Artikel Yayasan Paramadina
V.42. UNIVERSALISME ISLAM DAN KOSMOPOLITANISME PERADABAN ISLAM
Oleh Abdurrahman Wahid
Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai
manifestasi penting dan yang terbaik adalah dalam
ajaran-ajarannya. Rangkaian ajaran yang meliputi berbagai
bidang, seperti hukum agama (fiqh), keimanan (tawhid), etika
(akhlaq, seringkali disempitkan oleh masyarakat hingga menjadi
hanya kesusilaan belaka) dan sikap hidup, menampilkan
kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari
kemanusiaan (al-insaniyyah). Prinsip-prinsip seperti persamaan
derajat dimuka hukum, perlindungan warga masyarakat dari
kedlaliman dan kesewenang-wenangan, penjagaan hak-hak mereka
yang lemah dan menderita kekurangan dan pembatasan atas
wewenang para pemegang kekuasaan, semuanya jelas menunjukkan
kepedulian di atas. Sementara itu, universalisme yang
tercermin dalam ajaran-ajaran yang memiliki kepedulian kepada
unsur-unsur utama kemanusiaan itu diimbangi pula oleh kearifan
yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam sendiri.
Keterbukaan yang membuat kaum Muslim selama sekian abad
menyerap segala macam menifestasi kultural dan wawasan
keilmuan yang datang dari pihak peradaban-peradaban lain, baik
yang yang masih ada waktu itu maupun yang sudah mengalami
penyusutan luar biasa (seperti peradaban Persia). Kearifan
yang muncul dari proses saling pengaruh-mempengaruhi antara
peradaban-peradaban yang dikenal itu, waktu itu di kawasan
"Dunia Islam" waktu itu, yang kemudian mengangkat peradaban
Islam ke tingkat sangat tinggi, hingga menjadi apa yang
disebutkan sejarawan agung Arnold J. Toynbee sebagai oikumene
(peradilan dunia) Islam. Oikumene Islam ini, menurut Toynbee,
adalah salah satu di antara enam belas oikumene yang menguasai
dunia. Kearifan dari oikumene Islam itulah yang paling tepat
untuk disebut sebagai kosmopolitanisme peradaban Islam. Kisah
kedua wajah Islam itu, universalisme ajaran dan
kosmopolitanisme peradaban akan disajikan pada kesempatan ini.
Salah satu ajaran yang dengan sempurna menampilkan
universalisme Islam adalah lima buah jaminan dasar yang
diberikan agama samawi terakhir ini kepada warga masyarakat
baik secara perorangan maupun sebagai kelompok. Kelima jaminan
dasar itu tersebar dalam literatur hukum agama (al-kutub
al-fiqhiyyah) lama, yaitu jaminan dasar akan (1) keselamatan
fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan
hukum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa
ada paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga
dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi
di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi. Jaminan
akan keselamatan fisik warga masyarakat mengharuskan adanya
pemerintahan berdasarkan hukum, dengan perlakuan adil kepada
semua warga masyarakat tanpa kecuali, sesuai dengan hak
masing-masing. Hanya dengan kepastian hukumlah sebuah
masyarakat mampu mengembangkan wawasan persamaan hak dan
derajat antara sesama warganya, sedangkan kedua jenis
persamaan itulah yang menjamin terwujudnya keadilan sosial
dalam arti sebenar-benarnya. Sedangkan kita ini mengetahui,
bahwa pandangan hidup (Worldview, Weltanschauung) paling jelas
universalitasnya adalah pandangan keadilan sosial.
Demikian juga, jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama
masing-masing bagi para warga masyarakat melandasi hubungan
antar-warga masyarakat atas dasar sikap saling
hormat-menghormati, yang akan mendorong tumbuhnya kerangka
sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar. Terlepas
dari demikian kentalnya perjalanan sejarah dengan penindasan,
kesempitan pandangan dan kedhaliman terhadap kelompok
minoritas yang berbeda keyakinan agamanya dari keyakinan
mayoritas, sejarah ummat manusia membuktikan bahwa sebenarnya
toleransi adalah bagian inherent dari kehidupan manusia.
Sejarah persekusi dan represi adalah sejarah "orang besar",
walaupun sasarannya selalu "orang kecil". Dalam menerima
persekusi dan represi tanpa keputusan wong cilik membuktikan
kekuatan toleransi dan sikap tenggang rasa dalam membangun
masyarakat. Justru toleransilah yang melakukan transformasi
sosial dalam skala massif sepanjang sejarah Bahkan sejarah
agama membuktikan munculnya agama sebagal dobrakan moral atas
kungkungan ketat dari pandangan yang dominan, yang berwatak
menindas, seperti dibuktikan oleh Islam dengan dobrakannya
atas ketidakadilan wawasan hidup jahiliyyah yang dianut
mayoritas orang Arab waktu itu. Dengan tauhid, Islam
menegakkan penghargaan kepada perbedaan pendapat dan
perbenturan keyakinan. Jika perbedaan pandangan dapat
ditolerir dalam hal paling mendasar seperti keamanan, tentunya
sikap tenggang rasa lebih lagi diperkenankan dalam mengelola
perbedaan pandangan politik dan ideologi. Tampak nyata dari
tilikan aspek ini, bahwa Islam melalui ajarannya memiliki
pandangan universal, yang berlaku untuk umat manusia secara
keseluruhan.
Jaminan dasar akan keselamatan keluarga menampilkan sosok
moral yang sangat kuat, baik moral dalam arti kerangka etis
yang utuh maupun dalam arti kesusilaan. Kesucian keluarga
dilindungi sekuat mungkin, karena keluarga merupakan ikatan
sosial paling dasar, karenanya tidak boleh dijadikan ajang
manipulasi dalam bentuk apapun oleh sistem kekuasaan yang ada.
Kesucian keluarga inilah yang melandasi keimanan yang
memancarkan toleransi dalam derajat sangat tinggi. Dalam
kelompok masyarakat lebih besar, selalu terdapat kecenderungan
untuk melakukan formalisasi ajaran secara berlebihan, sehingga
menindas kebebasan individu untuk menganut kebenaran, kelompok
supra-keluarga senantiasa mencoba menghilangkan, atau
setidak-tidaknya mempersempit, ruang gerak individu warga
masyarakat untuk melakukan eksperimentasi dengan pandangan
hidupnya sendiri, dan untuk menguji garis batas kebenaran
keyakinan. Padahal upaya melakukan uji coba seperti itulah
yang akan menajamkan kebenaran masing-masing keyakinan
pandangan maupun pemahaman. Islam memberikan kebebasan untuk
melakukan upaya perbandingan antara berbagai keyakinan,
termasuk keimanan kita, dan dalam proses itu membuktikan
keampuhan konsep keimanan sendiri. Disamping kebenaran yang
dapat diraih melalui pengalaman esoteris, Islam juga
memberikan peluang bagi pencapaian kebenaran melalu proses
dialektis. Justru proses dialektis inilah yang memerlukan
derajat toleransi sangat tinggi dari pemeluk suatu keyakinan,
dan Islam memberikan wadah untuk itu, yaitu lingkungan
kemasyrakatan terkecil yang bernama keluarga. Di lingkungan
sangat kecil itulah individu dapat mengembangkan
pilihan-pilihannya tanpa gangguan, sementara kohesi sosial
masih terjaga karena keluarga berfungsi mengintegrasikan
warganya secara umum ke dalam unit kemasyarakatan yang lebih
besar.
Jaminan dasar akan keselamatan harta-benda (al-milk, property)
merupakan sarana bagi berkembanguya hak-hak individu secara
wajar dan proporsional, dalam kaitannya dengan hak-hak
masyarakat atas individu. Masyarakat dapat menentukan
kewajiban-kewajibannya yang diinginkan secara kolektif atas
masing-masing individu warga masyarakat. Tetapi penetapan
kewajiban itu ada batas terjauhnya, dan warga masyarakat
secara perorangan tidak dapat dikenakan kewajiban untuk
masyarakat lebih dari batas-batas tersebut. Batas paling
praktis, dan paling nyata jika dilihat dari perkembangan
Sosialisme dan terutama Marxisme-Leninisme saat ini, adalah
pemilikan harta-benda oleh individu. Dengan hak itulah warga
masyarakat secara perorangan memiliki peluang dan sarana untuk
mengembangkan diri melalui pola atau cara yang dipilihnya
sendiri, namun tetap dalam alur umum kehidupan masyarakat.
Sejarah ummat manusia menunjukkan bahwa hak dasar akan
pemilikan harta-benda inilah yang menjadi penentu kreativitas
warga masyarakat, berarti kesediaan melakukan transformasi
itulah warga masyarakat memperlihatkan wajah universal
kehidupannya?
Jaminan dasar akan keselamatan profesi menampilkan sosok lain
lagi dari universalitas ajaran Islam. Penghargaan kepada
kebebasan penganut profesi berarti kebebasan untuk melakukan
pilihan-pilihan atas resiko sendiri, mengenai keberhasilan
yang ingin diraih dan kegagalan yang membayanginya. Dengan
ungkapan lain, kebebasan menganut profesi yang dipilih berarti
peluang menentukan arah hidup lengkap dengan tanggung jawabnya
sendiri. Namun pilihan itu tetap dalam kerangka alur umum
kehidupan masyarakat, karena pilihan profesi berarti
meletakkan diri dalam alur umum kegiatan masyarakat, yang
penuh dengan ukuran-ukurannya sendiri. Ini berarti
keseimbangan cair yang harus terus-menerus dicari antara
hak-hak individu dan kebutuhan masyarakat, sebuah kondisi
situasional yang serba eksistensial sebagai wadah untuk
menguji kebenaran keyakinan dalam rangkaian kejadian yang
tidak terputus-putus: bolehkah saya lakukan hal ini dari sudut
pandangan keimanan saya, padahal diharuskan oleh profesi saya?
Rasanya tidak ada yang lebih universal dari pencarian jawaban
akan wujud kebenaran dalam rangkaian kejadian seperti
disajikan oleh tantangan dari dunia profesi itu.
Secara keseluruhan, kelima jaminan dasar di atas menampilkan
universalitas pandangan hidup yang utuh dan bulat.
Pemerintahan berdasarkan hukum, persamaan derajat dan sikap
tenggang rasa terhadap perbedaan pandangan adalah unsur-unsur
utama kemanusiaan, dan dengan demikian menampilkan
universalitas ajaran Islam. Namun, kesemua jaminan dasar itu
hanya menyajikan kerangka teoritik (atau mungkin bahkan hanya
moralistik belaka) yang tidak berfungsi, juga tidak didukung
oleh kosmopolititanisme peradaban Islam. Watak kosmopolitan
dari peradaban Islam itu telah tampak sejak awal
pemunculannya. Peradaban itu, yang dimulai dengan cara-cara
Nabi Muhammad s.a.w mengatur pengorganisasian masyarakat
Madinah hingga munculnya para ensiklopedis Muslim awal
(seperti al-Jahiz) pada abad ketiga Hijri, memantulkan proses
saling menyerap dengan peradaban-peradaban lain di sekitar
Dunia Islam waktu itu, dari sisa-sisa peradaban Yunani kuno
yang berupa Hellenisme hingga peradaban anak benua India.
Kosmopolitanisme peradaban Islam itu muncul dalam sejumlah
unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya
pluralitas budaya dan heterogenitas politik. Kosmopolitanisme
itu bahkan menampakkan diri dalam unsur dominan yang
menakjubkan, yaitu kehidupan beragama yang eklektik selama
berabad-abad. Kalau ditelusuri dengan cermat perdebatan sengit
di bidang teologi dan hukum agama selama empat abad pertama
sejarah Islam, akan tampak secara jelas betapa beragamnya
pandangan yang dianut oleh kaum Muslim waktu itu. Kalaupun hal
itu dianggap sebagai kemelut kehidupan beragama kaum Muslim,
karena tidak adanya konsensus atas hal-hal dasar, maka harus
juga dibaca dengan cara lain bahwa pemikir Muslim telah
berhasil mengembangkan watak kosmopolitan dalam pandangan
budaya dan keilmuan mereka, karena mampu saling berdialog
secara demikian bebas. Kebebasan kaum Mu'tazilah untuk
mempertanyakan kebenaran ajaran sentral bahwa al-Qur'an turun
dalam bentuk huruf dan bahasa yang sekarang dikenal (bahasa
Arab, huruf Hija'iyyah) dan menganggap Kitab Suci kaum Muslim
tersebut diturunkan hanya secara maknawi belaka, sesuatu yang
sekarang tentunya dianggap sikap seorang murtad dari agama
Islam, adalah dari pertanda kuatnya watak kosmopolitan dari
peradaban Islam waktu itu. Pertanyaan bagaimanapun gilanya
mendapatkan peluang untuk diutarakan dengan bebas. Dalam
situasi seperti itu tokh tidak ada bahaya apapun bagi Islam,
karena proses dialog serba dialektik akan memunculkan koreksi
budayanya sendiri, yang dalam kasus Mu'tazilah mengambil
bentuk koreksi al-Asy'ari, al-Maturidi dan al-Baqillani yang
berujung pada ilmu kalam skolastik dari kaum Sunni. Koreksi
itupun memperlihatkan watak kosmopolitan, karena ia tidak
muncul sebagai hardikan atau tuntutan ilegal-yuridis,
melainkan sebagai perdebatan ilmiah yang tidak mengambil sikap
mengadili atau menghakimi. Baru ketika kemapanan masyarakat
Islam mengambil tindakan melarang perdebatan ilmiah sajalah,
sambil memproklamasikan ajaran-ajaran al-Asy'ari dan
kawan-kawan sebagai kebenaran ajaran Islam, watak kosmopolitan
dari peradaban Islam mulai terputus dengan sendirinya.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kosmopolitanisme
peradaban Islam tercapai atau berada pada titik optimal,
manakala tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif
kaum Muslim dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat
(termasuk mereka yang non-Muslim). Kosmopolitanisme seperti
itu adalah kosmopolitanisme yang kreatif, karena di dalamnya
warga masyarakat mengambil inisiatif untuk mencari wawasan
terjauh dari keharusan berpegang pada kebenaran. Situasi
kreatif yang memungkinkan pencarian sisi-sisi paling tidak
masuk akal dari kebenaran yang ingin dicari dan ditemukan,
situasi cair yang memaksa universalisme ajaran Islam untuk
terus-menerus mewujudkan diri dalam bentuk-bentuk nyata,
bukannya nyata dalam postulat-postulat spekulatif belaka.
Benarkah ajaran Islam menjamin persamaan hak dan derajat di
antara sesama warga masyarakat? Mungkinkah keadilan diwujudkan
secara konkrit dalam bentuk kemasyarakatan faktual? Jarak yang
demikian sempit antara kebebasan berfikir di satu pihak dan
imperatif norma-norma ajaran agama memerlukan upaya luar biasa
dari para pemikir, budayawan dan negarawan untuk menjaga jarak
antara keduanya, agar tidak saling menghimpit. Ketegangan
intelektual (intellectual tension) yang mewarnai situasi
seperti itu akan memotori kosmopolitanisme yang menjadi
keharusan bagi universalisasi nilai-nilai luhur yang ditarik
dari ajaran Islam secara keseluruhan.
Dalam semangat seperti itulah para zahid (kaum asketik) Muslim
dahulu mengembangkan peradaban Islam. Imam Hasan al-Basri yang
demikian dalam tasawufnya, ternyata juga adalah ilmuwan di
bidang bahasa. Imam al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi yang
dengan kesalehannya yang luar biasa, ternyata adalah peminat
filsafat Yunani kuno, terbukti dari karya agung beliau, Qamus
al-A'ain, yang sepenuhnya menggunakan pembagian ilmu
pengetahuan melalui kategorisasi filsafat Yunani. Imam Syafi'i
mujtahid di bidang hukum agama (fiqh), justru menundukkan
proses pengambilan hukum agama (istinbat al-ahkam) kepada
sejumlah kaidah metodologis tertentu, bukannya hanya sekedar
menarik hukum dari al-Qur'an dan Sunnah Nabi belaka. Kelahiran
usul fiqh sebagai teori hukum, sebenarnya merupakan proses
kreatif yang dapat mempertemukan antara kebutuhan masa dan
norma ajaran agama, namun sangat disayangkan ia akhirnya
menjadi alat yang dipergunakan oleh para penganut fiqh secara
tidak kreatif dan dengan sendirinya berubah fungsi menjadi
alat seleksi yang sangat normatif dan mematikan kreativitas.
Sebuah agenda baru dapat dikembangkan sejak sekarang untuk
menampilkan kembali universalitas ajaran Islam dan
kosmopolitanisme peradaban Islam di masa datang. Pengembangan
agenda baru itu diperlukan, mengingat kaum Muslim sudah
menjadi kelompok dengan pandangan sempit dan sangat eksklusif,
sehingga tidak mampu lagi mengambil bagian dalam kebangunan
peradaban manusia yang akan muncul di masa pasca-indrustri
nanti (yang sekarang sudah mulai nampak sisi pinggirannya
dalam cibernetika dan rekayasa biologis). Kaum Muslim bahkan
merupakan beban bagi kebangkitan peradaban bagi umat manusia
nanti. Dalam keadaan demikian, kaum Muslim hanya akan menjadi
obyek perkembangan sejarah, bukannya pelaku yang bermartabat
dan berderajat penuh seperti yang lainnya. Jika itu yang
diinginkan, mau tidak mau haruslah dikembangkan agenda
universalisasi ajaran Islam, sehingga terasa kegunaannya bagi
ummat manusia secara keseluruhan. Toleransi, keterbukaan
sikap, kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan dan
keprihatinan yang penuh kearifan akan keterbelakangan kaum
Muslim sendiri akan memunculkan tenaga luar biasa untuk
membuka belenggu kebodohan dan kemiskinan yang begitu kuat
mencekam kehidupan mayoritas kaum Muslim dewasa ini. Dari
proses itu akan muncul kebutuhan akan kosmopolitanisme baru
yang selanjutnya, akan bersama-sama faham dan ideologi
lain-lain, turut membebaskan manusia dari ketidakadilan
struktur sosial-ekonomis dan kebiadaban rejim-rejim politik
yang dhalim. Hanya dengan menampilkan universalisme baru dalam
ajarannya dan kosmopolitanisme baru dalam sikap hidup para
pemeluknya, Islam akan mampu memberikan perangkat sumberdaya
manusia yang diperlukan oleh si miskin untuk memperbaiki nasib
sendiri secara berarti dan mendasar, melalui penciptaan etika
sosial baru yang penuh dengan semangat solidaritas sosial dan
jiwa transformatif yang prihatin dengan nasib orang kecil.
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Please direct any suggestion to Media
Team
Tidak ada komentar:
Posting Komentar