Selamat datang di duniaku

Sabtu, 08 Desember 2012

Pengertian Percobaan Tindak Pidana dan Pendapat Fuqaha


PENDAHULUAN
A. Pengertian Percobaan Tindak Pidana dan Pendapat Fuqaha

Percobaan tindak pidana adalah tidak selesainya perbuatan pidana karena adanya faktor eksternal, namun si pelaku ada niat dan adanya permulaan perbuatan pidana. Hukum pidana Islam tidak kosentrasi membahas delik percobaan, tetapi lebih
menekankan pada jarimah yang telah selesai dan belum selesai. Hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak membicarakan isi teori tentang "percobaan", sebagaimana yang akan terlihat nanti. Tidak adanya perhatian secara khusus terhadap jarimah percobaan disebabkan oleh dua faktor :
Pertama : Percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau kishash, melainkan dengan hukurnan ta’zir. Di mana ketentuan sanksinya diserahkan kepada penguasa Negara tersebut, diserahkan pula kepada mereka,agar bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, sesudah itu hakim diberi wewenang luas dalam menjatuhkan hukuman.
Kebanyakan jarimah ta'zir bisa mengalami perubahan antara dihukum dan tidak dihukum, dari masa ke masa, dan dari tempat ke tempat lain, dan unsur-unsurnya juga dapat berganti-ganti sesuai dengan pergantian pandangan penguasa-penguasa Negara. Oleh karena itu di kalangan fuqaha tidak ada perhatian khusus terhadap percobaan melakukan jarimah, karena percobaan ini termasuk jarimah ta’zir.
Kedua: Dengan adanya aturan-aturan yang mencakup dari Syara' tentang hukuman jarimah ta’zir, maka aturan-aturan khusus untuk percobaan tidak perlu diadakan, sebab hukuman ta'zir dijatuhkan atas setiap perbuatan ma'siat (kesalahan) yang tidak dikenakan hukuman had atau kifarat. Dengan perkataan lain, setiap perbuatan yang dianggap percobaan atau permulaan jahat dianggap ma’siat dan dapat dijatuhi hukuman ta'zir. Karena hukuman had dan kifarat hanya dikenakan atas jarimah-jarimah tertentu yang benar-benar telah selesai, maka artinya setiap percobaan (memulai) sesuatu perbuatan yang dilarang hanya dijatuhi hukuman ta'zir, dan percobaan itu sendiri dianggap ma'siat, yakni jarimah yang selesai juga, meskipun merupakan suatu bagian saja di antara begian-bagian lain yang membentuk jarimah yang tidak selesai, selama satu bagian itu sendiri dilarang. Jadi tidak aneh kalau sesuatu perbuatan semata-mata menjadi suatu jarimah, dan apabila bergabung dengan perbuatan lain maka akan membentuk-jarimah yang lain lagi.
Pencuri misalnya apabila telah melobangi dinding rumah, kemudian dapat ditangkap sebelum sempat memasukinya, maka perbuatannya itu semata-mata dianggap ma'siat (kesalahan) yang bisa dijatuhi hukuman meskipun sebenarnya baru merupakan permulaan dari pelaksanaan jarimah pencurian.
Demikian pula ketika ia masuk rumah orang lain dengan maksud hendak mencuri, tanpa melobangi dindingnya atau menaiki atapnya, dianggap telah memperbuat suatu jarimah tersendiri, meskipun perbuatan tersebut bisa disebut juga pencurian yang tidak selesai.
Apabila pencuri tersebut dapat menyelesaikan berbagai­-bagai perbuatan yang membentuk jarimah pencurian dan dapat membawa barang curiannya ke luar rumah, maka kumpulan perbuatan tersebut dinamakan "pencurian", dan dengan selesainya jarimah pencurian itu maka hukuman had yang telah ditentukan dijatuhkan kepadanya, dan untuk masing-masing perbuatan yang membentuk pencurian itu tidak boleh dikenakan hukuman ta'zir, sebab masing-masing perbuatan tersebut sudah bercampur jadi satu, yaitu pencurian.
Di sini jelaslah kepada kita, mengapa para fuqaha tidak membuat pembahasan khusus tentang percobaan melakukan jarimah, sebab yang diperlukan oleh mereka ialah pemisahan antara jarimah yang telah selesai dengan jariman yang tidak selesai, dimana untuk jarimah macam pertama saja dikenakan hukuman had atau qishash, sedang untuk jarimah macam kedua hanya dikenakan hukuman ta'zir. Pendirian Syara' tentang percobaan melakukan jarimah syara’ mencakup daripada hukum-hukum positif, sebab menurut syara' setiap perbuatan yang tidak selesai disebut ma'siat yang dijatuhi hukuman, dan dalarn hal ini tidak ada pengecualiannya. siapa yang mengangkat tongkat untuk dipukulkan kepada orang lain, maka ia dianggap memperbuat ma'siat dan dijatuhi hukuman ta'zir. Menurut hukum positif tidak semua percobaan melakukan jarimah dihukum.
Sesuai dengan pendirian Syara', maka pada peristiwa penganiayaan dengan maksud untuk membunuh, apabila penganiayaan itu berakibat kematian, maka perbuatan itu dianggap pembunuhan sengaja. Kalau korban dapat sembuh, maka perbuatan tersebut dianggap penganiayaan saja dengan hukumannya yang khusus. Akan tetapi kalau pembuat hendak membunuh korbannya, kemudian tidak mengenai sasarannya, maka perbuatan itu disebut ma'siat, dan hukumannya adalah ta'zir.

B. Fase-Fase dalam Tindak Pidana
Tiap–tiap jarimah mengalami fase-fase tertentu sebelum terwujud hasilnya. Pembagian fase-fase ini diperlukan sekat, sebab hanya pada salah satu fase saja, pembuat dapat dituntut dari segi kepidanaan, sedang pada fase-fase lainnya tidak dituntut.
1. Fase Pemikiran dan Perencanaan (marhalah at-tafkir wa at- tashmim)
Memikirkan dan merencanakan sesuatu jarimah tidak dianggap ma'siat yang dijatuhi hukuman, karena menurut aturan dalam Syari'at Islam, seseorang tidak dapat dituntut (sepersalahkan) karena lintasan hatinya atau niatan yang tersimpan dalam dirinya, sesuai dengan
sabda Rasulullah s.a.w. :“Tuhan memaafkan umatku dari apa yang dibisikkan atau dicetuskan oleh dirinya, selama ia tidak beriman dan tidak mengeluarkan kata-kata seseorang hanya dituntut karena kata-kata yang diucapkannya dan perbuatan yang dilakukannya”.
Dari sini aturan tersebut sudah masuk dalam Syari’at Islam. Akan tetapi pada hukum positif aturan tersebut baru dikenal pada akhir abad kedelapan belas Masehi, yaitu sesudah revolusi Perancis.
Sebelum masa itu, niatan dan pemikiran bisa dihukum, kalau dapat dibuktikan. juga pada hukum positif terhadap aturan tersebut ada pengecualiannya. Sebagai contoh ialah adanya perbedaan pada hukum pidana Perancis dan RPA antara pembunuhan sengaja yang direncanakan terlebih dahulu dengan pembunuhan biasa yang tidak direncanakan terlebih dahulu, dimana untuk pembunuhan pertama dikenakan hukuman yang lebih berat dari pada hukuman pembunuhan macam kedua.
KUHP RPA terhadap pembunuhan berencana dikenakan hukuman mati, dan terhadap pembunuhan biasa dikenakan hukuman kerja berat seumur hidup atau sementara (pasal 230 dan 234).
Menurut KUHP Indonesia, pembunuhan berencana dihukum mati atau dihukum penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun, dan pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama - lamanya lima belas tahun.
2. Fase Persiapan (marhalah at-tahdzir)
Menyiapkan alat yang dipakai untuk melaksanakan jarimah, seperti rnemberi senjata untuk membunuh orang lain atau membuat kunci palsu untuk mencuri. Fase persiapan juga tidak dianggap ma'siat yang dapat dihukum, kecuali apabila perbuatan persiapan itu sendiri dipandang sebagai ma’siat, seperti hendak mencuri milik seseorang dengan jalan membiusnya. Dalam contoh ini memberi alat bius atau membius orang lain itu sendiri dianggap ma'siat yang dihukum, tanpa memerlukan kepada selesainya maksud yang hendak dituju, yaitu mencuri.
Alasan untuk tidak memasukkan fase persiapan sebagai jarimah, ialah bahwa perbuatan seseorang yang bisa dihukum harus berupa perbuatan ma'siat, dan ma'siat baru terwujud apabila berisi pelanggaran terhadap hak masyarakat dan hak manusia, sedang pada penyiapan alat-alat jarimah pada umumnya tidak berisi suatu kerugian, maka anggapan ini masih bisa dita'wilkan, artinya bisa diragukan, sedang menurut aturan Syari'at seseorang tidak bisa diambil tindakan terhadapnya kecuali apabila didasarkan kepada keyakinan.
Sehingga peristiwa dianggap sesuatu yang syubhat dan pelakunya hanya dikenakan hukuman ta'zir. Hal ini sesuai kaidah:
ان الشرو ع فى الجريمة لا يعا قب عليه بقصا ص ولا حد وانما يعا قب عليه با لتعز ير
Yang Artinya: Sesungguhnya percobaan berbuat .jarimah tidak dihukum qishash atau had melainkan ta'zir.
3. Fase Pelaksanaan (marhalah tanfidiyah)
Pada fase inilah perbuatan si pembuat dianggap sebagai jarimah. Untuk dihukum, tidak menjadi persoalan, apakah perbuatan tersebut merupakan permulaan pelaksanaan unsur materiil jarimah atau tidak, melainkan cukup dihukum apabila perbuatan itu berupa ma'siat, yaitu yang berupa pelanggaran atas hak masyarakat dan hak perseorangan, dan dimaksudkan pula untuk melaksanakan unsur materiil, meskipun antara perbuatan tersebut dengan unsur materiil masih terdapat beberapa langkah lain.
Pada pencurian misalnya, melobangi tembok, membongkar pintu dan sebagainya dianggap sebagai ma'siat yang dijatuhi hukuman ta'zir, dan selanjutnya dianggap pula sebagai percobaan pencurian, meskipun untuk terwujudnya perbuatan pencurian masih terdapat perbuatan-perbuatan lain lagi, seperti masuk rumah, mengambil barang dari almari, dan membawanya ke luar dan sebagainya.
Jadi ukuran perbuatan dalam percobaan yang bisa dihukum ialah apabila perbuatan tersebut berupa ma'siat. Dalam hal ini niatan dan tujuan pembuat sangat penting artinya untuk menentukan apakah perbuatan itu ma'siat (salah) atau tidak.


C. Pendirian Hukum Positif
Pendirian hukum positif sama dengan Syara', bahwa permulaan tindak pidana tidak dapat dihukum, baik pada fase-fase pemikiran-perencanaan dan persiapan. Akan tetapi di kalangan sarjana- sarjana hukum positif terdapat perbedaan pendapat tentang saat di mana pembuat dianggap telah mulai melaksanakan jarimahnya itu.
Menurut aliran obyektif (objective leer), saat tersebut ialah ketika ia melaksanakan perbuatan material yang memben
tuk suatu jarimah. Kalau jarimah tersebut terdiri dari beberapa perbuatan maka percobaan untuk jarimah itu ialah ketika memulai perbuatan tersebut. Kalau jarimah itu terdiri dari beberapa perbuatan, maka memulai salah satunya dianggap melakukan perbuatan jarimah. Mengerjakan perbuatan lain yang tidak masuk dalam rangka pembentukan jarimah tidak dianggap telah mulai melaksanakan. Dengan perkataan lain, aliran tersebut melihat kepada obyek atau perbuatan yang telah dikerjakan oleh pembuat.
Menurut aliran subyektif (subjective leer), untuk dikatakan melakukan percobaan cukup apabila pembuat telah memulai sesuatu pekerjaan apa saja yang mendatangkan kepada perbuatan jarimah itu sendiri. Aliran tersebut memakai niatan dan pribadi pembuat untuk mengetahui maksud yang dituju oleh perbuatannya itu. Dengan perkataan lain, aliran tersebut lebih menekankan kepada subyek, atau niatan pembuat.
Dalam soal-soal kepidanaan, tidak dicukupkan. dengan segi dari pembuat saja atau segi perbuatan saja, melainkan harus memperhatikan kedua segi tersebut yakni perbuatan dari pembuat.
Dari perbandingan dengan Syari'at Islam, ternyata pendirian Syari'at Islam dapat menampung kedua aliran subyektif dan obyektif bersama-sama. Perbuatan yang bisa dihukum menurut aliran subyektif bisa dihukum pula menurut Syari'at Islam.
Akan tetapi Syari'at Islam menambahkan syarat, yaitu apabila perbuatan yang dilakukan pembuat bisa diklasifikasikan sebagai perbuatan ma'siat (perbuatan salah), baik bisa menyiapkan jalan untuk jarimah yang dimaksudkan atau tidak. Sedang menurut aliran subyektif perbuatan yang mulai dikerjakan harus bisa mendatangkan kepada unsur materinya jarimah.
Sebagai contoh ialah orang yang masuk suatu rumah dengan maksud untuk melakukan perbuatan zina dengan orang (wanita) yang ada di dalamnya, dan perbuatan yang dilakukannya itu tidak terjadi, karena suatu sebab, ada orang lain umpamanya. Menurut aliran obyektif, perbuatan tersebut tidak dapat dihukum, sebab tidak ada kepentingan yang dirugikan. Menurut aliran subyektif, perbuatan tersebut dapat dihukum karena sudah cukup menunjukkan teguhnya maksud yang ada pada dirinya. Menurut Syari'at Islam, juga dapat dihukum sebab perbuatan itu sendiri merupakan ma'siat (perbuatan salah)."
Pendirian Syari'at juga mirip dengan pendapat yang hidup di kalangan sarjana-sarjana. Hukum positif Vos misalnya, berpendapat bahwa pada pokoknya teori subyektif lebih benar daripada teori obyektif, akan tetapi harus diperbaiki dengan rumus berikut : pembuat baru patut dihukum, jika perbuatannya berlawanan dengan hukum, dengan pengertian, bahwa perbuatan itu tidak diperbolehkan (oleh masyarakat atau hukum) berhubungan dengan kepentingan hukum yang dikenai oleh jarimah
D. Hukuman Percobaan
Menurut aturan Syari'at Islam, untuk jarimah-jarimah hudud dan qishash, jarimah-jarimah yang selesai tidak boleh dipersamakan dengan jarimah-jarimah yang tidak selesai (percobaan).
E. Tidak Selesainya Percobaan
Seorang pembuat yang yang telah memulai perbuatan jarimahnya adakalanya dapat menyelesaikannya atau tidak dapat menyelesaikannya. Kalau dapat menyelesaikannya maka sudah sepantasnya ia dijatuhi hukuman yang diancamkan terhadap perbuatannya itu. "atau tidak dapat menyelesaikannya, maka adakalanya karena terpaksa atau karena kehendaknya sendiri. Dalam keadaan tidak selesai karena kehendak sendiri, maka adakalanya disebabkan karena ia bertaubat dan menyesal kepada Tuhan, atau disebabkan karena sesuatu diluar taubat dan penyesalan, misalnya atau khawatir terlihat oleh orang lain, atau hendak mengajak temannya terlebih dahulu.
F. Tidak Selesai Melakukan Percobaan Karena Taubat
Perbuatan jarimah yang diurungkan (tidak diselesaikan) adakalanya berupa jarimah "hirabah" (pembegalan/penggarongan) atau jarimah-jarimah lain. Apabila berupa jarimah hirabah maka perbuatan tidak dijatuhi hukuman atas apa yang telah diperbuatnya.
 Jadi apabila seseorang berbuat jarimah hirabah sudah menyatakan taubat dan penyesalan, maka hapuslah hukumannya meskipun itu telah melakukan jarimah yang selesai.
Pendapat pertama.
Pendapat pertama dikemukakan oleh beberapa fuqaha dari mazhab Syafi'i dan mazhab Hambali, yang mengatakan bahwa taubat bisa menghapuskan hukuman. Alasan yang dikemukakannya ialah bahwa al Qur'an menyatakan hapusnya hukuman hirabah karena taubat, sedangkan hirabah adalah jarimah yang paling berbahaya.
Pendapat kedua.
Pendapat ini dikemukakan oleh imam Malik dan Abu Hanifah, serta beberapa fuqaha dikalangan mazhab Syafi'i dan Ahmad. Menurut mereka taubat tidak menghapuskan hukuman kecuali untuk jarimah hirabah yang sudah ada ketentuannya yang jelas. Pada dasarnya taubat tidak dapat menghapuskan hukuman, karena kedudukan hukuman ialah sebagai kifarat ma’siat penebus (kesalahan). Perintah untuk meniatuhkan hukuman kepada orang-orang yang berzina dan mencuri bersifat umum, baik mereka yang bertaubat atau tidak, Rasulullah juga menyuruh melaksanakan hukuman rajam atas diri seorang yang bernarna "Ma'iz" dan orang wanita dari kampung Ghamidiyyah dan hukuman potong tangan atas diri orang yang mengaku telah mencuri.
Menurut fuqaha-fuqaha tersebut di atas, antara jarimah­-jarimah hirabah dengan jarimah-jarimah lain tidak ada kemiripan yang memungkinkan keduanya untuk dapat dipersamakan. Pada umumnya orang-orang yang melakukan jarimah hirabah terdiri dari sejumlah orang yang mempunyai kekuatan dan tidak mudah dilakukan penangkapan atas mereka.
Pendapat ketiga.
Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Taimiah serta muridnya yaitu Ibnul Qayyim, dan kedua-duanya termasuk aliran mahzab Hambali. Menurut pendapat kedua ulama tersebut, hukuman dapat membersihkan ma'siat, dan taubat bisa menghapuskan hukuman jarimah - jarimah yang berhubungan dengan hak Tuhan, kecuali apabila pembuat sendiri menginginkan penyucian dirinya dengan jalan hukuman.
Menurut pendapat tersebut penghentian pembuat untuk meneruskan perbuatannnya yang merugikan hak Tuhan, yakni hak masyarakat, bisa menghapuskan hukuman. Akan tetapi hapusnya hukuman tersebut tidak berlaku pada jarimah-jarimah yang mengenai hak perseorangan.
G. Percobaan Melakukan jarimah Mustahil
Di kalangan fuqaha nampak adanya pembahasan tentang percobaan melakukan "Jarimah mustahil" yang terkenal dikalangan sarjana-sarjana hukum positif dengan nama "oendeug delijk poging" (percobaan tak terkenan = as-syuru’fi aljarimah al-muslahilah), yaitu suatu jarimah yang tidak mungkin terjadi (mustahil) karena alat-alat yang dipakai untuk melakukannnya tidak sesuai, seperti orang yang mengarahkan senjata kepada orang lain dengan maksud untuk Membunuh, tetapi ia sendiri tidak tahu bahwa senjata itu tidak ada pelurunya atau ada kerusakan bagian-bagiannya, sehingga orang lain tersebut tidak meninggal.

DAFTAR PUSTAKA

Muslich, Ahmad Wardi. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta. Sinar Grafika.
Hanafi A. 1976. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Ctk. Kedua, Bulan Bintang, Jakarta.
Topo Santoso. Menggagas Hukum Pidana Islam. Bandung : Asy-Syamil, 2000.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar