pembentukan
analogi atau qiyas sebagai metode rasional
untuk
mengembangkan hukum itu. Sementara itu konsensus
ulama
(ijma’) juga diterima Syafi’i sebagai bentuk
kebiasaan
masyarakat. Maka, titik tolak fikih berkat
Syafi’i
ada empat yaitu Kitab Suci, hadist Nabi SAW, ijma’
dan
qiyas.
Dalam
disiplin ilmu nahwu, mantik dengan analogi-nya
sangat
berperan penting. Kecenderungan pemakaian qiyas
seiringan
dengan munculnya gramatika dan kaedah bahasa,
terutama
oleh para ulama bahasa yang ada di Bashrah. Mereka
lebih
memilih mengkiaskan dengan metode sima’i terhadap
dalil
fasih yang mereka pakai untuk ber-istinbath.
Ketelitian
dalam mengambil argumen merupakan ciri khas
mereka,
berbeda halnya dengan ahli nahwu Kufah. Untuk
menetapkan
qiyas mereka tidak sepenuhnya selektif terhadap
dalil-dalil
yang akan dipakai, hal ini bisa dikarenakan
keterpengaruhan
pemikiran mereka dengan corak filsafat
Persia
yang lebih mengutamakan logika akal dari pada dalil.
Adapun
faktor lainnya, yaitu keterbatasan sumber-sumber
dalil
di samping letak geografisnya yang jauh dari pusat
keilmuan
dan peradaban. Tidak hanya model qiyas yang
digunakan
ahlu nahwu dalam pengambilan hukum, karena
ternyata
teori illat atau apologi juga banyak difungsikan.
Jika
diruntut dari awal perkembangan mantik, sudah
berapa
cabang keilmuan yang telah disisipi kekuasaan
logika?
Bahkan sampai kepada pengetahuan yang bertendensi
iluminasi
atau intuisi sekalipun, hal ini membuktikan bahwa
peran
akal beserta rumus-rumusnya akan selalu dibutuhkan
meskipun
ada beberapa hal yang dapat berjalan tanpanya.
Tasawuf
sebagai disiplin ilmu irasional, dalam beberapa
halnya-pun
menggunakan teori dan asas logika. Politik,
sosial,
kedokteran, aritmatika, dan masih banyak disiplin
ilmu
lain yang pasti membutuhkan aturan berpikir untuk
mencapai
sebuah kebenaran yang dituju. Namun, kebenaran
ilmu
pengetahuan sifatnya relatif, sedangkan agama
kebenaran
yang dituju adalah sebuah kebenaran mutlak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar