Dialektika Ijtihad dan Realita
Kajian Metodologis Aktualisasi Hukum Islam Kontemporer
Abd.Rauf Muhammad Amin
A. Pengantar
Tidak bisa dipungkiri bahwa “Dimensi Syari’ah” sebagai salah satu icon besar dalam sejarah islam telah mendapat banyak perhatian dari pemerhati kajian islamologi saat ini. Kalau kalangan non-islam dan antek-anteknya benyak melirik dimensi syari’ah sebagai langkah antisipatif, untuk membendung merebaknya islam-militian misalnya.
Akan tetapi kalangan islam justru mengeksploitasinya sebagai sarana yang vital untuk menunjukkan bahwa islam sangat kapabel untuk mengambil bagian kalau bukan menjadi pemimpin dunia dalam pencapaian peradaban. Sebab, Syariah adalah sisi ajaran islam yang sangat akrab dengan realitas kehidupan dari semua dimensi: sosial, politik, ekonomi dan budaya. Tetapi mencermati kenyataan yang ada, dan karena memang butuh kerja keras, sampai saat ini penganut islam nampaknya masih belum mampu membuktikan kapabalitas yang dimaksudkan. Sebagai upaya melepas diri dari belenggu ketidakberdayaan, subtansi artikel ini melihat bahwa penyebabnya adalah terjadinya kesenjangan hubungan antara langkah-langkah strategi yang ditempuh oleh penentu kebijakkan kelembagaan islam dengan realita sebagai penerima ajaran-ajaran agama, lalu membangun sebuah tesis keniscayaan memperkuat hubungan organik yang mesra antara Syariah dengan Realita, manusia dan komunitas sebagai obyek misinya. Artikel ini mencoba mendialogkan Ijtihad dan Realita sebagai dua kata kunci yang sangat menentukan dalam aktualisasi dan aplikasi ajaran-ajaran syariah dalam setiap dimensi kehidupan. Setelah menyadari bahwa hukum itu lahir bukan dari sesuatu yang hampa, tapi dari sebuah dialog atau interaksi antara pembuat hukum (Tuhan atau Fakih) dengan realita atau manusia. Teori-teori dasar yang perlu dikemukakan untuk mendiskripsikan dialog ijtihad dan realita adalah:
Pertama: Islam -ketika berdialog dengan realitas dan manusia- tidak memaksakan adanya single formulasi realitas sosial sebagai satu kepastian untuk memberlakukan hukum-hukumnya, tetapi obyek hukum islam tidak lain adalah realitas manusia pada semua level kondisi dan kemampuannya. Islam dengan perangkat hukumnya diharuskan selalu berinteraksi dengan semua jenis, tipe dan level kemampuan realitas dan diberi misi untuk selalu membuntuti fase-fase perjalanan realita. Di sinilah kelemahan sentralisasi teks (Nash) yang menjadikan teks-teks hukum -tanpa melirik subtansi realita- sebagai penentu kebijakan dalam proses pencarian hukum untuk sebuah kasus. Konsekuensi logis dari teori ini adalah kekeliruan sebuah trend pemahaman yang memustahilkan aplikasi ajaran dan hukum islam dengan dalih kemestian lebih dulu mempersiapkan komunitas yang layak untuk menjadi obyek penerapan hukum, dan realitas yang ada saat ini, tidak layak untuk mengakomodasi penerapan ajaran dan hukum islam. Pemahaman ini keliru karena, pertama: Islam tidak pernah memberlakukan aturan perlunya single-format realitas lebih dulu sebagai syarat layak tidaknya menjadi obyek penerapan hukum-hukumnya, tetapi sialm berjalan sesuai dengan arah perjalanan manusia dan masyarakat.
Pada setiap fase perjalanan, islam memberi solusi hukum sesuai volume kesiapan dan kemampuan manusia dan masyarakat. Karena itu, menunda dan menunggu-nunggu waktu sampai terciptanya iklim yang kondusif bagi kesiapan komunitas menerima aplikasi ajaran agama adalah satu bentuk ketidak tahuan apa yang disebut strategi transformasi sosial dalam sebuah komunitas, ketidak tahuan hukum-hukum agama, mekanisme aplikasi ajaran agama, dan Fiqh al-Marhalah. Kedua: Bagaimana mungkin masyarakat memiliki kesiapan untuk menerima ajaran agama pada saat mereka setiap hari dibiarkan mencicipi undang-undang, budaya, prinsip-prinsip yang tidak islami. dari sinilah perlunya menegaskan lebih sering bahwa islam memulai kebijakan hukum-hukumnya dengan realitas manusia dan masyarakat bagaimanapun posisi dan kondisinya tanpa harus menunda-nunda sampai waktu yang tidak jelas.
Kedua: Pembebanan agama (hukum islam) pada semua level dan tahapannya adalah pembebanan yang sangat mungkin dicerna oleh kemampuan manusia. Karena itu sangat tidak logis dan realistis membebani manusia sesuatu yang tidak bisa dilakukan. Sebab, subtansi hukum tidak lain adalah pendidikan bukan penyiksaan. Konsekuensi logis dari teori ini adalah bahwa setiap hukum, fatwa atau ijtihad yang dilakukan harus selalu melirik dan berinteraksi dengan kemampuan. Sebab menerapkan islam tidaklah berarti memberlakukan semua ajaran-ajarannya pada satu bentuk kemampuan yang utuh tetapi menerapkannya sesui level kemampuan yang ada, sehingga volume kemampuanlah yang menentukan jenis hukum. Di sini perlu dikemukakan bahwa Taklif (hukum) dan aplikasinya selalu mengalami pasang surut sesuai kemampuan dan kesiapan aplikatif. Setiap kali level kemampuan itu meningkat maka saat itu juga hukum meningkat sampai pada level kesempurnaan, begitupun sebaliknya. Memahami ini sangat menentukan dalam memahami realita komunitas dan teknis serta cara menyikapinya setiap tahapn dan melilitnya dengan hukum-hukum agama, karena setiap kasus dan masalah memiliki strategi agama untuk menghadapinya.
Untuk lebih mendalami ijtihad dan bagaimana formulasi interaksi dan tipe dialognya dengan realita, tulisan ini akan mengcover beberapa bagian yang signifikan serta sadar akan luasnya cakupan dan beratnya muatan wacana yang diangkatnya. Semoga pemerhati yang lain bisa mendiskurskannya pada level yang lebih luas. Bagian-bagian yang akan disorot adalah seperti: Definisi ijtihad dan realita, gagasan Fiqhi realita dalam sejarah perkembangan pemikiran hukum islam, peranan realita dalam ijtihad, Kasus-kasus kontemporer yang menjadi sampel penerapan Fiqh Realita.
B. Definisi Ijtihad dan Realita
Kata “Ijtihad” adalah pecahan dari kata “Juhd” atau “jahd” yang berarti kemampuan dan kesusahan. Dalam Lisan Al-Arab disebutkan bahwa ijtihad berarti mengerahkan tenaga dan kemampuan atau menanggung dan memikul kesulitan. Arti ijtihad secara etimologi sangat erat kaitannya dengan arti ijtihad secara terminologi, sebab term ijtihad bagi para pemikir metodologi hukum islam adalah mengerahkan segala kemampuan untuk memperoleh keterangan hukum agama untuk kasus tertentu. Definisi inilah yang mendominasi hampir semua literatur-literatur metodologi hukum islam (Ushul Fiqh). Tetapi, imam Syatiby ketika memberi keterangan arti ijtihad. Syatibi membagi ijtihad menjadi dua: Ijtihad yang pelaksanaanya tidak pernah terpurus sampai hari kiamat dan ijtihad yang boleh jadi sudah terputus. Tipe pertama dalam kajian metodoligi hukum sangat populer dengan “Tahqiq al-Manat”. Pengertiannya bagi Syatiby adalah mengerahkan kemampuan untuk menentukan subtansi obyek (manath) hukum setelah status hukumnya sendiri sudah diperoleh dari dalilnya yang sah. Sementara tipe kedua Syatiby memasukkan apa yang masyhur dikenal dengan istilah “Tanqih al-Manath” yang artinya menginvestasi beberapa hal yang mungkin menjadi kata kunci atau logika (illat) suatu ketetapan hukum. Tipe definisi yang diadopsi Syatiby memberi gambaran bahwa ijtihad yang sangat urgen adalah tipe ijtihad dinamis, yang memusatkan perhatiannya pada manusia, kasus atau realita sebagai obyek hukum bukan pada teks sebagai subyek/sumber hukum. Keterangan lebih mendalam mengenai ijtihad al-manath ada pada bagian peranan realita dalam ijtihad.
Kata “realita” yang dimaksud dalam artikel ini, seperti yang dikemukakan oleh Abdul Majid al-Najjar adalah segala bentuk aktifitas kemanusiaan yang diinginkan menjadi obyek aplikasi dan bimbingan hukum. Atau semua yang terjadi dalam kehidupan manusia dari semua dimensi, baik berupa cara dan gaya hidup, tradisi dan adat serta peristiwa-peristiwa baru penting. Kesadaran akan keharusan institusi ijtihad sebagai proses dan cara kerja yang sistematik dalam penentuan kebijakan hukum berdialog dan berinteraksi dengan realita seperti yang digambarkan sebelumnya, telah memunculkan kembali Fiqh Realita. Karena pada hakekatnya, wacana Fiqh Realita pernah mengglobal dalam sejarah perkembangan awal pemikiran hukum islam. Tapi ironisnya, trend metodologi ijtihad yang dimaksud tenggelam oleh sejaran dan luput dari pantauan diskursus pemikiran hukum beberapa lama dimana kuatnya kecenderungan keilmuannyang melegitimasi produk-produk hukum yang sudah ada, bahkan sampai pada level pengharaman melakukan ijtihad baru yang subtansinya telah menumbangkan kekuasaan institusi realita dalam mengambil peran dalam prosesi produksi kebijakan hukum yang berimplikasi pada tereliminasinya hukum-hukum Allah dan selalu menuai antipati dari realita.
C. Gagasan Fiqh Realita dalam Sejarah
Kalau kita mencermati sejarah perkembangan hukum islam, sejak awal memang kita telah melihat format dialektika ijtihad dan realita. Mulai teks-teks Al Quran dan praktek Nabi sampai pada kebijakan-kebijakan para sahabat dalam mengcover problematik umat islam. Dari Al Quran misalnya, ayat-ayatnya banyak turun tidak lain adalah sebagai respon atas realita yang berupa pertanyaan-pertanyaan riil dan peristiwa-peristiwa, kebutuhan-kebutuhan dan adanya momentum bersejarah. Hal ini bisa kita lihat melalui penegasan Al Quran seperti: “Dan Alqur’an itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian”[Al-Isra:106]. “berkatalah orang-orang kafir: “mengapa Alqur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?, Demikianlah supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar)” [al-Furqan:32].
Literatur Ulum al-Qur’an mendiskripsikan hal ini dalam pembahasan “Asbab an-Nuzul”. Teori sederhana dalam pembahasan ini adalah untuk mempermudah pemahaman terhadap satu teks, ia harus dipahami dalam kerangka realita dimana teks itu diturunkan. Al-Khudhari Bek mengatakan: “Sedikit sekali hukum-hukum yang turun tanpa adanya peristiwa ataupun pertanyaan-pertanyaan dan jarang sekali ada hukum yang tidak disebutkan peristiwanya oleh ahli tafsir.
Sementara dalam literatur metodologi fiqh islam, salah satu pembahasan yang mengangkat dialog teks dan realita adalah pembahasan “Naskh al-Qur’an”. Terlepas dari pro kontra mengenai eksistensi nasakh dalam al-Qur’an, maka subtansinya -berakhirnya status hukum masalah karena berakhirnya waktu pemberlakuannya- memberi pemahaman bahwa agama (syariah) memiliki karakter dinamis karena mayoritas hukum-hukumnya memiliki ciri khas yang relatif. Pemahaman ini beralasan, karena adanya dialektika antara teks dengan realita atau interaksi antara al-Quran tertulis (kitab tadwini) dengan al-Qur’an tidak tertulis (realita/alam/kitab takwini). Meskipun peran teks adalah memberi cover hukum kepada realita, tapi itu tidak sampai mengabaikan bahwa di dalam realita terdapat perbedaan dan sangat mungkin menerima perubahan dan pembaharuan yang sangat memungkinkannya untuk mempengaruhi pembentukan cover hukum. Itu berarti bahwa cover hukum yang ada bukan sama sekali lahir dari teks, tetapi realita memiliki andil dalam perubahan hukum yang menjadi subtansi pembahasan Naskh Al-Qur’an.
Kalau al-Qur’an ibarat islam normatif dan Sunnah sebagai islam aplikatif, maka dalam Sunnah banyak didapatkan keterangan dan gambarang mengenai hubungan teks dengan realita. Dalam kehidupan beliau, banyak sekali memberi peran realita dalam fatwa-fatwanya. Kasus yang paling kuat indikasinya dalam hal ini adalah dialog antara Nabi dengan salah seorang Arab Badui seputar seberapa sanksi yang harus dikenakan padanya. Dalam kasus ini terjadi sekitar lima kali perubahan hukum sesuai perubahan realitas Arab badui yang meminta fatwa dari Nabi.
Kasusnya adalah Nabi diberitahu orang badui itu bahwa dia baru saja menggauli isterinya pada siang hari, bulan Ramadhan. Dalam kasus ini, orang badui setiap kali menerima bentuk hukuman (fatwa) dari Nabi, dia menawar dan Nabi menerimanya, sehingga dia tidak kena sanksi apa-apa, malah ia disantuni. Kasus ini menunjukkan beta hebatnya Nabi mencari teknis penerapan hukum sehingga orang badui telah tertarik untuk semakin termotifasi untuk hidup dengan islam yang penuh rahmat dan kasih sayang, kemudahan. Kasus ini pula mengisyaratkan bagaimana kepiawaian Nabi dalam mengemas realitas sosial dengan idealitas agama, betapa Nabi sangat mempertimbangkan manusia sebagai sentral dibanding Nash sebagai prioritas. Cara Nabi yang populer dalam menyikapi realita adalah jawabannya yang bervariasi kepada beberapa sahabat yang menanyakan masalah yang sama. Untuk menghindari kontradiksi harus dipahami bahwa hal itu difaktorkan berbedanya kondisi dan posisi sahabat yang mengajukan pertanyaan.
Nampaknya, para sahabat karena kedekatannya dengan Nabi dan kesaksiannya secara langsung terhadap masalah sosial-keagamaan yang muncul periode kenabian, sangat komitmen dengan cara dan teknis Nabi dalam memecahkan problematika kemasyarakatan. Yang paling penting diangkat di sini adalah kebijakan-kebijakan Umar ra mengenai beberapa masalah penting. Sebab yang paling banyak diperdebatkan dalam diskursus dan studi keislaman dan dieksploitasi oleh beberapa kalangan untuk tujuan-tujuan tertentu adalah Umar. Menurut saya, dalam kasusu Umar yang terjadi adalah pendalaman Fiqh Realita. Bukan pelecehan Nash seperti yang digambarkan oleh banyak penstudi untuk melegitimasi institusi “mashlahah” sebagai salah satu bagian dari dalil-dali Syar’i. Dalam kasus penikahan, Nash dengan jelas membolehkan seorang muslim menikahi non-muslim, tapi Umar setelah mendalami kecenderungan realita umat islam, segera mengeluarkan fatwa pelarangan penikahan seorang muslim dengan wanita non-muslim. Sebab Umar memahami bahwa izin menikahi wanita muslim hanya sebatas kebijakan agama, bukan ajaran agama. Setalah Umar memahami kecenderungan umat islam menjadikan kebijakan sebagai ajaran maka Umar segera mengoptimalkan Fiqh realitanya. kasus kedua dalam hal pencurian, Nash yang terang-terangan mengharuskan pemotongan tangan terhadap orang yang mencuri, tapi Umar mengambil kebijakan yang berseberangan. Kasus ini sangat populer bagi pemerhati hukum termasuk teman-teman dari jaringan-liberal. Dari kasus ini, ada dua kekeliruan yang kita lakukan. Pertama: Dalam islam ada kebijakan ada pual Ajaran, tapi kadang-kadang kita tidak mampu membedakannya kalau bukan sengaja. Kedua: laboratorium Fiqh Realita semestinya memproduksi solusi ganda, tapi kita selalu mengarahkannya pada solusi ganjil yaitu sesuatu yang “haram” kadang-kadang “boleh” tapi tidak sebaliknya seperti yang dilakukan Umar ra, padahal kita selalu mengeksploitasi Umar dalam hal dan tujuan tertentu.
Imam al-Qarafi (626-684 H) salah seorang pembaharu pada zamannya dan ahli hukum dari mazhab Maliki berkata:”Pertimbangkanlah tradisi (’Urf) yang masih berlaku dalam suatu masyarakat, dan janganlah melirik pada tradisi yang sudah tidak berlaku. Janganlah membelenggu diri pada karangan dan karya-karya ulama terdahulu seumur hidupmu. Jikalau datang seseorang kepadamu meminta fatwa dari daerah lain bukan daerah dimana kamu hidup, janganlah memperlakukannya seperti orang yang berasal dari daerahmu tapi tanyakanlah tradisi daerahnya lalu beri fatwa berdasarkan tradisi itu, bukan berdasarkan apa yang tertulis di dalam buku. Itulah kebenaran yang jelas, dan kemutlakan memberi fatwa berdasarkan apa yang tertulis dalam buku-buku adalah kesesatan dalam agama, dan itu berarti tidak memahami maksud para ulama islam dan ulama salaf terdahulu.[Al-Furuq, vol I:314]. lain halnya denga imam Al-Suyuthy, seorang pakar hukum dari mazhab Syafi’i. Ia menggambarkan seorang mufti sebagai berikut:”Kedudukan seorang mufti ibarat kedudukan seorang dokter, ia seharusnya menangani kasus dan memberi keputusan sesuai kecenderungan kondisi, person dan zaman. Mufti adalah dokter agama dan ia adalah dokter tubuh.[Jadaliyyat al-khithab wa al-Waqi:235].
Imam Ahmad berkata:”Seseorang tidak pantas menjadi mufti kalau tidak memenuhi lima hal penting: Pertama: ia harus memiliki pendirian yang kuat (niat). Kedua: Ia mesti memiliki ilmu, ketenangan dan akhlak. Ketiga: Ia kuat hati dalam mempertahankan posisinya dan ilmu pengetahuannya. Keempat: Ia harus mempunyai kehidupan yang cukup. Kelima: Ia harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang manusia.[I’lam al-Muwaqqiin,vol IV:199]. Pakar hukum dari mazhab Hanafi yang populer dalam diskursus dialektika realita denga ijtihad adalah Ibnu ‘Abidin yang menuangkan pikiran-pikiran dalam karya monumentalnya “Nasyr al-Urf”. Ia katakan:”Ketahuilah bahwa hukum kasus-kasus Fiqh bisa jadi diperoleh dari keterangan Nash yang jelas, juga boleh jadi diambil dari hasil ijtihad dan ra’yu. Namun hukum tipe kedua mayoritas dibangun atas dasar tradisi (’Urf) dimana mujtahid itu hidup. Sekiranya dia hidup pada zaman sekarang maka ia pun akan merupah kebijakan hukumnya yang dulu. Atas dasar itu, ulama dalam hal ijtihad mensyaratkan pengetahuan yang memadai mengenai tradisi-tradisi masyarakat, karena betapa banyak hukum masalah berubah karena berubahnya zaman dan tradisi masyarakat, atau terjadinya dharurat, atau rusaknya akhlak masyarakat itu, sehingga kalau masih memberlakukan hukum yang dulu dengan sendirinya akan terciptanya kesusahan dan kondisi abnormal pada masyarakat dan akan menyalahi koridor-koridor agama yang menghendaki keringanan hukum dan kemudahan serta fasad. Atas dasar ini juga, banyak pakar dari kalangan mazhab Hanafi yang menyalahi produksi hukum seorang mujtahid yang didasarkan pada tradisi zamannya.[lih Nasyr al-’urf dikutip dari Jadaliyyat al-khitab wa al-Waqi’:228].
Ada dua hal yang bisa diperoleh dari berbagai komentar mengenai perlunya mempertimbangkan realita dalam memproduksi hukum kasus-kasus baru. Pertama: betapapun menguatnya kecenderungan bertaklid yang dominan pada masa mereka, muncul pembaharu yang mencoba memperbaiki trend yang ada. Kedua: Trend metodologi ijtihad yang mendialogkan ijtihad dengan realita memang hampir tenggelam oleh sejarah sekiranya tidak ada segelintir dari mereka yang berinisiatif untuk menarik mundur kecenderungan itu.
D. Metodologi Dialektika Ijtihad dan Realita
Dari pemaparan-pemaparan di atas, dipahami bahwa pada intinya institusi fiqh/Ijtihad memiliki hubungan aktif-pasif dengan institusi realita. Ijtihad mesti mempengaruhi dan pada saat yang sama harus dipengaruhi oleh realita. Ijtihad harus menyesuaikan diri dengan realita sama halnya realita harus diarahkan oleh ijtihad. Perlu dipertegas bahwa dialog ijtihad dan realita seperti itu sama sekali tidak berarti penegasan perlunya ijtihad memenuhi semua kebutuhan realita, seperti yang dipahami dari kupasan-kupasan sebagian kalangan. Karena yang diinginkan tidak lebih dari sebuah penegasan bahwa ijtihad yang benar adalah ijtihad yang realistis yang memahami kecenderungan realita, selalu melirik realita dan tidak berpaling darinya, ijtihad yang memperdayakan realita dan tidak mengabaikannya, ijtihad yang membangun atas dasar realita dan tidak berangkat dari sesuatu yang hampa. Berikut ini ulasan mengenai perangkat-perangkat metodologis dalam memproses dialog realita dan ijtihad:
1. Tahqiq Al-Manath: Tahqiq adalah upaya untuk menidentifikasi satu masalah, sedangkan manat adalah objek penerapan hukum. Tahqiq al-Manath adalah upaya seorang mujtahid untuk mengidentifikasi dan memverifikasi subtansi objek hukum, untuk menghindari terjadinya kesalahan teknis penyesuain antara satu hukum dengan obyeknya. Hal ini menghendaki adanya teknis-teknis ilmiah yang memisahkan apa yang masuk ke dalam kategori obyek hukum dan yang tidak. Sebab satu realita tertentu memiliki komponen-komponen, karakter-karakter, motivasi, dan implikasi tertentu. Tanpa pengetahuan yang mendalam mengenai subtansi obyek hukum seperti itu dikuatirkan terjadinya aplikasi hukum yang tidak diinginkan agama atau ada kemungkinan tidak terjadinya aplikasi hukum sementara obyek dan logika (illat) sudah eksis.
Perangkat ini sangat penting, khususnya dalam konteks sekarang dimana realitas yang mencuat ke permukaan sangat kompleks, tidak sederhana realitas yang dihadapi umat islam pada masa awal. Ketika perangkat metodologis ini tidak diberdayakan dan alpa dari wacana pemikiran islam, maka konsekuensi yang segera ditemui adalah aplikasi hudud, perang-damai secara tida proporsional. Imam Syatiby, salah seorang ahli hukum yang banyak mengambil tempat dalam kajian-kajian metodologi hukum islam kontemporer, bahkan membagi perangkat ini menjadi dua bagian penting: Tahqiq al-Manath al-’Amm dan Tahqiq al-manath al-Khash. Tahqiq al-Manath al’amm bisa digambar pada penjelasan berikut ini: Hukum yang dikandung oleh sebuah Nash hanya berorientasi pada jenis-jenis prilaku manusia, misalnya Nash-nash Alquran-Hadis yang mengandung (hukum pengharaman) pencurian, zina dan khamar, begitu pula nash-nash yang memuat (hukum kewajiban) bekerja, berbuat adil, dan sebagainya. Tapi ketika mencermati realitas kehidupan manusia ternyata perilaku-perilaku manusia itu sendiri bervariasi, tapi seolah-olah dimaksud oleh satu hukum yang mengarah pada jenis-jenis tadi. Contoh riilnya seperti mencopet uang dari kantong orang yang sedang berjalan, kasus perampokan bank, dan mengambil koper uang seorang businesman. Tiga kasusu di atas kalu dicermati sepintas dari segi fisiknya memiliki kesamaan, sehingga seolah-olah hanya diatur oleh hukum pengharaman (jenis) pencurian. Begitu pula kasus berusaha dalam bidang menanam tanaman penghijauan, produksi bom atom, dan menanam anggur dengan tujuan produksi khamar yang seolah-olah secara sepintas diatur oleh hukum kewajiban (jenis) bekerja. Kesamaan perilaku-perilaku ini mengharuskan ijtihad untuk segera mengidentifikasinya, lalu membedakannya sesuai struktur materi, tujuan, dan implikasi-implikasinya dan segera memasukkan setiap perilaku atau kasus sesuai jenisnya dan memberikan setiap kasus, hukum jenisnya dan tidak memberikannya hukum jenis yang lain yang tidak dikehendaki Tuhan. Di sini ada satu hal yang mendesak untuk dipertegas, yaitu: Variasi atau bentuk satu perilaku atau perbuatan tidaklah terbatas, sampai hanya muncul dalam satu kurun waktu, lalu manusia selalu mengulang-ulangi pelaksanaannya, tapi perubahan-perubahan yang sangat cepat dalam realitas kehidupan manusia akan membawa sejuta variasi perilaku yang baru, sehingga proses identifikasinya membutuhkan suatu bentuk ijtihad yang harus selalu dilangsungkan sesuai keberlangsungan kehidupan. Kasus sistem ekonomi keuangan yang berkembang dengan pesat diaman memuat berbagai sistem yang bervariasi dapat menjadi sampel aplikasi perangkat tahqiq al-manath. Sedangkan tahqiq al-Manath al-khash bisa didiskripsikan sebagai berikut: Setiap kasus atau perilaku manusia yang diidentifikasi jenisnya pada tahapan. Tahqiq al-manath al-amm, menurut perangkat tahqiq al-manath al-khash tidaklah semuanya sama. Karena setiap kasus -ketika ia membumi dalam realita- ia segera dikemas oleh beberapa faktor yang menentukan yang membuatnya berbeda dengan kasus lain dari segi subtansinya. Logika sederhananhya adalah, setiap kasus dan perilaku ditentukan oleh pelakunya sendiri, motivasi, ruang dan waktu. Semua faktor ini tidak mungkin bersatu pada lebih dari satu kasus, karena paling tisak setiap kasus (ketika ia membumi) berbeda dari segi unsur waktunya. Secara operasionalnya, tipe tahqiq al-manath al-khash lebih rumit dari tipe yang pertama. Karena pada tipe pertama seorang ahli hukum dituntut untuk mengidentifikasi dan memverifikasi setiap perilaku/tindakan dari segi proses terjadinya, penyebabnya, motivasinya hasil dan implikasinya. Misalnya, seperti kasus perampokan yang dilakukan seseorang di tempat tertentu, waktu tertentu dan bentuk pelaksanaan tertentu. Hasil identifikasinya kemungkinan bisa Sarqah (pencurian) bisa juga Qasb (perampasan), bisa juga al-Harabah (subversif), kalau sudah diverifikasi, maka akan jelas teknis pembumian hukum yang sesuai terhadap satu kasus.
2. I’tibar Maalat al-Ahkam: Perangkat ini tidak kalah pentingnya dari perangkat pertama dalam rangka mengaktualisasi hukum islam dalam dunia kontemporer. Inti dari perangkat ini adalah mempertimbangkan dan memantau kondisi aplikasi hukum yang telah ditempuh pada perangkat tahqiq al-manath. kalau Tahqiq al-Manath mengharuskan seorang mujtahid memahami dan mendalami apa yang sedang terjadi (waqi’), maka perangkat I’tibar al-Maalat mewajibkannya memahami dan mempertimbangkan bakal apa yang terjadi (mutawaqqa’). Ada kaitan yang sangat erat antara pemahaman Waqi’ dan Mutawaqqa’. Sebab, mengetahui apa yang akan terjadi tidak lain adalah hasil dari pengetahuan yang mendalam tentang apa yang sedang terjadi.
Perangkat ini sebenarnya merupakan perangkat metodologi yang sangat orisinil yang telah diadopsi dalam sejarah kehidupan Nabi, sahabat dan para khulafanya. Perangkat ini juga telah menciptakan perangkat baru yang disebut Sadd al-Dzaraai’. Perangkat ini telah dipertegas oleh imam Syatiby dalam karya monumentalnya, Al-Muwafaqaat:”Seorang mujtahid sama sekali tidak boleh memvonis perilaku manusia sebagai perilaku boleh atau tidak, sebelum dia meneliti implikasi dari perilaku itu.
3. Muraa’at al-Taghayyuraat: Perangkat ini pada intinya adalah anjuran kepada setiap yang ingin melibatkan diri dalam proses penemuan kebijakan hukum agar selalu memantau perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam dunia realita. Sebab realita ibarat sungai yang sedang mengalir di mana kita tidak pernah mandi dua kali di sungai. Setiap kali mandi, setiap kalin itu juga air sungainya berubah dan berbeda dari air sebelumnya. Realita mengalami hal yang sama, di mana setiap hari bahkan setiap saat terjadi realitas baru yang sedikit banyaknya berbeda dengan realitas sebelumnya. Bagaimanapun juga yang dimaksud dan signifikan dari perkembangan realita adalah realita yang mempengaruhi kebijakan hukum baik itu realita yang berkembang cepat atau lambat. Yang inti pada persoalan ini adalah kalau sekiranya obyek hukum telah mengalami perubahan-perubahan subtansial maka konsekuensi hukumnya ialah keharusan merubah tipe hukumnya, karena berubahnya obyeknya. Kalau subtansi obyek hukum sudah berubah lalu kita tidak tahu bahwa ia sudah berubah atau tahu tapi tetap memberlakukan hukum pertamanya maka ini adalah kekeliruan dan dosa metodologi.
Penutup
Subtansi yang diinginkan artikel ini adalah kemestian mengadopsi realuta sebagai salah satu perangkat yang menentukan dalam memahami dan mengaktualisasi ajaran-ajaran agama. Karena ternyata kegagalan pengelola kelembagaan islam dalam menuai hasil yang diinginkan dari proses keberagamaan umat islam ternyata sedikit banyaknya dipicu oleh kedangkalan memahami realitas yang ada. Untuk menghindari kesan islam tidak berdaya dalam pecaturan global harus mengadopsi segala upaya dan mencoba mempertemukan islam dengan realita. Seluruh umat manusia khususnya umat islam harus segera kembali menemukan inspirasi hidupnya dalam islam. Hal ini tidak semudah membalikan telapak tangan, karena ternyata butuh kerja keras dan keikhlasan. Nampaknya islam membutuhkan kelahiran seorang ulama yang memang dilahirkan demi kepentingan islam dan merumuskan metode dan teknis prosedural bagaimana islam melihat realita sehingga ia bisa diarahkan ke alam di mana ia bersatu dengan ajaran-ajaran agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar