MANUSIA DALAM PANDANGAN ISLAM
March 11, 2007 at 10:29 pm (Aqidah)
Dalam pandangan Islam, manusia didefinisikan sebagai
makhluk, mukalaf, mukaram, mukhaiyar, dan mujzak.
Manusia adalah makhluk yang memiliki nilai-nilai fitri dan
sifat-sifat insaniah, seperti dha’if ‘lemah’ (an-Nisaa’: 28), jahula ‘bodoh’
(al-Ahzab: 72), faqir ‘ketergantungan atau memerlukan’ (Faathir: 15), kafuuro
‘sangat mengingkari nikmat’ (al-Israa’: 67), syukur (al-Insaan:3), serta fujur dan taqwa (asy-Syams: 8).
Selain itu, manusia juga diciptakan untuk mengaplikasikan
beban-beban ilahiah yang mengandung maslahat dalam kehidupannya. Ia membawa
amanah ilahiah yang harus diimplementasikan dalam kehidupan nyata.
Keberadaannya di alam mayapada memiliki arti yang hakiki, yaitu menegakkan
khilafah. Keberadaannya tidaklah untuk huru-hara dan tanpa hadaf ‘tujuan’ yang berarti. Perhatikanlah
ayat-ayat Qur`aniah di bawah ini.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka
berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui.” (al-Baqarah: 30)
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit,
bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan
mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab: 72)
Manusia adalah makhluk pilihan dan makkhluk yang dimuliakan
oleh Allah SWT dari makhluk-makhluk yang lainnya, yaitu dengan keistimewaan
yang dimilikinya, seperti akal yang mampu menangkap sinyal-sinyal kebenaran,
merenungkannya, dan kemudian memilihnya. Allah SWT telah menciptakan manusia dengan ahsanu taqwim, dan telah menundukkan
seluruh alam baginya agar ia mampu memelihara dan memakmurkan serta
melestarikan kelangsungan hidup yang ada di alam ini. Dengan akal yang
dimilikinya, manusia diharapkan mampu
memilah dan memilih nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang
tertuang dalam risalah para rasul.
Dengan hatinya, ia mampu memutuskan sesuatu yang sesuai dengan iradah Robbnya
dan dengan raganya, ia diharapkan pro-aktif untuk melahirkan karya-karya besar
dan tindakan-tindakan yang benar, sehingga ia tetap mempertahankan gelar
kemuliaan yang telah diberikan oleh Allah SWT kepadanya seperti ahsanu taqwim,
ulul albab, rabbaniun dan yang lainnya.
Maka, dengan sederet sifat-sifat kemuliaan dan sifat-sifat
insaniah yang berkaitan dengan keterbatasan dan kekurangan, Allah SWT
membebankan misi-misi khusus kepada manusia untuk menguji dan mengetahui siapa yang jujur dalam beriman dan
dusta dalam beragama.
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan
sesungguhnya kami telah menguji
orang-orang yang sebelum
mereka, maka sesungguhnya Allah
mengetahui orang-orang yang
benar dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-Ankabuut: 2-3).
Oleh karena itu, ia harus benar-benar mampu menjabarkan
kehendak-kehendak ilahiah dalam setiap misi dan risalah yang diembannya.
II. RISALAH INSAN
1. Manusia dan Misi
Manusia di dalam hidup ini memiliki tiga misi khusus: misi
utama; misi fungsional; dan misi operasional.
A. Misi Utama
Keberadaan manusia di muka bumi ini mempunyai misi utama,
yaitu beribadah kepada Allah SWT. Maka, setiap langkah dan gerak-geriknya harus
searah dengan garis yang telah ditentukan. Setiap desah nafasnya harus selaras
dengan kebijakan-kebijakan ilahiah, serta setiap detak jantung dan keinginan
hatinya harus seirama dengan alunan-alunan kehendak-Nya. Semakin mantap
langkahnya dalam merespon seruan Islam dan semakin teguh hatinya dalam
mengimplementasikan apa yang telah menjadi tugas dan kewajibannya, maka ia akan
mampu menangkap sinyal-sinyal yang ada di balik ibadahnya. Karena, dalam setiap
ibadah yang telah diwajibkan oleh Islam memuat nilai filosofis, seperti nilai
filosofis yang ada dalam ibadah shalat, yaitu sebagai ‘aun (pertolongan) bagi
manusia dalam mengarungi lautan kehidupan (al-Baqarah:153), dan sebagai benteng
kokoh untuk menghindari, menghadang, dan mengantisipasi gelombang kekejian dan
kemungkaran (al-Ankabuut: 45).
Adapun nilai filosofis ibadah puasa adalah untuk menghantarkan
manusia muslim menuju gerbang ketaqwaan, dan ibadah-ibadah lain yang bertujuan
untuk melahirkan manusia-manusia muslim yang berakhlak mulia (al-Baqarah: 183
dan aat-Taubah:103). Maka, apabila manusia mampu menangkap sinyal-sinyal nilai
filosofis dan kemudian mengaplikasikan serta mengekspresikannya dalam bahasa
lisan maupun perbuatan, ia akan sampai gerbang ketaqwaan. Gerbang yang
dijadikan satu-satunya tujuan
penciptaannya.
Namun, tidak semua manusia di dunia ini mengikuti perintah
dan merespon risalah yang di bawa oleh para Rasul. Bahkan, banyak di antara
mereka yang berpaling dari ajaran-ajaran suci yang didakwahkan kepada mereka. Ada juga yang secara
terang-terangan mengingkari dan memusuhinya (an-Nahl: 36, al-An’aam: 26, dan
al-Baqarah: 91).
Hal ini bisa terjadi pada manusia karena dalam dirinya ada
dua kekuatan yang sangat dominan mempengaruhi setiap pikiran dan perbuatannya,
kekuatan taqwa dan kekuatan fujur. Kekuatan taqwa didorong oleh nafsu
mutmainnah (jiwa yang tenang) untuk selalu menterjemahkan kehendak ilahiah
dalam realitas kehidupan, dan kekuatan fujur yang di dominasi oleh nasfu
ammarah (nafsu angkara murka) yang senantiasa memerintahkan manusia untuk masuk
dalam dunia kegelapan.
Maka, dalam bingkai misi utama ini, manusia bisa diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu sabiqun bil khairat, muqtashidun, dan dzalimun linafsihi.
Hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT sebagai berikut.
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang
Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang
menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan
diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin
Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Faathiir: 32)
http://permatacanberra.wordpress.com/2007/03/11/manusia-dalam-pandangan-islam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar