SAINS dan agama, merupakan dua entitas yang sama-sama telah mewarnai sejarah
kehidupan umat manusia. Sebab, keduanya telah berperan penting dalam membangun
peradaban. Dengan lahirnya agama, tidak saja telah menjadikan umat manusia
memiliki iman, tapi hal lain yang tidak bisa dipandang sebelah mata adalah
terbangunnya manusia yang beretika, bermoral dan beradab yang menjadi pandangan
hidup bagi manusia dalam menjalani hidup di dunia.
Sementara sains dengan puncak perkembangan yang telah dicapai, juga telah
menjadikan kemajuan dunia dengan berbagai penemuan yang gemilang.
Tetapi, sepanjang sejarah kehidupan umat manusia itu pula, hubungan sains dan
agama tak bisa dikata selalu harmonis. Sejarah mencatat, bagaimana klaim
sepihak lembaga agama telah menjadikan Galileo (1564-1642) jadi korban setelah
ia dengan lantang bersuara bahwa matahari adalah pusat alam semesta (sementara
dalam kitab suci Kristen justru sebaliknya), dan sikap "sentimen" agama dalam
melihat teori evolusi Darwin.
Meski kemudian, dari sengketa itu lambat laun bisa diterima oleh sebagian kaum
agamawan, tapi berkat penemuan terbaru sains --setidaknya-- telah menunjukkan
pergeseran akan hubungan yang sebenarnya tak melulu saling berseteru.
Dengan kata lain, dalam perdebatan mengenai hubungan sains dan agama, tidak
selalu membangun simpul kesepakatan. Selalu ada ruang kosong yang itu merupakan
ruang debat yang tak sekadar simpel dan sederhana, melainkan juga amat
membingungkan dan bahkan membuat "pusing" kepala.
Memang, harus diakui bahwa "nasib" agama dikhawatirkan bisa terancam dengan
kemunculan sains yang seolah menyerang agama habis-habisan. Kendati demikian,
tetaplah muncul pula sebuah harapan akan peranan sains dalam menyingkirkan
unsur-unsur "takhayul" dalam ajaran agama dan dengan itu bisa membantu agama
tetap eksis "dipeluk" umat manusia karena bersifat rasional.
Perdebatan sengit seputar hubungan sains dan agama yang cukup rumit dan pelik
sepanjang sejarah itulah yang dihadirkan oleh John F Haught dalam buku yang
berjudul asli Science and Religion: From Conflik and Conversation ini. Dengan
menampilkan tipologi yang dipetakan dengan jelas, penulis -Guru Besar Teologi
pada Universitas Georgetown, AS-ini, selain telah menyajikan perdebatan seru,
juga telah memajang sebuah kaca spektrum luas akan hubungan sains-agama, mulai
dari sikap yang menunjukkan konflik antar keduanya hingga saling melebur dalam
bentuk peneguhan.
Empat Kubu
Mungkin saja tidaklah salah, jika hubungan sains dan agama itu telah menorehkan
dilema. Itu bisa dimaklumi sebab dari perbedaan pandangan itu tak saja telah
mewarnai perdebatan dengan berbagai argumen yang kuat, tapi telah membangun
tipologi yang kemudian mengerucut menjadi kubu yang saling berlawanan.
Dalam kaca mata penulis ini, dalam perdebatan itu terbangun empat tipologi:
konflik, kontras, kontak dan konfirmasi.
Bagi kubu konflik, hubungan antara sains dan agama selain berlawanan, juga
dianggap bertolak belakang dan tak bisa dipertemukan. Sebab antara agama dan
sains, dilihat saling bertarung untuk membenarkan dirinya sendiri. Tidak hanya
itu, keduanya juga saling menyudutkan dan karena itu tak mungkin bisa
diselaraskan.
Bagi kubu kontras, baik agama maupun sains merupakan dua bidang yang sama-sama
memiliki ruang dan wilayah kerja sendiri-sendiri. Meskipun, tidak perlu
diselaraskan, keduanya harus saling menghormati otonomi masing-masing. Adapun
bagi kubu kontak, justru menyarankan, kalau agama dan sains sebaiknya saling
dipertemukan untuk didialogkan.
Maksud dialog itu, tidak lain, karena dengan bertukar pandangan
-setidaknya-antara yang satu dengan yang lain, akan saling memperkaya
"perspektif" dalam melihat realitas. Meski demikian, bagi kubu ini, tidak harus
ada kata mufakat, apalagi (antara keduanya) harus dileburkan.
Berbeda dengan kubu konflik, kubu kontras dan kubu kontak, bagi kubu
konfirmasi, justru menyarankan antara agama dan sains saling "mengukuhkan".
Terlebih lagi, untuk satu upaya bertukar pikiran tentang "anggapan-anggapan"
dasar tentang realitas. Sebab dengan cara itu, keduanya bukan sekadar saling
diuntungkan, melainkan juga tak akan kehilangan jati diri masing-masing.
Setidaknya, wacana perdebatan seputar hubungan sains dan agama itu, telah
mencuat dan menggoreskan polemik sepanjang sejarah dan hampir-hampir tidak ada
habisnya untuk diperbincangkan. Sebab selama dunia ini masih tetap "eksis" dan
agama masih diyakini pemeluk umat sebagai kebenaran yang harus diterima tanpa
perlu diselidiki, dan sains selalu mengembangkan penelitian, perdebatan itu pun
masih selalu diperbincangkan.
Pendekatan Taksonomi
Dalam buku ini, Haught lebih memilih dengan pendekatan taksonomi dan tak banyak
hal yang dibicarakan sehingga tak menampilkan wacana komprehensif seperti Ian
Barbour (dalam buku Juru Bicara Tuhan), dengan menampilkan semua lanskap
persoalan. Meski begitu, hasil kerja Haught dengan menulis buku ini tetaplah
perlu diajungi jempol. Sebab ia telah berhasil menambahkan tipologi terakhir,
konfirmasi, dengan melampaui tipologi yang telah dipetakan Babour.
Selain itu, pemetaan Haught juga cukup mewakili "perdebatan" seputar hubungan
sains-agama dengan tanpa ada kubu yang terlewatkan. Terlebih lagi, buku-buku
dengan tema serupa yang biasanya ditulis dengan bahasa yang rumit, oleh Haught
(dalam buku ini) diulas dengan gaya bahasa yang sekiranya mudah dipahami.
Meski tak dimungkiri, dalam setiap babnya Haught tetap memberikan pelatuk
pembahasan yang menantang pembaca, sehingga memeras pikiran berpikir lebih jauh
dalam memberikan tanggapan dalam persoalan yang membingungkan ini.
Semua itu, tak lain, karena sebagaimana diakui Ian Barbour, bahwa buku ini
harus diakui merupakan buku "pengantar" yang jernih, mudah dibaca dan sarat
dengan informasi tentang dialog terkini antara komunitas ilmiah dengan kaum
religius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar