KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Syukur Alhamdulillah atas petunjuk
dan Ridha Allah atas pertolonganAllah jualah, akhirnya Makalah Pengantar
Filsafat ini dengan judul “Pemikiran Filsafat pada masa Yunani Klasik”
ini dapat terselesaikan, namun kesalahan dan kekeliruan dalam makalah ini, kami
mohon kritik serta saran yang konstruktif sangat diharapkan demi sempurnanya
Makalah ini.
Sholawat serta salam senantiasa
kami haturkan kepada Nabi kitaMuhammad S.A.W, keluarga dan segenap
sahabat-sahabatnya. Yang telah menunjukkan kepada kita kebenaran dan mutlak
yaitu dengan hadirnya Agama Islam.
Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada Bapak M. Fahmi, M.Hum yang telah membimbing kami dalam pengerjaan
Makalah ini dan pihak-pihak yang terkait dalam penyelesaian makalah ini
Ttd
Penulis.
DAFTAR ISI
Halaman Judul
……………………………………………………………………..
Kata Pengantar
…………………………………………………………………….i
Daftar Isi
………………………………………………………………….……….ii
BAB I :Pendahuluan
………………………………………………………..……..1
A. Latar belakang masalah
………………………………………………….....….1
B. Rumusan Masalah
………………………………………………………...........1
C. Tujuan Penulisan
……………………………………………………….......…..1
BAB II : Pembahasan
……………………………………………………………..3
A. Pengertian Filsafat
…………………………………………………........……..3
B. Aliran Sofisme
……………………………………………………………........4
C. Filsafat yunani klasik
……………………………………………………..........5
D. Etik Sokrates, Plato dan
Aristoteles ………………………………………........5
BAB III: Penutup
……………………………………………………………….....7
A. Kesimpulan
……………………………………………………………….........7
B. Saran
……………………………………………………………………….......7
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Beberapa tentang
kelahiran dan perkembangan Filsafat pada awal kelahiranya tidak dapat di
pisahkan dengan perkembangan (Ilmu) pengetahuan yang munculnya pada masa peradaban
kuno (masa yunani) makna kata Filsafat sendiri adalah cinta Keahrifan, arti
kata tersebut belum memperhatikan makna kata yang sebenarnya dari kata
Filsafat, sebeb pengertian “mencintai” belum memperlihatkan keaktifan seorang
Filosof untuk memperoleh Kearifan.
Aliran yang
mengawali periode yunani klasik adalah Sofisme, kata Sofis berarti Arif atau
Pandai,yaitu gelar bagi meraka yang memiliki kearifan dalam menjalani
kehidupan. Namun pada zaman ini, kata Sofis berkaitan dengan orang yang pandai
bicara, mempengaruhi oarng dengan kepandaian berdebat. Sofis dalam gambaran
yang di berikan para tokoh aliran ini terlihat jahat dan tidak memilki moral. Namun
mereka sebenarnya memiliki jasa yang lumayan besar dalam perkembangan Filsafat.
Dan ada beberapa pendapat orang terhadap aliran Sofisme yaitu ada
yangmenganggap bahwa aliran Sofisme sebagai aliran yang merusak dunia Filsafat.
B. Rumusan
Masalah
Melihat dari
latar belakang di atas, dapat diperoleh pertanyaan antara lain :
1.
Apa dampak hadirnya
Aliran sofisme dalam Filosofi yunani?
2.
Bagaimana pemikiran
pada masa Yunani klasik yang dipelopori oleh Socrates, Plato, dan Aristoteles?
C. Tujuan
penulisan
Adapun tujuan
penulisan dari makalah ini adalah :
1.
Untuk mengetahui
dampahk hadirnya Aliran Sofisme dalam Filosofi yunani.
2.
Untuk mengetahui bagaimana
pemikiran Filsafat yunani klasik yang dipelopori
Oleh
Socrates, Plato dan Aristoteles.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aliran
Sofisme
Pada
masa yunani kuno ini makin besar minat orang terhadap filsafat. Aliran yang
mengawali periode yunani klasik ini adalah sofisme. Sofisme ini berasal dari
kata sophos yang artinya cerdik pandai. Keahliannya dalam bidang bahasa,
politik, retorika, dan terutama tentang kosmos.
Antara
kaum sofmis dengan Socrates mempunyai hubungan yang erat sekali, mereka itu
hidup sezaman, pokok permasalahan pemikiran mereka juga sama, yaitu manusia.
Perbedaan antara kaum sofis dan Socrates adalah bahwa pemikiran filsafat
Socrates sebagai suatu reaksi dan kritik terhadap pemikiran kaum sofis.
Istilah
sofis yang berasal dari kata sophistes mempunyai pengertian seorang sarjana
atau cendekiawan. Terdapat tiga faktor yang mendorong timbulnya kaum sofis,
yaitu sebagai berikut :
1. Perkembangan
secara pesat kota Athena dalam bidang politik dan ekonomi.
- Kota Athena sebagai pusat politik sehingga peranan pendidikan sangat penting untuk mendidik kaum mudanya.
- Terbukanya masyarakat yunani terhadap budaya luar akan membuat orang-orang yunani menjadi dinamis dan berkembang.
Salah
satu sofisme adalah gorgias (480 – 380 SM)
Gorgias (480 - 380 SM)
Ia
lahir di Leontini, Sicillia. Menurut pendapatnya yang penting adalah bagaimana
dapat meyakinkan orang lain agar menerima pendapat kita. Pendapatnya yang
penting adalah:
- Mencari keterangan tentang asal usul yang ada
- Bagaimana peran manusia sebagai makhluk yang memiliki kehendak berpikir
- Norma yang sifatnya umum tidak ada, yang ada norma yang individualistis (subjektivisme)
- Bahwa kebenaran tidak dapat diketahui sehingga ia termasuk penganut skeptisisme
Aspek
positif dari adanya aliran siofisme ini akan mempengaruhi terhadap kebudayaan
yunani, yaitu suatu revolusi intelektual, dan mengangkat manusia sebagai objek
pemikiran filsafat. Aspek negatifnya aliran sofisme membawa pengaruh yang tidak
baik terhadap kebudayaan yunani.
B.
Pemikiran Filsafat pada
masa Yunani Klasik
("arche"
= ). Tidakkah di balik keanekaragaman realitas di alam semesta itu hanya ada
satu azas? Thales mengusulkan: air, Anaximandros: yang tak terbatas,
Empedokles: api-udara-tanah-air. Herakleitos mengajar bahwa segala sesuatu
mengalir ("panta rei" = selalu berubah), sedang Parmenides mengatakan
bahwa kenyataan justru sama sekali tak berubah. Namun tetap menjadi pertanyaan:
bagaimana yang satu itu muncul dalam bentuk yang banyak, dan bagaimana yang
banyak itu sebenarnya hanya satu? Pythagoras (580-500 sM) dikenal oleh sekolah
yang didirikannya untuk merenungkan hal itu. Democritus (460-370 sM) dikenal
oleh konsepnya tentang atom sebagai basis untuk menerangkannya juga. Zeno
(lahir 490 sM) berhasil mengembangkan metode reductio ad absurdum untuk
Meraih kesimpulan yang benar.
1.2 Puncak zaman Yunani
dicapai pada pemikiran filsafati Sokrates (470-399 sM), Plato (428-348
sM) dan Aristoteles (384-322 sM).
1.2.1 Sokrates menyumbangkan teknik kebidanan (maieutika tekhne) dalam berfilsafat. Bertolak dari pengalaman konkrit, melalui dialog seseorang diajak Sokrates (sebagai sang bidan) untuk "melahirkan" pengetahuan akan kebenaran yang dikandung dalam batin orang itu. Dengan demikian Sokrates meletakkan dasar bagi pendekatan deduktif. -- Pemikiran Sokrates dibukukan oleh Plato, muridnya.
Hidup pada masa yang sama dengan mereka yang menamakan diri sebagai "sophis" ("yang bijaksana dan berapengetahuan"), Sokrates lebih berminat pada masalah manusia dan tempatnya dalam masyarakat, dan bukan pada kekuatan-kekuatan yang ada dibalik alam raya ini (para dewa-dewi mitologi Yunani). Seperti diungkapkan oleh Cicero kemudian, Sokrates "menurunkan filsafat dari langit, mengantarkannya ke kota-kota, memperkenalkannya ke rumah-rumah". Karena itu dia didakwa "memperkenalkan dewa-dewi baru, dan merusak kaum muda" dan dibawa kepengadilan kota Athena. Dengan mayoritas tipis, juri 500 orang menyatakan ia bersalah. Ia sesungguhnya dapat menyelamatkan nyawanya dengan meninggalkan kota Athena, namun setia pada hati nuraninya ia memilih meminum racun cemara di hadapan banyak orang untuk mengakhiri hidupnya.
1.2.2 Plato menyumbangkan ajaran tentang "idea". Menurut Plato, hanya idea-lah realitas sejati. Semua fenomena alam hanya bayang-bayang dari bentuknya (idea) yang kekal. Dalam wawasan Plato, pada awal mula ada idea-kuda, nun disana di dunia idea. Dunia idea mengatasi realitas yang tampak, bersifat matematis, dan keberadaannya terlepas dari dunia inderawi. Dari idea-kuda itu muncul semua kuda yang kasat-mata. Karena itu keberadaan bunga, pohon, burung, ... bisa berubah dan berakhir, tetapi idea bunga, pohon, burung, ... kekal adanya. Itulah sebabnya yang satu dapat menjadi yang banyak.
1.2.1 Sokrates menyumbangkan teknik kebidanan (maieutika tekhne) dalam berfilsafat. Bertolak dari pengalaman konkrit, melalui dialog seseorang diajak Sokrates (sebagai sang bidan) untuk "melahirkan" pengetahuan akan kebenaran yang dikandung dalam batin orang itu. Dengan demikian Sokrates meletakkan dasar bagi pendekatan deduktif. -- Pemikiran Sokrates dibukukan oleh Plato, muridnya.
Hidup pada masa yang sama dengan mereka yang menamakan diri sebagai "sophis" ("yang bijaksana dan berapengetahuan"), Sokrates lebih berminat pada masalah manusia dan tempatnya dalam masyarakat, dan bukan pada kekuatan-kekuatan yang ada dibalik alam raya ini (para dewa-dewi mitologi Yunani). Seperti diungkapkan oleh Cicero kemudian, Sokrates "menurunkan filsafat dari langit, mengantarkannya ke kota-kota, memperkenalkannya ke rumah-rumah". Karena itu dia didakwa "memperkenalkan dewa-dewi baru, dan merusak kaum muda" dan dibawa kepengadilan kota Athena. Dengan mayoritas tipis, juri 500 orang menyatakan ia bersalah. Ia sesungguhnya dapat menyelamatkan nyawanya dengan meninggalkan kota Athena, namun setia pada hati nuraninya ia memilih meminum racun cemara di hadapan banyak orang untuk mengakhiri hidupnya.
1.2.2 Plato menyumbangkan ajaran tentang "idea". Menurut Plato, hanya idea-lah realitas sejati. Semua fenomena alam hanya bayang-bayang dari bentuknya (idea) yang kekal. Dalam wawasan Plato, pada awal mula ada idea-kuda, nun disana di dunia idea. Dunia idea mengatasi realitas yang tampak, bersifat matematis, dan keberadaannya terlepas dari dunia inderawi. Dari idea-kuda itu muncul semua kuda yang kasat-mata. Karena itu keberadaan bunga, pohon, burung, ... bisa berubah dan berakhir, tetapi idea bunga, pohon, burung, ... kekal adanya. Itulah sebabnya yang satu dapat menjadi yang banyak.
Plato
ada pada pendapat,
bahwa pengalaman hanya merupakan ingatan (bersifat intuitif, bawaan, dalam
diri) seseorang terhadap apa yang sebenarnya telah diketahuinya dari dunia
idea, -- konon sebelum manusia itu masuk dalam dunia inderawi ini. Menurut
Plato, tanpa melalui pengalaman (pengamatan), apabila manusia sudah terlatih
dalam hal intuisi, maka ia pasti sanggup menatap ke dunia idea dan karenanya
lalu memiliki sejumlah gagasan tentang semua hal, termasuk tentang kebaikan, kebenaran,
keadilan, dan sebagainya. Plato mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional
deduktif sebagaimana mudah dijumpai dalam matematika. Problem filsafati yang
dikerjakan oleh Plato adalah keterlemparan jiwa manusia kedalam penjara
dunia inderawi, yaitu tubuh. Itu persoalan ada ("being") dan mengada (menjadi,"becoming").
1.2.3 Aristoteles
menganggap Plato (gurunya) telah menjungkir-balikkan segalanya. Dia setuju
dengan gurunya bahwa kuda tertentu "berubah" (menjadi besar dan
tegap, misalnya), dan bahwa tidak ada kuda yang hidup selamanya. Dia juga
setuju bahwa bentuk nyata dari kuda itu kekal abadi. Tetapi idea-kuda adalah
konsep yang dibentuk manusia sesudah melihat (mengamati, mengalami) sejumlah
kuda. Idea-kuda tidak memiliki eksistensinya sendiri: idea-kuda tercipta dari
ciri-ciri yang ada pada (sekurang-kurangnya) sejumlah kuda. Bagi Aristoteles,
idea ada dalam benda-benda.
Pola pemikiran
Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal. Menurut Plato, realitas
tertinggi adalah yang kita pikirkan dengan akal kita, sedang menurut
Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indera-mata kita.
Aristoteles tidak menyangkal bahwa bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya
bawaan, dan bukan sekedar akal yang masuk dalam kesadarannya oleh pendengaran
dan penglihatannya. Namun justru akal itulah yang merupakan ciri khas yang membedakan
manusia dari makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia kosong sampai ia
mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, padamanusiatidakadaidea-bawaan.
Aristoteles menegaskan bahwa ada dua cara untuk mendapatkan kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru, yaitu metode rasional-deduktif dan metode empiris-induktif. Dalam metode rasional-deduktif dari premis dua pernyataan yang benar, dibuat konklusi yang berupa pernyataan ketiga yang mengandung unsur-unsur dalam kedua premis itu. Inilah silogisme, yang merupakan fondasi penting dalam logika, yaitu cabang filsafat yang secara khusus menguji zogol, dan zokigolkeabsahan cara berfikir. Logika dibentuk dari kata berarti sesuatu yang diutarakan. Daripadanya logika berarti pertimbangan pikiran atau akal yang dinyatakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa.
Dalam metode empiris-induktif pengamatan-pengamatan indrawi yang sifatnya partikular dipakai sebagai basis untuk berabstraksi menyusun pernyataan yang berlakuuniversal.
Aristoteles mengandalkan pengamatan inderawi sebagai basis untuk mencapai pengetahuan yang sempurna. Itu berbeda dari Plato. Berbeda dari Plato pula, Aristoteles menolak dualisme tentang manusia dan memilih "hylemorfisme": apa saja yang dijumpai di dunia secara terpadu merupakan pengejawantahan material ("hyle") sana-sini dari bentuk ("morphe") yang sama. Bentuk memberi aktualitas atas materi (atau substansi) dalam individu yang bersangkutan. Materi (substansi) memberi kemungkinan ("dynamis", Latin: "potentia") untuk pengejawantahan (aktualitas) bentuk dalam setiap individu dengan cara berbeda-beda. Maka ada banyak individu yang berbeda-beda dalam jenis yang sama. Pertentangan Herakleitos dan Parmendides diatasi dengan menekankan kesatuan dasar antara kedua gejala yang "tetap" danyang "berubah". Dalam konteks ini dapat dimengerti bila Aristoteles ada pada pandangan bahwa wanita adalah "pria yang belum lengkap". Dalam reproduksi, wanita bersifat pasif dan reseptif, sedang pria aktif dan produktif. Semua sifat yang aktual ada pada anak potensial terkumpul lengkap dalam sperma pria. Wanita adalah "ladang", yang menerima dan menumbuhkan benih, sementara pria adalah "yang menanam". Dalam bahasa filsafat Aristoteles, pria menyediakan "bentuk", sedang wanita menyumbangkan "substansi".
Dalam makluk hidup (tumbuhan, binatang, manusia), bentuk diberi nama "jiwa" ("psyche", Latin: anima). Tetapi jiwa pada manusia memiliki sifat istimewa: berkat jiwanya, manusia dapat "mengamati" dunia secara inderawi, tetapi juga sanggup "mengerti" dunia dalam dirinya. Jiwa manusia dilengkapi dengan "nous" (Latin: "ratio" atau "intellectus") yang membuat manusia mampu mengucapkan dan menerima"logoz".Itumembuatmanusiamemilikibahasa.
Pemikiran Aristoteles merupakan hartakarun umat manusia yang berbudaya. Pengaruhnya terasa sampai kini, -- itu berkat kekuatan sintesis dan konsistensi argumentasi filsafatinya, dan cara kerjanya yang berpangkal pada pengamatan dan pengumpulan data. Singkatnya, ia berhasil dengan gemilang menggabungkan (melakukan sintesis) metode empiris-induktif dan rasional-deduktif tersebut diatas.
Aristoteles adalah guru Iskandar Agung, raja yang berhasil membangun kekaisaran dalam wilayah yang sangat besar dari Yunani-Mesir sampai ke India-Himalaya. Dengan itu, Helenisme (Hellas = Yunani) menjadi salah satu faktor penting bagi perkembangan pemikiran filsafati dan kebudayaan di wilayah Timur Tengah juga. -- (Catatan kecil saja dari FSP: Maka jangan terkejut jika pandangan berat-sebelah tentang pria-wanita sangat dominan sampai kini. Legitimasi filsafati agaknya telah diberikan oleh Arsitoteles atas praktek yanh umum di dalam masyarakat Timur Tengah, Eropa abad pertengahan dan dimana saja. Gereja Katolik pun selama berabad-abad mengikuti pendirian yang sama, sekalipun landasan biblisnya sama sekali tidak ada. Yesus, sebagaimana tampak dalam Injil, memiliki pandangan yang sama sekali tidak berat-sebelah tentang gender.)
Aristoteles menempatkan filsafat dalam suatu skema yang utuh untuk mempelajari realitas. Studi tentang logika atau pengetahuan tentang penalaran, berperan sebagai organon ("alat") untuk sampai kepada pengetahuan yang lebih mendalam, untuk selanjutnya diolah dalam theoria yang membawa kepada praxis. Aristoteles mengawali, atau sekurang-kurangnya secara tidak langsung mendorong, kelahiran banyak ilmu empiris seperti botani, zoologi, ilmu kedokteran, dan tentu saja fisika. Ada benang merah yang nyata, antara sumbangan pemikiran dalam Physica (yang ditulisnya), dengan Almagest (oleh Ptolemeus), Principia dan Opticks (dari Newton), serta Experiments on Electricity (oleh Franklin), Chemistry (dari Lavoisier), Geology (ditulis oleh Lyell), dan The Origin of Species (hasil pemikiran Darwin). Masing-masing merupakan produk refleksi para pemikir itu dalam situasi dan tradisi yang tersedia dalam zamannya masing-masing.
1.3 Zaman Yunani pasca-aristoteles ditandai oleh tiga aliran pemikiran filsafat, yaitu Stoisisme, Epikurisme dan Neo-platonisme. Stoisisme (Zeno, 333-262 sM) terkenal karena etikanya: manusia berbahagia jika ia bertindak rasional. Epikurisme (Epikuros, 341-270 sM) juga terkenal dalam etika: "kita harus memiliki kesenangan, tetapi kesenangan tidak boleh memiliki kita".
Neo-platonisme (Plotinos, 205-270 M). Idea kebaikan (idea tertinggi dalam Plato) = "to hen", yang esa, "the one". Yang esane otdisebut oleh Plotinos adalah awal, yang pertama, yang paling baik, paling tinggi, dan yang kekal. Yang esa tidak dapat dikenal oleh manusia karena tidak dapat dibandingkan atau disamakan dengan apa pun juga. Yang esa adalah pusat daya, -- seluruh realitas berasal dari pusat itu lewat proses pancaran (emanasi), bagai matahari yang memancarkan sinarnya. Kendati proses emanasi, yang esa tak berkurang atau terpengaruh sama sekali.
Dari = "nous", budi, akal, bahkan roh (?). "Nous"zuon mengalir ne ot =hcnymerupakan "bayang-bayang" dari "to hen". Dari "nous" mengalir = "me uo hm"psykhe", jiwa, yang merupakan perbatasan "nous" dengan on", materi, yang merupakan kemungkinan atau potensi bagi keberadaan suatu bentuk, yang pada manusia adalah tubuh. "Psykhe" merupakan penghubung antara "nous" yang terang, yang berlawanan dengan materi yang gelap, yang rohani berlawanan dengan yang jasmani. -- Menurut neo-platonisme, perlawanan itu merupakan penyimpangan dari kebenaran. Untuk mencapai kebenaran, manusia harus kembali kepada "to hen", dan itulah tujuan hidup manusia. "To hen" kiranya identik dengan konsep "Sang Sangkan Paraning Dumadi" dalam tradisi Jawa.
Kesatuan mistis dengan "to hen" merupakan kebenaran sejati. Manusia harus berkontemplasi untuk mengatasi hal-hal yang inderawi, yang merupakan penghambat besar bagi pembebasannya dari hidup dalam dimensi materi yang bersifat gelap (dan berakhir kepada kematian) menuju kepada hidup dalam dimensi roh yang membawa kepada terang (serta awal dari kekekalan).
Jejak pemikiran neoplatonisme dapat diamati dalam pengalaman mistik, yaitu pengalaman menyatu dengan Tuhan atau "jiwa kosmik". Banyak agama menekankan keterpisahan antara Tuhan dan Ciptaan, tetapi para ahli mistik tidak menemui pemisahan seperti itu. Mereka jutru mengalami rasa "penyatuan dengan Tuhan". Ketika penyatuan itu terjadi, ahli mistik merasa dia "kehilangan dirinya", dia lenyap ke dalam diri Tuhan atau hilang dalam diri Tuhan, sebagaimana setitik atau sepercik air kehilangan dirinya ketika telah menyatu dalam samudera raya.
Tetapi pengalaman mistik itu tidak selalu datang sendiri. Ahli mistik harus mencari jalan "pencucian dan pencerahan" untuk bisa bertemu dengan Tuhan, melalui hidup sederhana dan berbagai teknik meditasi. Kecenderungan mistik tu diketemukan dalam semua agama besar di dunia. Dalam "agama" Jawa dikenallah konsep "manunggaling kawula lan Gusti", yang jejaknya dalam sastra suluk Jawa digali dan diungkapkan bagi generasi masa kini dalam konteks filsafat dan pandangan keagamaan.
Aristoteles menegaskan bahwa ada dua cara untuk mendapatkan kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru, yaitu metode rasional-deduktif dan metode empiris-induktif. Dalam metode rasional-deduktif dari premis dua pernyataan yang benar, dibuat konklusi yang berupa pernyataan ketiga yang mengandung unsur-unsur dalam kedua premis itu. Inilah silogisme, yang merupakan fondasi penting dalam logika, yaitu cabang filsafat yang secara khusus menguji zogol, dan zokigolkeabsahan cara berfikir. Logika dibentuk dari kata berarti sesuatu yang diutarakan. Daripadanya logika berarti pertimbangan pikiran atau akal yang dinyatakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa.
Dalam metode empiris-induktif pengamatan-pengamatan indrawi yang sifatnya partikular dipakai sebagai basis untuk berabstraksi menyusun pernyataan yang berlakuuniversal.
Aristoteles mengandalkan pengamatan inderawi sebagai basis untuk mencapai pengetahuan yang sempurna. Itu berbeda dari Plato. Berbeda dari Plato pula, Aristoteles menolak dualisme tentang manusia dan memilih "hylemorfisme": apa saja yang dijumpai di dunia secara terpadu merupakan pengejawantahan material ("hyle") sana-sini dari bentuk ("morphe") yang sama. Bentuk memberi aktualitas atas materi (atau substansi) dalam individu yang bersangkutan. Materi (substansi) memberi kemungkinan ("dynamis", Latin: "potentia") untuk pengejawantahan (aktualitas) bentuk dalam setiap individu dengan cara berbeda-beda. Maka ada banyak individu yang berbeda-beda dalam jenis yang sama. Pertentangan Herakleitos dan Parmendides diatasi dengan menekankan kesatuan dasar antara kedua gejala yang "tetap" danyang "berubah". Dalam konteks ini dapat dimengerti bila Aristoteles ada pada pandangan bahwa wanita adalah "pria yang belum lengkap". Dalam reproduksi, wanita bersifat pasif dan reseptif, sedang pria aktif dan produktif. Semua sifat yang aktual ada pada anak potensial terkumpul lengkap dalam sperma pria. Wanita adalah "ladang", yang menerima dan menumbuhkan benih, sementara pria adalah "yang menanam". Dalam bahasa filsafat Aristoteles, pria menyediakan "bentuk", sedang wanita menyumbangkan "substansi".
Dalam makluk hidup (tumbuhan, binatang, manusia), bentuk diberi nama "jiwa" ("psyche", Latin: anima). Tetapi jiwa pada manusia memiliki sifat istimewa: berkat jiwanya, manusia dapat "mengamati" dunia secara inderawi, tetapi juga sanggup "mengerti" dunia dalam dirinya. Jiwa manusia dilengkapi dengan "nous" (Latin: "ratio" atau "intellectus") yang membuat manusia mampu mengucapkan dan menerima"logoz".Itumembuatmanusiamemilikibahasa.
Pemikiran Aristoteles merupakan hartakarun umat manusia yang berbudaya. Pengaruhnya terasa sampai kini, -- itu berkat kekuatan sintesis dan konsistensi argumentasi filsafatinya, dan cara kerjanya yang berpangkal pada pengamatan dan pengumpulan data. Singkatnya, ia berhasil dengan gemilang menggabungkan (melakukan sintesis) metode empiris-induktif dan rasional-deduktif tersebut diatas.
Aristoteles adalah guru Iskandar Agung, raja yang berhasil membangun kekaisaran dalam wilayah yang sangat besar dari Yunani-Mesir sampai ke India-Himalaya. Dengan itu, Helenisme (Hellas = Yunani) menjadi salah satu faktor penting bagi perkembangan pemikiran filsafati dan kebudayaan di wilayah Timur Tengah juga. -- (Catatan kecil saja dari FSP: Maka jangan terkejut jika pandangan berat-sebelah tentang pria-wanita sangat dominan sampai kini. Legitimasi filsafati agaknya telah diberikan oleh Arsitoteles atas praktek yanh umum di dalam masyarakat Timur Tengah, Eropa abad pertengahan dan dimana saja. Gereja Katolik pun selama berabad-abad mengikuti pendirian yang sama, sekalipun landasan biblisnya sama sekali tidak ada. Yesus, sebagaimana tampak dalam Injil, memiliki pandangan yang sama sekali tidak berat-sebelah tentang gender.)
Aristoteles menempatkan filsafat dalam suatu skema yang utuh untuk mempelajari realitas. Studi tentang logika atau pengetahuan tentang penalaran, berperan sebagai organon ("alat") untuk sampai kepada pengetahuan yang lebih mendalam, untuk selanjutnya diolah dalam theoria yang membawa kepada praxis. Aristoteles mengawali, atau sekurang-kurangnya secara tidak langsung mendorong, kelahiran banyak ilmu empiris seperti botani, zoologi, ilmu kedokteran, dan tentu saja fisika. Ada benang merah yang nyata, antara sumbangan pemikiran dalam Physica (yang ditulisnya), dengan Almagest (oleh Ptolemeus), Principia dan Opticks (dari Newton), serta Experiments on Electricity (oleh Franklin), Chemistry (dari Lavoisier), Geology (ditulis oleh Lyell), dan The Origin of Species (hasil pemikiran Darwin). Masing-masing merupakan produk refleksi para pemikir itu dalam situasi dan tradisi yang tersedia dalam zamannya masing-masing.
1.3 Zaman Yunani pasca-aristoteles ditandai oleh tiga aliran pemikiran filsafat, yaitu Stoisisme, Epikurisme dan Neo-platonisme. Stoisisme (Zeno, 333-262 sM) terkenal karena etikanya: manusia berbahagia jika ia bertindak rasional. Epikurisme (Epikuros, 341-270 sM) juga terkenal dalam etika: "kita harus memiliki kesenangan, tetapi kesenangan tidak boleh memiliki kita".
Neo-platonisme (Plotinos, 205-270 M). Idea kebaikan (idea tertinggi dalam Plato) = "to hen", yang esa, "the one". Yang esane otdisebut oleh Plotinos adalah awal, yang pertama, yang paling baik, paling tinggi, dan yang kekal. Yang esa tidak dapat dikenal oleh manusia karena tidak dapat dibandingkan atau disamakan dengan apa pun juga. Yang esa adalah pusat daya, -- seluruh realitas berasal dari pusat itu lewat proses pancaran (emanasi), bagai matahari yang memancarkan sinarnya. Kendati proses emanasi, yang esa tak berkurang atau terpengaruh sama sekali.
Dari = "nous", budi, akal, bahkan roh (?). "Nous"zuon mengalir ne ot =hcnymerupakan "bayang-bayang" dari "to hen". Dari "nous" mengalir = "me uo hm"psykhe", jiwa, yang merupakan perbatasan "nous" dengan on", materi, yang merupakan kemungkinan atau potensi bagi keberadaan suatu bentuk, yang pada manusia adalah tubuh. "Psykhe" merupakan penghubung antara "nous" yang terang, yang berlawanan dengan materi yang gelap, yang rohani berlawanan dengan yang jasmani. -- Menurut neo-platonisme, perlawanan itu merupakan penyimpangan dari kebenaran. Untuk mencapai kebenaran, manusia harus kembali kepada "to hen", dan itulah tujuan hidup manusia. "To hen" kiranya identik dengan konsep "Sang Sangkan Paraning Dumadi" dalam tradisi Jawa.
Kesatuan mistis dengan "to hen" merupakan kebenaran sejati. Manusia harus berkontemplasi untuk mengatasi hal-hal yang inderawi, yang merupakan penghambat besar bagi pembebasannya dari hidup dalam dimensi materi yang bersifat gelap (dan berakhir kepada kematian) menuju kepada hidup dalam dimensi roh yang membawa kepada terang (serta awal dari kekekalan).
Jejak pemikiran neoplatonisme dapat diamati dalam pengalaman mistik, yaitu pengalaman menyatu dengan Tuhan atau "jiwa kosmik". Banyak agama menekankan keterpisahan antara Tuhan dan Ciptaan, tetapi para ahli mistik tidak menemui pemisahan seperti itu. Mereka jutru mengalami rasa "penyatuan dengan Tuhan". Ketika penyatuan itu terjadi, ahli mistik merasa dia "kehilangan dirinya", dia lenyap ke dalam diri Tuhan atau hilang dalam diri Tuhan, sebagaimana setitik atau sepercik air kehilangan dirinya ketika telah menyatu dalam samudera raya.
Tetapi pengalaman mistik itu tidak selalu datang sendiri. Ahli mistik harus mencari jalan "pencucian dan pencerahan" untuk bisa bertemu dengan Tuhan, melalui hidup sederhana dan berbagai teknik meditasi. Kecenderungan mistik tu diketemukan dalam semua agama besar di dunia. Dalam "agama" Jawa dikenallah konsep "manunggaling kawula lan Gusti", yang jejaknya dalam sastra suluk Jawa digali dan diungkapkan bagi generasi masa kini dalam konteks filsafat dan pandangan keagamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar